Minggu, 01 Juli 2012

Urgensi Pemasaran Politik


Urgensi Pemasaran Politik
Ummi Salamah ; Kandidat Doktor, Pengajar Program Pascasarjana Komunikasi FISIP UI KOMPAS, 30 Juni 2012


Biaya politik tinggi ternyata banyak kasusnya. Termasuk di antaranya rencana salah satu partai politik baru memodali calon legislatifnya Rp 5 miliar-Rp 10 miliar per orang dan bagaimana partai politik menjadikan kadernya sebagai mesin uang.

Jelaslah bahwa partai politik ataupun kandidatnya membutuhkan biaya relatif besar, terutama menjelang pemilihan. Taktik klasik yang marak pada pemilu dan pilkada era pemilihan langsung adalah membanjiri daerah pemilihan dengan spanduk dan memasang iklan di media massa yang semua memakan biaya.
Ketergantungan partai politik dan kandidat pada pola pembiayaan tinggi untuk mendapatkan pemilih menunjukkan belum memadainya strategi untuk membangun konstituen.

Seperti diketahui, produk politik yang meliputi partai politik, kandidat, program, dan kebijakan merupakan produk yang abstrak dan tidak kasatmata. Produk ini juga padat dengan nilai-nilai dan janji yang baru dirasakan manfaatnya jangka panjang. Dalam dikotomi barang dan jasa, produk politik lebih menyerupai jasa sehingga pengemasannya menjadi sangat berbeda dengan barang seperti sabun.

Langkah partai politik dan kandidat juga menunjukkan kegagapan dalam beradaptasi dengan perubahan. Kondisi politik Indonesia yang sudah sangat terbuka ditambah dengan kondisi partai-partai yang secara ideologis kebijakan hampir mirip menuntut organisasi partai politik untuk berubah dan meredefinisi hubungan dengan sumber daya utamanya, yaitu kandidat dan anggota partai.

Pemasaran Politik

Jawaban dari permasalahan di atas sebenarnya adalah pemasaran politik, yaitu transfer konsep-konsep dari dunia pemasaran oleh organisasi politik demi mencapai tujuan, yaitu memenangi pemilihan.

Dalam praktiknya, pemasaran produk politik berbeda dengan produk komersial karena selain memenuhi kebutuhan konsumen, produk politik juga harus memberikan visi yang mengarahkan pemilih.

Keberhasilan dari pemasaran politik dicatat Lees-Marshment (2001) setelah mengamati perkembangan Partai Buruh Inggris. Tahun 1983, partai ini lebih berorientasi pada produk dan empat tahun kemudian kepada penjualan. Kedua praktik politik ini belum berorientasi kepada pemilih yang mampu menentukan kemenangan atau kekalahan parpol atau kandidat.

Setelah mengubah praktiknya menjadi pemasaran politik, tahun 1997 Partai Buruh memenangi pemilihan dan mengantarkan Tony Blair menjadi perdana menteri Inggris.

Orientasi kepada produk menjadikan pemilih sebagai target propaganda dari partai politik. Penekanan pada ideologi mendorong partai politik memanfaatkan setiap kesempatan sebagai sarana indoktrinasi pemilih. Sementara orientasi kepada penjualan menjadikan media sebagai sentral dalam kampanye.

Pada tahap penjualan, riset dan segmentasi dilakukan untuk membangun pesan yang mengikat konten iklan. Namun, tahapan ini masih bersifat satu arah karena tidak diiringi upaya serius untuk menguji kembali kesesuaian strategi.

Pemasaran politik lebih berorientasi pada pasar atau pemilih. Proses yang dijalani juga lebih panjang dan rumit karena mewajibkan setiap tahap diuji ulang agar sesuai kebutuhan pasar. Riset digunakan tidak hanya untuk mengetahui gejala di permukaan, tetapi juga masuk lebih dalam pada kebutuhan, motif, dan konstruksi lain yang mampu memberikan insight lebih kaya terkait perilaku pemilih. Hasilnya adalah masukan untuk menyusun program dan kebijakan serta positioning produk politik sehingga strategi yang disusun lebih komprehensif untuk menyasar target yang beragam.

Perilaku partai politik dan kandidat di kancah politik Indonesia saat ini adalah keduanya masih terpaku pada tahap orientasi kepada penjualan. Polling kini memang menjadi menu wajib bagi parpol dan kandidat yang akan mengikuti pemilihan, tetapi aplikasinya masih terbatas untuk memeriksa faktor terkait tahapan kampanye, yaitu popularitas, favorabilitas, dan elektabilitas produk.

Saat ini belum ada produk politik di Indonesia yang secara sadar membangun karakteristik sesuai harapan pasar. Hal ini terlihat dari pesan-pesan para politisi dalam pemilu atau pilkada yang cenderung seragam.

Membangun Konstituen

Kesadaran membangun, memelihara, apalagi memperluas konstituen relatif masih terbatas jika orientasi penjualan masih menjadi moda dominan. Untuk itu, perlu perubahan mendasar.

Kegiatan yang semula lebih banyak dilakukan di bagian depan (front office) harus ditarik ke bagian belakang (back office). Artinya, partai politik dan kandidat harus meracik pola kampanye yang dapat menjawab kebutuhan bukan hanya pemilih, melainkan juga target pasar yang lebih luas, mulai dari anggota dan ormas yang berafiliasi dengan partai politik, penyumbang dana, media massa, dan pembentuk opini publik.

Di sinilah pengembangan sumber daya manusia menjadi penting dalam organisasi partai politik. Caranya dengan menempatkan orang-orang yang terampil sebagai pengurus ataupun kandidat. Kerja politik, termasuk riset, dapat dilakukan secara internal untuk mengurangi biaya.

Output dari riset mendalam adalah strategi dan taktik yang tepat dan mampu menjawab persoalan. Dengan demikian, sumber daya dapat dihemat selain mengurangi bahaya moral (moral hazard) dari politik biaya tinggi yang selama ini ditakutkan.

Demokrasi akan berkualitas jika para politisi memiliki keterampilan menjalankannya. Demokrasi tanpa keterampilan politik hanya melahirkan anarki. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar