Selasa, 17 Juli 2012

Antara Jokowi 2012 dan SBY 2004


Antara Jokowi 2012 dan SBY 2004
Inco Hary Perdana ; Dosen Ilmu Komunikasi UMN
SINAR HARAPAN, 17 Juli 2012


Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama Pilkada DKI melawan incumbent Foke-Nara menjadi euforia tersendiri dalam dunia demokrasi nasional.

Walaupun belum ada putusan resmi dari KPUD Jakarta, rata-rata hasil quick count memang memenangkan pasangan Jokowi-Ahok di atas 40 persen – sedangkan Foke-Nara masih di bawah 35 persen. Pasangan lain, masih di bawah 15 persen.

Hal ini menyebabkan Pilkada DKI harus dilanjutkan dengan putaran kedua dengan pasangan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara sebagai pesertanya.

Peristiwa ini mengingatkan penulis akan Pilpres 2004 yang juga berlangsung dua putaran – dan seperti kita ketahui posisinya juga mirip yaitu Megawati sebagai incumbent, akhirnya kalah oleh SBY sebagai pendatang baru.

Euforia saat ini mirip dengan kemenangan SBY yang saat itu memang selalu mendapat citra positif dari berbagai media massa. Bagaimanapun, kita harus jujur bahwa media mempunyai peranan yang sangat besar dalam memenangkan SBY pada 2004. Dalam lima tahun, popularitas SBY begitu tinggi dan tidak tersaingi oleh tokoh-tokoh lainnya sehingga akhirnya kembali memenangi Pilpres 2009.

Peran Media

Jokowi yang awalnya adalah tokoh lokal – mau tidak mau harus diakui juga ikut dibesarkan oleh media. Di luar berbagai kesuksesannya memimpin Kota Solo, Jokowi juga kerap menjadi sumber berita yang bernilai tinggi untuk media-media nasional. Sebut saja seperti kasusnya dengan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dan juga mobil Esemka yang direncanakan sebagai mobil nasional.

Pilpres 2004 dan Pilkada DKI 2012 sama-sama mempunyai banyak kandidat – awalnya sama-sama mempunyai enam kandidat, namun belakangan pasangan Gus Dur-Marwah Daud Ibrahim terganjal masalah kesehatan fisik Gus Dur saat itu. Putaran kedua – baik Pilpres 2004 dan Pilkada DKI 2012 – sama-sama diikuti incumbent dan tokoh yang sedang naik daun – SBY saat itu dan Jokowi kini.

Di mana peran partai politik yang mengusungnya? SBY 2004 dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Jokowi 2012 dicalonkan PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.

SBY 2004 dicalonkan oleh partai-partai yang saat itu bukan partai besar dan juga bukan partai pemenang pemilu, begitu juga Jokowi 2012 dicalonkan oleh bukan partai pemenang di DKI pada Pemilu 2009.

Penulis melihat bahwa partai politik tidak berperan maksimal dan (mungkin) tergantikan oleh ketokohan kandidat. PDI Perjuangan yang pada Pemilu 2004 berada di posisi kedua setelah Partai Golkar tidak mampu memberikan suaranya secara maksimal untuk kemenangan Megawati, namun begitu Partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu 2009 di DKI punya perolehan suara 35 persen – tidak jauh berbeda dengan angka yang diperoleh Foke-Nara saat ini.

Media mempunyai peran yang sangat vital pada pilkada saat ini di mana Jokowi selalu mendapat sentimen positif, sedangkan Foke mendapatkan sentimen negatif akan kinerja selama masa pemerintahannya.

Di sini penulis melihat bahwa publisitas jauh lebih berperan dalam perilaku memilih ketimbang dengan iklan politik – walaupun penulis melihat bahwa iklan-iklan politik pasangan Foke-Nara dikemas secara kreatif.

Iklan – sekreatif apa pun – dibuat pesan politiknya oleh kandidat beserta konsultan komunikasinya, sedangkan publisitas sangat bergantung dengan kepentingan media yang bersangkutan. McQuail (2010) mengatakan bahwa pemilik media massa memiliki kekuasaan mutlak atas konten dan dapat meminta apa yang mereka ingin masukkan atau keluarkan dalam sebuah pesan media.

Di sinilah kita bisa melihat kekuatan media yang besar dalam meningkatkan elektabilitas, bukan dengan iklan namun dengan publisitas di dalamnya.

Iklan politik – tentu memang memberikan keuntungan kepada media, namun lebih dalam bentuk kapital dan jangka pendek. Sedang publisitas, bisa menjadi bagian dari agenda setting sebuah media yang (mungkin) tujuannya adalah jangka panjang.

Walaupun saat ini social media juga banyak digunakan para kandidat dalam Pilkada DKI 2012 – seperti yang sangat intens oleh pasangan Faisal-Biem – namun kiranya media massa masih memiliki keunggulan terutama untuk para kalangan grassroot. Media massa dengan sifat kelembagaannya, mampu menyebarkan pesan secara sistematis dan tersusun rapi.

Akuntabilitas dan Elektabilitas

Menuju putaran kedua Pilkada DKI, tentu saja dua kandidat masih akan menggunakan media massa dalam strategi pemenangan mereka. Melalui pull-political marketing, kedua kandidat – Jokowi-Ahok dan Foke-Nara – masih akan menggunakan iklan juga publisitas dalam strategi mereka.

Di sinilah peran masyarakat diharapkan dapat mengawal peran media sehingga akuntabilitasnya dapat terjaga.

Menurut Laitila dalam McQuail (2010) akuntabilitas media ditentukan oleh kode jurnalistik suatu negara yang umumnya mengacu kepada enam hal, yaitu (1) Kebenaran informasi; (2) Kejernihan informasi; (3) Perlindungan terhadap hak-hak publik; (4) Tanggung jawab dalam pembentukan opini publik; (5) Standar dalam mengumpulkan dan melaporkan informasi; dan (6) Menghormati integritas sumber.

Saat ini masalah pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye politik diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2008. Namun demikian, banyak pihak yang berpendapat bahwa perundang-undangan tersebut masih harus direvisi guna diberikan kesempatan yang merata kepada setiap kandidat atau partai politik peserta pemilu; juga mungkin sudah saatnya mengatur kampanye melalui social media.

Harapan penulis, siapa pun tokoh yang memenangi putaran kedua nanti tidak akan menjadi bulan-bulanan media massa secara berlebihan seperti SBY di tahun 2009 karena kita tahu popularitas SBY yang begitu tinggi saat itu tidak mampu diredam oleh media. Sebuah bumerang bagi demokrasi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar