Integrasi
Perbankan ASEAN
Joko Siswanto ; Peneliti Senior
Divisi International Banking Bank Indonesia
KOMPAS,
18 Juli 2012
Di tengah pesimisme dunia
menghadapi penyelesaian krisis Eropa, ASEAN menyepakati pembentukan integrasi
perbankan.
Disebut ASEAN Banking Integration Framework atau ABIF, inisiatif ini
digagas oleh gubernur bank sentral se-ASEAN dan telah bergulir setahun
terakhir. ABIF adalah salah satu langkah konkret menuju Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015. Alasannya jelas, kesatuan ekonomi tidak terlepas dan harus
didukung kesatuan perbankan.
Inisiatif membentuk kesatuan
keuangan ASEAN bukanlah isu baru. Tahun 2003, seluruh menteri keuangan ASEAN
sepakat membentuk peta jalan integrasi moneter dan keuangan ASEAN (Roadmap for Monetary and Financial
Integration of ASEAN atau RIA-fin).
RIA-fin mencakup empat
inisiatif: liberalisasi arus modal, liberalisasi jasa keuangan, pengembangan
pasar modal, dan kerja sama mata uang. Dalam perjalanannya, diskusi kerja sama
mata uang tidak berlanjut karena dianggap tidak layak. Namun, perundingan tiga
inisiatif lainnya masih terus berlangsung.
Stabilitas Regional
Integrasi tidak akan terjadi
jika masih ada hambatan. Dalam konteks jasa keuangan, integrasi mensyaratkan
terbukanya akses pasar (MA) dan perlakuan nasional yang non-diskriminatif
terhadap investor asing (NT).
ASEAN telah memiliki
mekanisme untuk itu melalui Kerangka Perjanjian Jasa ASEAN/Liberalisasi Jasa
Keuangan (AFAS/FSL). Melalui AFAS/FSL ini, seluruh anggota ASEAN meletakkan
komitmen liberalisasinya atas empat moda pasokan jasa: pasokan lintas batas
(moda 1), konsumsi di luar negeri (moda 2), keberadaan komersial (moda 3), dan
pergerakan tenaga kerja (moda 4).
Namun, liberalisasi hanyalah
langkah awal (necessary conditions)
dalam proses integrasi. ASEAN menginginkan integrasi perbankan yang stabil,
berkesinambungan, dan berkontribusi positif bagi ekonomi. Untuk itu diperlukan
syarat cukup (sufficient conditions)
agar proses integrasi berjalan tanpa gejolak. ABIF melengkapi syarat cukup
melalui empat prakondisi.
Saat proses liberalisasi
berlangsung di bawah AFAS/FSL, ABIF menyiapkan jaring pengaman agar proses
integrasi berjalan aman. ABIF menyediakan rambu-rambu agar perjalanan perbankan
ASEAN menuju cita-cita integrasi selamat.
Rambu disusun dalam bentuk
empat prakondisi, yaitu harmonisasi regulasi prudensial, ketersediaan
infrastruktur stabilitas keuangan, kesetaraan kapasitas seluruh anggota ASEAN,
dan kesepakatan kriteria bank ASEAN.
Relevan
Sebagai konsep, keempat
prakondisi tersebut sangat relevan dengan situasi global saat ini. Tantangan
menjadi berat saat mendiskusikan hal-hal yang lebih teknis dan operasional, the devils are in details.
Keragaman dan kedalaman
tingkat pembangunan sektor keuangan di ASEAN cukup kontras, bahkan di antara
ASEAN-5 (Malaysia dan Singapura di satu sisi dengan Indonesia, Thailand dan
Filipina di sisi lain). Apalagi antara ASEAN-5 dengan BCMLV (Brunei, Kamboja,
Myanmar, Laos, dan Vietnam).
Misalnya, standar aturan
prudensial anggota ASEAN berbeda satu sama lain. Kalaupun sama, metode
penghitungan variabel indikator prudensial bisa berbeda. Tantangan bagi ASEAN
adalah standar prudensial yang diterima seluruh anggotanya.
Tantangan berikutnya adalah
tersedianya kelengkapan infrastruktur stabilitas keuangan di seluruh ASEAN. Artinya,
seluruh anggota ASEAN harus memiliki antara lain Lembaga Penjamin Simpanan,
skema dana talangan pada saat krisis (lender
of last resort), protokol manajemen krisis¸ dan perlindungan nasabah. Semua
itu berperan penting terutama untuk memperkuat ketahanan sistem perbankan
terhadap krisis. Namun, tidak seluruh anggota ASEAN memiliki kelengkapan
infrastruktur serupa. Semakin dalam struktur keuangan, semakin perlu kesiapan
infrastruktur stabilitas keuangan yang lebih baik dan lengkap.
Sebelum membicarakan
prakondisi yang ketiga (peningkatan kapasitas), tantangan lain adalah
kesepakatan terhadap kriteria bank ASEAN (prakondisi keempat). Bagaimana
definisinya? Bagaimana kriteria bersama tentang, misalnya, tingkat kesehatan
bank yang layak bagi bank ASEAN? Apakah bankASEAN memiliki keistimewaan
dibandingkan bank non-ASEAN? Beberapa pertanyaan itu harus dijawab seluruh
otoritas perbankan ASEAN.
Prakondisi ketiga adalah
salah satu upaya dalam menjembatani gap
pada tiga prakondisi yang disebutkan di atas. Namun, skema ini pun menyimpan
tantangan dalam persiapan hingga pelaksanaan. Sejauh mana anggota advanced ASEAN membantu anggota lainnya
yang relatif tertinggal? Apakah cukup dengan infrastruktur lunak (misalnya
harmonisasi regulasi) atau hingga infrastruktur keras (misalnya mendirikan
Lembaga Penjamin Simpanan)? Siapa yang menjadi donornya? Bagaimana sistem
pemantauannya?
Permintaan-Penawaran
Pasar Indonesia yang sangat
besar memberi anugerah sekaligus ancaman. Anugerah karena masih terbuka
kesempatan bagi perbankan Indonesia memperluas basis pasarnya. Data terakhir
menunjukkan, masih terdapat 62 persen rumah tangga yang belum memiliki tabungan
(Survei Rumah Tangga 2010).
Dari sisi pembiayaan, kredit
perbankan kuartal I-2012 tumbuh 26 persen, melonjak melampaui target 23-24
persen. Dari kedua sisi permintaan-penawaran, tampak bahwa potensi meningkatkan
akses terhadap bank (dan inklusi keuangan pada umumnya) masih terbuka luas.
Pasar Indonesia yang besar
juga dapat menjadi ancaman karena kehadiran asing. Dengan kekuatan modal asing
yang lebih besar, teknologi lebih maju, jejaring global, dan kualitas sumber
daya manusia yang lebih andal, bank asing bisa jadi ”momok” bank lokal. Saat
ini setidaknya ada 10 kantor cabang bank asing (100 persen saham milik asing),
30-an bank campuran, dan 20-an bank domestik yang sebagian sahamnya dikuasai
asing.
Di tingkat ASEAN, efisiensi
perbankan nasional kita (BOPO 83 persen) masih berada di bawah Filipina (69
persen), Thailand (54 persen), Singapura (51 persen), dan Malaysia (50 persen).
Namun, pasar Indonesia masih sangat potensial, tecermin dari rasio kredit per
PDB yang relatif rendah dibandingkan negara ASEAN lain. Disimak dari kekuatan
modal dan aset, posisi perbankan Indonesia di ASEAN tampaknya satu kelompok
dengan bank-bank di Thailand, tetapi relatif tertinggal dibandingkan Malaysia
dan Singapura.
Dengan kondisi seperti itu,
wajar bila belakangan ini berkembang pendapat dan keinginan dari berbagai
kalangan untuk memproteksi pasar dalam negeri, menuntut asas resiprokal, dan
meninjau kembali aturan kepemilikan. Ketiga hal itu membutuhkan jawaban atas
tata kelola perbankan yang prima dan prinsip prudensial yang terjaga. Saatnya
segera berbenah mumpung masih ada waktu.
Situasi global yang belum
menentu dan kesepakatan kawasan mengarah pada integrasi menuntut kesiapan
perbankan nasional menghadapinya. Penguatan modal, peningkatan efisiensi, dan
sinergi menjadi faktor kunci.
Sinergi membentuk ”Indonesia Inc” antara industri
perbankan, regulator, dan pemerintah agar Indonesia bisa tampil lebih percaya
diri dalam integrasi perbankan ASEAN, bahkan global. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar