Minggu, 18 Juli 2021

 

Menggenjot Kualitas Pendidikan Kaum Pinggiran

Riduan Situmorang ;  Guru SMAN 1 Doloksanggul, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional

KOMPAS, 17 Juli 2021

 

 

                                                           

Sesuai konstitusi, pendidikan adalah hak warga. Karena itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan hak itu kepada warga. Sesungguhnya, pemerintah sudah memberikan kewajibannya.

 

Dibuatnya program Wajib Belajar 9 Tahun, bahkan dinaikkan menjadi 12 tahun, adalah buktinya. Lebih tinggi, terobosan Bidikmisi untuk perguruan tinggi adalah bukti besar bahwa pemerintah sangat serius menunaikan kewajibannya.

 

Hasilnya, sejak anggaran pendidikan dinaikkan, telah terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah sampai 31 persen melalui penambahan 10 juta siswa sekolah dasar dan menengah (Bank Dunia, The Promise of Education, 2020).

 

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas pada 2020 mencapai 8,9 tahun. Pencapaian angka ini sudah tergolong baik. Namun, timbul persoalan lain, yaitu keadilan akses pendidikan. Sebab, menurut BPS, RLS mereka yang berasal dari kategori minor (perdesaan, perempuan, penyandang disabilitas) masih sangat rendah.

 

Padahal, menurut Bank Dunia, jalur terbaik bagi orang dari kategori minor untuk mengangkat status sosialnya adalah dari pendidikan. Bahkan, konon ada korelasi tinggi antara persentase popu­lasi penduduk yang memiliki gelar sarjana dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Bank Dunia, 1996).

 

Selain akses pendidikan yang memadai, kualitas pendidikan untuk kategori minor juga perlu diperhatikan. Sebab, walaupun rata-rata anak Indonesia belajar selama 12,4 tahun, kemampuan rata-ratanya ternyata hanya setara dengan belajar 7,8 tahun (Human Capital Index, 2020).

 

Ketimpangan lama belajar dan kualitas belajar ini terjadi karena kualitas pendidikan untuk kategori minor masih jauh dari tataran ideal. Ini terlihat terang dalam studi Program Penilaian Pelajar Internasional/PISA (2015) bahwa perbedaan skor rata-rata antara siswa dari kelompok dengan status sosial ekonomi terendah dan tertinggi mencapai angka 60 poin.

 

Ketimpangan ini tentu saja terjadi karena salah sasaran atau ketidakadilan pembiayaan pendidikan. Pada 2015, BPS mencatat bahwa 4,9 juta anak miskin di Indonesia belum mampu mengakses pendidikan.

 

Padahal, pada saat yang sama, menurut Unicef (2015), hampir setengah dari anggaran pendidikan Indonesia hanya dinikmati sekitar 10 persen penduduk. Bahkan, sekitar 20 persen siswa kaya menerima 18 kali lebih banyak aneka fasilitas daripada 20 persen siswa miskin. Ironisnya, ketidakadilan atau ketidakberdampakan pembiayaan pendidikan untuk kategori minor pada masa pandemi ini niscaya akan semakin mencemaskan bagi kategori minor.

 

Pasalnya, pemerintah memukul rata bahwa kendala pada pembelajaran jarak jauh (PJJ) adalah kuota belajar. Faktanya, banyak siswa di perdesaan yang tak memiliki gawai, bahkan jaringan internet pun tidak ada. Karena itu, potensi learning loss sangat besar bagi siswa di pinggiran.

 

Semakin besar pula karena belakangan ini skema sistem zonasi sudah diterapkan. Skema sistem zonasi ini sama sekali tak cocok di perdesaan. Tak pelak lagi, skema sistem zonasi hanya akan memperpanjang daftar bagaimana pemerintah melihat pembangunan pendidikan dari kacamata kota dan bukannya dari kategori minor.

 

Sederhana saja, di perdesaan, SMA umumnya hanya ada satu untuk sebuah kecamatan dan bertempat di pusat kecamatan. Sementara itu, orang-orang yang cenderung miskin berada jauh dari pusat kecamatan. Dampaknya, banyak siswa dari pinggiran akan tereliminasi oleh sistem zonasi.

 

Banyak dari mereka yang kemudian memutuskan untuk berhenti sekolah. Sebab, jika harus melanjutkan sekolah, mereka harus masuk SMA swasta di pusat kabupaten yang jumlahnya pun sangat terbatas. Selain itu, biaya juga malah membengkak mulai dari biaya kos hingga biaya uang sekolah.

 

Berdasarkan itu, rasanya perlu skema khusus pembiayaan pendidikan untuk menggenjot percepatan peningkatan kualitas pendidikan dari kategori minor. Sayang, birokrasi pendidikan kita terkesan lamban dan inilah letak masalah mendasar tata kelola pendidikan kita.

 

Betapa tidak? Sebelum APBN pendidikan digemukkan, kita pernah mengalami percepatan peningkatan skor IPM, yaitu pada dekade 1990-2000 dengan rata-rata perkembangan nilai indeks sebesar 1,36 persen per tahun. Namun, pada 2000-2010 rata-rata perkembangan nilai indeks mengalami penurunan: sebesar 0,92 persen per tahun. Lalu terus menurun menjadi rata-rata sebesar 0,78 persen per tahun pada periode 2010-2015 (UNDP, 2017).

 

Ini menjadi ironi sebab bagaimana mungkin anggaran pendidikan dinaikkan, tetapi kualitasnya tak juga terkatrol dengan baik? Padahal, penaikan anggaran untuk pendidikan bisa dinilai sebagai tindakan yang sangat heroik dari bangsa ini pada saat itu. Pasalnya, meski ekonomi sedang goyah, Indonesia dengan berani mengalokasikan dana pendidikannya sebesar 20 persen dari total APBN/APBD. Beda dengan negara-negara lain, seperti dalam laporang Unicef (2002), bahwa Amerika Serikat, Rusia, dan China hanya mengalokasikan 2 persen anggarannya untuk pendidikan. Pakistan bahkan hanya 1 persen.

 

Namun, pada prosesnya, pembiayaan itu seperti kurang berdampak. Kenaikan anggaran di Indonesia pada 2000-an dan penurunan di Pakistan pada 1990-an nyatanya tak berdampak berbeda (The Economist, 15/11/2018). Penyebabnya bisa beragam. Paling tidak, yang pertama adalah tingkah laku koruptif oleh pejabat pendidikan, kedua karena ketidakadilan pembiayaan pendidikan.

 

Namun, mengutip Razali Ritonga, anggaran jumbo itu ternyata masih tergolong rendah. Perhitungannya, rasio pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan terhadap produk domestik bruto (PDB) masih kecil dibandingkan dengan rata-rata global. Rasio pengeluaran pendidikan terhadap PDB kita hanya 3,3 persen dan kesehatan sebesar 1,1 persen.

 

Secara faktual, rasio pengeluaran sebesar itu masih jauh di bawah rasio global yang besarnya untuk pendidikan 5,0 persen dan untuk kesehatan 6,0 persen terhadap PDB global (UNDP, 2017). Patut dicermati, sejumlah negara meski dengan pendapatan per kapita lebih rendah memiliki rasio pengeluaran terhadap PDB yang lebih besar sehingga mengalami percepatan pembangunan manusia dengan peringkat yang lebih baik daripada kita, misalnya, Kuba (peringkat ke-68) dengan pengeluaran pendidikan terhadap PDB sebesar 12,8 persen dan rasio pengeluaran kesehatan terhadap PDB sebesar 10,6 persen. Dalam lajur berpikir seperti inilah kita bisa menggenjot kualitas pendidikan pada kategori minor.

 

Sebab, menurut analisis Elin Driana dalam merespons hasil PISA, secara konsisten disimpulkan bahwa sistem pendidikan terbaik di dunia diperoleh oleh mereka yang memberi kesempatan yang adil tanpa memandang status sosial, jender, dan latar belakang ekonomi (Kompas, 10/1/2017).

 

Bahkan, dalam laporan PISA (2016) bertajuk ”Excellence dan Equity in Educatuion” dengan tegas dikatakan bahwa yang diperjuangkan adalah kemerataan, bukan keunggulan. Dari berbagai kenyataan pahit itu sudah saatnya kita peduli dan memberi perhatian khusus bagi pendidikan kategori minor demi menggenjot kualitas pendidikan nasional kita, persis seperti yang dilakukan Kuba. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar