Resistensi
Antibiotik di Rantai Pangan Tri Satya Putri Naipospos ; Center for Indonesian Veterinary Analytical
Studies |
KOMPAS, 16 Juli 2021
Jumlah korban kematian
akibat pandemi global Covid-19 terpapar dengan jelas di depan mata kita,
tetapi ada pandemi lain yang akan berakhir sama dahsyatnya apabila tidak
diatasi sejak awal. Kita berbicara tentang
suatu pandemi senyap (silent pandemic) resistensi antibiotik yang sudah
dimulai sejak sebelum pandemi Covid-19. Apabila Covid-19 mampu
memorakporandakan aspek kehidupan suatu negara dalam beberapa bulan saja,
resistensi antibiotik bergerak lebih lambat dengan kemampuan destruksi sama. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), angka kematian akibat resistensi antibiotik per tahun
sekitar 700.000 orang di seluruh dunia. Namun, para ahli mengestimasi angka
kematian per tahun akan menyentuh 10 juta orang pada 2050, mengalahkan
penyakit utama lainnya, seperti kanker dan diabetes. Resistensi antibiotik
telah menjadi suatu ancaman kesehatan global serius yang dapat melintasi
batas spesies manusia dan hewan. Banyak negara di dunia menyadari resistensi
antibiotik harus menjadi isu prioritas di kedokteran manusia, kedokteran
hewan, dan sistem pangan karena ancamannya terhadap kesehatan masyarakat,
ketahanan pangan, dan perekonomian global. Situasi
global Direktur Jenderal WHO
Tedros Adhanom mengatakan, jika para pembuat kebijakan gagal mengatasi
tantangan resistensi antibiotik, kita akan menyaksikan pandemi meningkat
secara diam-diam dengan konsekuensi besar yang sangat tidak kita harapkan. Faktanya akan semakin
banyak infeksi menjadi resisten terhadap antibiotik dan ini berarti lebih
sulit bagi kita untuk mengobati infeksi dan menyebabkan lebih banyak
kematian. Di negara maju seperti
Amerika Serikat, lebih dari 35.000 orang meninggal setiap tahun akibat
resistensi antibiotik. Di Uni Eropa, resistensi antibiotik bertanggung jawab
atas kematian 33.000 orang setiap tahun. Sementara negara berkembang, seperti
Thailand, mencatat kematian sekitar 38.000 orang setiap tahun. Memang belum
ada data pasti mengenai kematian akibat resistensi antibiotik di Indonesia,
tetapi dari catatan rumah sakit diperkirakan angka kematian terus meningkat. Sampai saat ini muncul dan
menyebarnya resistensi antibiotik telah dikaitkan dengan penyalahgunaan,
penggunaan berlebihan atau sembarangan antibiotik untuk kesehatan manusia dan
hewan. Bahkan penggunaan rutin antibiotik pada hewan sebagai pemacu
pertumbuhan (growth promoter) atau untuk pencegahan dan pengobatan infeksi
nonspesifik yang telah dipraktikkan sejak lama telah meningkatkan konsumsi
antibiotik dan resistensi bakteri di habitat hewan. Data rinci mengenai berapa
sesungguhnya konsumsi antibiotik global sulit dikumpulkan. Para ilmuwan
mengestimasi 75 persen dari jumlah antibiotik global dikonsumsi oleh ternak.
Sebuah studi tahun 2020 mengestimasi penggunaan antibiotik global pada ternak
adalah sebesar 93.300 ton pada 2017 dan diproyeksikan akan meningkat 11,5
persen menjadi 104,1 ton pada 2030. Begitu juga diestimasi peningkatan 15
persen penggunaan antibiotik pada manusia antara tahun 2015 dan 2030. Krisis resistensi
antibiotik muncul dari fakta bahwa perkembangan temuan antibiotik baru tidak
dapat mengimbangi laju resistensi bakteri yang tumbuh secara eksponensial.
Dibutuhkan waktu rata-rata 21 tahun untuk bakteri menjadi resisten ketika
antibiotik pertama kali digunakan. Contohnya, penisilin
ditemukan tahun 1928, mulai diakses publik secara luas tahun 1940, dan
menjadi resisten pada tahun 1947. Sekarang hanya dibutuhkan rata-rata satu
tahun bagi bakteri untuk mengembangkan resistensi terhadap antibiotik. Rantai
pangan Penularan resistensi
antibiotik lewat rantai pangan saat ini semakin meningkat dan berada pada
tingkat yang mengkhawatirkan. Pangan berperan penting dalam pengembangan dan
penyebaran resistensi antibiotik. Lingkungan pengolahan pangan dapat
bertindak sebagai area berisiko yang berpotensi untuk perkembangbiakan dan
penyebaran bakteri resisten antibiotik. Produsen pangan hewani
telah lama menggunakan antibiotik, termasuk yang sangat penting bagi
kesehatan manusia, untuk membantu hewan mencapai berat badan yang ditargetkan
pada saat pemotongan sambil mencegah hewan tertular infeksi karena kondisi
kandang yang kurang higienis dan padat. Adanya bakteri resisten
antibiotik dalam sistem produksi ternak dan rantai pangan merupakan rute
potensial untuk terpapar ke manusia. Bakteri dan gen resisten antibiotik
dapat secara mudah menyebar pada setiap tahapan dalam rantai pangan, mulai
dari peternakan hingga ke konsumen. Suatu studi tahun 2015
menemukan bahwa 40 persen sampel pangan hewani mengandung bakteri resisten
terhadap satu atau lebih antibiotik. Bakteri resisten antibiotik di rantai
pangan, seperti campylobacter, salmonella, dan Escherichia coli, sering kali
menjadi isu kesehatan yang penting karena dapat diisolasi dari pangan dan
lingkungan pengolahan pangan. Kita dapat terpapar
bakteri resisten dari rantai pangan, misalnya saat mengonsumsi daging ayam.
Jika bakteri tersebut patogen akan menyebabkan manusia menjadi sakit, dan
orang tersebut tidak bereaksi terhadap antibiotik atau pengobatan lainnya.
Jika bakteri itu sendiri tidak patogen, bakteri tetap dapat berkontribusi
dengan mentransfer gen resisten ke bakteri patogen lainnya. Distribusi pangan yang
luas akan lebih mempercepat penyebaran resistensi antibiotik. Namun,
bagaimana kita terpapar sangat bergantung pada keputusan kita memilih pangan
yang bersih dan bermutu. Pangan hewani tetap aman sepanjang konsumen
mengikuti praktik higiene dan pemasakan yang baik. Strategi
”One Health” Untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan pangan, terutama yang berasal dari hewan, penggunaan antibiotik di
sektor peternakan diperkirakan akan meningkat substansial di beberapa bagian
dunia, termasuk Indonesia. Tantangan ganda yang dihadapi saat ini dan ke
depan adalah bagaimana kita dapat melindungi efektivitas antibiotik,
sekaligus tetap mampu memproduksi pangan hewani yang aman dalam jumlah
memadai. Dalam beberapa tahun
terakhir, suatu upaya global telah dilakukan untuk mempersatukan semua negara
di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengangkat isu
resistensi antibiotik menjadi pusat perhatian dunia dan memastikan komitmen
politik dalam mengambil tindakan bersama. Strategi dengan pendekatan
One Health untuk mengatasi resistensi antibiotik dengan fokus pada
pengurangan penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan serta memastikan
penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab oleh semua pemangku
kepentingan. Praktik-praktik higiene
dan sanitasi di sepanjang rantai pangan, mulai dari peternakan, rumah potong
hewan, gerai ritel, restoran, hingga konsumen, bukan hanya sangat mendasar
dalam meningkatkan status keamanan pangan, melainkan juga kunci dalam
mengatasi resistensi antibiotik. Upaya mengatasi resistensi
antibiotik perlu didukung juga oleh sistem monitoring dan surveilans yang
efektif untuk menelusuri penggunaan antibiotik dan mengidentifikasi
penyebaran resistensi di rantai pangan. Kepatuhan terhadap
regulasi, persyaratan pelabelan produk, kesadaran konsumen, dan peran media
adalah faktor yang juga berkontribusi penting dalam mencapai sasaran
perbaikan yang kita inginkan di rantai pangan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar