Sabtu, 17 Juli 2021

 

Indonesia di Mata Dunia

Ignatius Haryanto ;  Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong. Kandidat Doktor Komunikasi, Universitas Indonesia

KOMPAS, 16 Juli 2021

 

 

                                                           

Tahun 2021 ini kali kesepuluh Reuters Institute mempublikasikan survei global terkait perkembangan media digital di dunia. Laporan yang dipublikasikan akhir Juni 2021 itu mencakup survei atas 46 negara di enam benua, dan tahun ini ada enam negara yang baru dimasukkan dalam survei, yaitu Kolombia dan Peru (Amerika), India, Indonesia, dan Thailand (Asia Pasifik), dan Nigeria (Afrika).

 

Inilah pertama kalinya Indonesia masuk dalam sorotan Digital News Report ini, berdasarkan alasan bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia yang tahun ini mencapai 71 persen (dari total 276 juta penduduk). Survei yang sama tahun lalu memasukkan sejumlah negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina, sedangkan untuk tingkat Asia Pasifik lainnya adalah Australia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.

 

Dalam ringkasan penelitian ini ada banyak poin yang diulas, mulai dari soal kepercayaan publik terhadap berita yang disampaikan oleh lembaga media, masalah platform media apa yang paling banyak dikonsumsi publik, perilaku kaum muda terhadap berita, penggunaan media sosial yang berkompetisi dengan media arus utama, serta pengaruh pandemi terhadap pola konsumsi berita.

 

Ringkasan penelitian ini juga menyinggung soal peran influencer (yang banyak memanfaatkan media sosial seperti Tik Tok, Snapchat dan Instagram) yang sering berhadap-hadapan dengan media arus utama (yang memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Twitter). Soal kemauan publik untuk membayar langganan media berita rupanya banyak terjadi di negara-negara kaya (Eropa Utara) namun secara global, keinginan membayar langganan media berita tergolong rendah.

 

Indonesia dalam DNR 2021

 

Dalam ringkasan penelitian tersebut perhatian terkait masalah misinformasi meningkat di berbagai negara, namun yang tertinggi terjadi di Brasil (82 persen) sementara yang terendah Jerman (37 persen).

 

Diungkapkan bahwa para pengguna media sosial lebih mudah terpapar dengan misinformasi terkait dengan masalah Covid-19 daripada mereka yang bukan pengguna media sosial tersebut. Disebutkan juga dalam laporan ini bahwa Facebook dilihat sebagai kanal utama yang dimanfaatkan untuk menyebarkan berita palsu itu, namun aplikasi percakapan seperti WhatsApp dirasakan sebagai problem besar seperti terjadi di Brasil dan Indonesia.

 

Dalam laporan tentang Indonesia yang dituliskan oleh Prof Janet Steele dari George Washington University, disebutkan sejumlah hasil survei yang menggambarkan pola konsumsi media cetak, radio dan televisi, di mana empat teratas adalah: TV One, Metro TV, Kompas, dan CNN. Sementara untuk online media urutan dari sisi konsumsi: Detik.com, Kompas.com, CNN.com, dan Tribunnews online.

 

Jika dilihat dari sisi sumber berita, media daring (termasuk media sosial) menjadi sumber utama berita untuk publik (89 persen), sementara TV dikonsumsi 58 persen publik, sedangkan media cetak tinggal dikonsumsi oleh 20 persen anggota masyarakat.

 

Yang menarik, kepercayaan publik terhadap berita, hanya 39 persen saja, dan ini tergolong rendah. Sementara kemauan masyarakat untuk membayar demi mengonsumsi berita hanya 19 persen.

 

Jika dilihat dari brand atau merek yang dipercaya dalam hal pemberitaan empat peringkat teratas adalah: CNN, Kompas, TVRI, dan Detik.com.

 

Lalu apa?

 

Setelah membaca data-data di atas banyak agenda atau pekerjaan rumah yang masih harus dibereskan oleh media-media di Indonesia.

 

Pertama, menyangkut kepercayaan publik terhadap media. Kembali menjadi penting mengusung nilai media yang independen, karena dalam suasana ketidakpastian, publik membutuhkan informasi dari sumber yang bisa mereka percaya, dan untuk itu harus datang dari media yang tidak partisan (tidak memihak atau dimiliki oleh kelompok politik tertentu). Harusnya ini menjadi alarm bagi media partisan yang masih cukup mendominasi lansekap media di Indonesia.

 

Kedua, mencari model bisnis yang pas pada saat terjadi transformasi digital, ditambah dengan pandemi yang belum menunjukkan titik-titik akhir, tetap merupakan pekerjaan rumah paling pelik. Banyak media ingin menggarap pelanggan berbayar, tetapi belum banyak yang sukses.

 

Harus diteliti lebih jauh mengapa hal ini terjadi; apakah karena mitos yang dipercaya masyarakat bahwa sesuatu yang ada di dunia maya adalah gratis, ataukah karena memang produk jurnalistik yang dihasilkan tidak sedemikian berbeda sehingga orang pun malas berlangganan atas produk yang biasa-biasa saja.

 

Ketiga, problem yang terkait dengan masalah misinformasi masih terus membayangi bangsa ini. Pada masa pandemi, misinformasi terus merajalela, ditambah dengan sentimen politik elektoral yang tak kunjung usai. Kementerian Komunikasi dan Informasi telah menggelar ratusan forum untuk mengajak masyarakat lebih melek dengan media digital, namun hasilnya masih harus dilihat beberapa waktu kemudian.

 

Namun, yang kelihatannya juga krusial adalah memasukkan kurikulum soal melek media digital ke dalam pendidikan formal di sekolah menengah.

 

Keempat, keluhan atas makin merosotnya pembaca media cetak harusnya dilihat dalam kerangka lebih luas, yaitu melihat problem minat baca di Indonesia yang memang parah. Mereka yang memiliki minat baca tinggi akan menjadi pembaca-pembaca tangguh dan akan lebih memilih media yang menyajikan informasi berguna (apakah itu media cetak atau media daring) ketimbang mengonsumsi berita-berita kilat yang penuh sensasi. Ini juga pekerjaan rumah tak mudah.

 

Membaca Digital News Report ini memang harus hati-hati karena laporan ini hanya memberikan gambaran umum atas kondisi Indonesia, karena penelitian yang khusus melihat kondisi Indonesia akan memberikan data yang lebih kaya dan kontekstual untuk kondisi Indonesia.

 

Namun begitu, laporan ini juga bermanfaat jika kita gunakan sebagai perbandingan terhadap kondisi di tempat lain, apakah dengan menyandingkannya dengan sesama negara di Asia Pasifik, ataukah juga dengan membandingkan dengan negara-negara Eropa Barat yang sering dijadikan contoh positif atas perkembangan media di dunia.

 

Di bawah tekanan pandemi yang terus menggerus semangat kita, kita tak boleh menyerah dan kita terus berupaya untuk melihat adanya peluang untuk memperbaiki kondisi media di Indonesia ini. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar