Indonesia
di Mata Dunia Ignatius Haryanto ; Pengajar Jurnalistik di Universitas
Multimedia Nusantara, Serpong. Kandidat Doktor Komunikasi, Universitas
Indonesia |
KOMPAS, 16 Juli 2021
Tahun 2021 ini kali
kesepuluh Reuters Institute mempublikasikan survei global terkait
perkembangan media digital di dunia. Laporan yang dipublikasikan akhir Juni
2021 itu mencakup survei atas 46 negara di enam benua, dan tahun ini ada enam
negara yang baru dimasukkan dalam survei, yaitu Kolombia dan Peru (Amerika),
India, Indonesia, dan Thailand (Asia Pasifik), dan Nigeria (Afrika). Inilah pertama kalinya
Indonesia masuk dalam sorotan Digital News Report ini, berdasarkan alasan
bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia yang tahun ini mencapai 71
persen (dari total 276 juta penduduk). Survei yang sama tahun lalu memasukkan
sejumlah negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina,
sedangkan untuk tingkat Asia Pasifik lainnya adalah Australia, Hong Kong,
Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Dalam ringkasan penelitian
ini ada banyak poin yang diulas, mulai dari soal kepercayaan publik terhadap
berita yang disampaikan oleh lembaga media, masalah platform media apa yang
paling banyak dikonsumsi publik, perilaku kaum muda terhadap berita,
penggunaan media sosial yang berkompetisi dengan media arus utama, serta
pengaruh pandemi terhadap pola konsumsi berita. Ringkasan penelitian ini
juga menyinggung soal peran influencer (yang banyak memanfaatkan media sosial
seperti Tik Tok, Snapchat dan Instagram) yang sering berhadap-hadapan dengan
media arus utama (yang memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan
Twitter). Soal kemauan publik untuk membayar langganan media berita rupanya
banyak terjadi di negara-negara kaya (Eropa Utara) namun secara global,
keinginan membayar langganan media berita tergolong rendah. Indonesia
dalam DNR 2021 Dalam ringkasan penelitian
tersebut perhatian terkait masalah misinformasi meningkat di berbagai negara,
namun yang tertinggi terjadi di Brasil (82 persen) sementara yang terendah
Jerman (37 persen). Diungkapkan bahwa para
pengguna media sosial lebih mudah terpapar dengan misinformasi terkait dengan
masalah Covid-19 daripada mereka yang bukan pengguna media sosial tersebut.
Disebutkan juga dalam laporan ini bahwa Facebook dilihat sebagai kanal utama
yang dimanfaatkan untuk menyebarkan berita palsu itu, namun aplikasi
percakapan seperti WhatsApp dirasakan sebagai problem besar seperti terjadi
di Brasil dan Indonesia. Dalam laporan tentang
Indonesia yang dituliskan oleh Prof Janet Steele dari George Washington
University, disebutkan sejumlah hasil survei yang menggambarkan pola konsumsi
media cetak, radio dan televisi, di mana empat teratas adalah: TV One, Metro
TV, Kompas, dan CNN. Sementara untuk online media urutan dari sisi konsumsi:
Detik.com, Kompas.com, CNN.com, dan Tribunnews online. Jika dilihat dari sisi
sumber berita, media daring (termasuk media sosial) menjadi sumber utama
berita untuk publik (89 persen), sementara TV dikonsumsi 58 persen publik,
sedangkan media cetak tinggal dikonsumsi oleh 20 persen anggota masyarakat. Yang menarik, kepercayaan
publik terhadap berita, hanya 39 persen saja, dan ini tergolong rendah.
Sementara kemauan masyarakat untuk membayar demi mengonsumsi berita hanya 19
persen. Jika dilihat dari brand
atau merek yang dipercaya dalam hal pemberitaan empat peringkat teratas
adalah: CNN, Kompas, TVRI, dan Detik.com. Lalu
apa? Setelah membaca data-data
di atas banyak agenda atau pekerjaan rumah yang masih harus dibereskan oleh
media-media di Indonesia. Pertama, menyangkut
kepercayaan publik terhadap media. Kembali menjadi penting mengusung nilai
media yang independen, karena dalam suasana ketidakpastian, publik
membutuhkan informasi dari sumber yang bisa mereka percaya, dan untuk itu
harus datang dari media yang tidak partisan (tidak memihak atau dimiliki oleh
kelompok politik tertentu). Harusnya ini menjadi alarm bagi media partisan
yang masih cukup mendominasi lansekap media di Indonesia. Kedua, mencari model
bisnis yang pas pada saat terjadi transformasi digital, ditambah dengan
pandemi yang belum menunjukkan titik-titik akhir, tetap merupakan pekerjaan
rumah paling pelik. Banyak media ingin menggarap pelanggan berbayar, tetapi belum
banyak yang sukses. Harus diteliti lebih jauh
mengapa hal ini terjadi; apakah karena mitos yang dipercaya masyarakat bahwa
sesuatu yang ada di dunia maya adalah gratis, ataukah karena memang produk
jurnalistik yang dihasilkan tidak sedemikian berbeda sehingga orang pun malas
berlangganan atas produk yang biasa-biasa saja. Ketiga, problem yang
terkait dengan masalah misinformasi masih terus membayangi bangsa ini. Pada
masa pandemi, misinformasi terus merajalela, ditambah dengan sentimen politik
elektoral yang tak kunjung usai. Kementerian Komunikasi dan Informasi telah
menggelar ratusan forum untuk mengajak masyarakat lebih melek dengan media
digital, namun hasilnya masih harus dilihat beberapa waktu kemudian. Namun, yang kelihatannya
juga krusial adalah memasukkan kurikulum soal melek media digital ke dalam
pendidikan formal di sekolah menengah. Keempat, keluhan atas
makin merosotnya pembaca media cetak harusnya dilihat dalam kerangka lebih
luas, yaitu melihat problem minat baca di Indonesia yang memang parah. Mereka
yang memiliki minat baca tinggi akan menjadi pembaca-pembaca tangguh dan akan
lebih memilih media yang menyajikan informasi berguna (apakah itu media cetak
atau media daring) ketimbang mengonsumsi berita-berita kilat yang penuh
sensasi. Ini juga pekerjaan rumah tak mudah. Membaca Digital News
Report ini memang harus hati-hati karena laporan ini hanya memberikan
gambaran umum atas kondisi Indonesia, karena penelitian yang khusus melihat
kondisi Indonesia akan memberikan data yang lebih kaya dan kontekstual untuk
kondisi Indonesia. Namun begitu, laporan ini
juga bermanfaat jika kita gunakan sebagai perbandingan terhadap kondisi di
tempat lain, apakah dengan menyandingkannya dengan sesama negara di Asia
Pasifik, ataukah juga dengan membandingkan dengan negara-negara Eropa Barat
yang sering dijadikan contoh positif atas perkembangan media di dunia. Di bawah tekanan pandemi
yang terus menggerus semangat kita, kita tak boleh menyerah dan kita terus
berupaya untuk melihat adanya peluang untuk memperbaiki kondisi media di
Indonesia ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar