Jumat, 16 Juli 2021

Gen Penyebab Obesitas

Atika Walujani Moedjiono ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 14 Juli 2021

 

 

                                                           

Obesitas menjadi salah satu faktor risiko gejala berat pada Covid-19. Juga memicu masalah kesehatan seperti diabetes, penyakit jantung, hipertensi, stroke, serta kanker.

 

Obesitas biasanya diukur lewat indeks massa tubuh (BMI), yakni berat badan dalam kilogram (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter persegi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rata-rata BMI normal pada orang dewasa di Asia dan Afrika adalah 22-23 kg per meter persegi. Pada 23-27,5 kg per meter persegi disebut kelebihan berat badan, dan lebih dari 27,5 kg per m2 adalah obesitas.

 

Adapun BMI 25-27 kg per meter persegi lazim di Amerika Utara, Eropa, beberapa negara Amerika Latin, Afrika Utara, serta Kepulauan Pasifik. Lebih dari itu berarti kelebihan berat badan, dan obesitas jika lebih dari 29,9 kg per meter persegi.

 

Adakalanya orang berotot memiliki BMI tinggi tanpa kelebihan lemak. Karena itu, Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris menggunakan lingkar pinggang sebagai patokan. Laki-laki dengan lingkar pinggang 94 cm atau lebih dan perempuan dengan lingkar pinggang di atas 80 cm cenderung mengalami masalah kesehatan terkait obesitas.

 

Estimasi WHO pada 2016, sekitar 1,9 miliar orang dewasa di dunia kelebihan berat badan, 650 juta di antaranya mengalami obesitas. Indonesia memiliki beban ganda. Di satu sisi masih berupaya mengatasi kekurangan gizi, di sisi lain menghadapi peningkatan kasus obesitas. Riset Kesehatan Dasar 2018 mendapatkan, satu dari tiga penduduk dewasa (35,4 persen) menderita obesitas.

 

Obesitas disebabkan asupan kalori lebih banyak ketimbang yang dibakar lewat aktivitas fisik. Kelebihan kalori disimpan dalam bentuk lemak. Kasus obesitas meningkat karena saat ini makanan berkalori tinggi mudah didapat, sementara aktivitas fisik jauh berkurang.

 

Faktor lingkungan sejak dalam kandungan, demikian laman kesehatan Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS), berpengaruh. Bayi dari ibu yang merokok selama hamil rentan mengalami kelebihan berat badan dibanding bayi ibu tidak merokok. Hal sama terjadi pada bayi dari ibu diabetes. Bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) lebih dari tiga bulan lebih kecil risikonya mengalami obesitas saat remaja dibandingkan bayi dengan ASI kurang dari tiga bulan.

 

Pola makan tidak teratur dapat mengganggu efektivitas jam biologis yang mengatur sinyal rasa lapar dan kenyang sehingga memicu obesitas. Penelitian juga menunjukkan kurang tidur mengganggu hormon pengontrol rasa lapar serta nafsu makan. Penelitian tahun 2004 pada lebih dari 1.000 sukarelawan mendapatkan, orang yang tidur kurang dari delapan jam semalam memiliki tingkat lemak tubuh lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidur lebih lama.

 

Gen FTO

 

Memanfaatkan data Framingham Heart Study, penelitian yang melibatkan lebih dari 10.000 orang untuk mengisi kuesioner dan pemeriksaan medis setiap beberapa tahun termasuk pemeriksaan DNA, pada 2007, para peneliti mendapatkan gen pemicu obesitas. Namun, gen fat mass and obesity-associated (FTO) hanya aktif pada mereka yang lahir setelah tahun 1942.

 

”Orang yang lahir pada awal 1940-an tidak memiliki peningkatan risiko BMI atau obesitas meski memiliki varian FTO pemicu obesitas,” kata pemimpin penelitian, James Niels Rosenquist dari Rumah Sakit Umum Massachusetts, kepada NBC News, 30 Desember 2014.

 

Penelitian yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences, tidak menjelaskan apa yang berubah setelah 1942 sehingga mengaktifkan gen. Diduga, seusai Perang Dunia II, orang-orang menjalani gaya hidup modern. Kemana-mana naik mobil, banyak duduk nonton TV, dan makan makanan cepat saji.

 

Peneliti Jerman, Martin E Hess dan Jens C Brüning, dalam Biochimica et Biophysica Acta, terbit daring 8 Februari 2014, menyatakan, ekspresi gen FTO dilaporkan pada seluruh sistem saraf pusat, terutama di inti hipotalamus yang bertanggung jawab atas kontrol keseimbangan perilaku makan.

 

Dalam kajian di jurnal Current Genomics, Mei 2011, Hélène Choquet dari Universitas California, AS, dan David Meyre dari Universitas McMaster, Kanada, memaparkan, tahun 2008, penelitian terkait genom mendapatkan delapan gen monogenik dan empat gen poligenik (FTO, PCSK1, MC4R, CTNNBL1) pemicu obesitas.

 

Pengaruh gen reseptor melanocortin-4 (MC4R), pengatur homeostasis energi, asupan makanan, dan berat badan, dilaporkan Manpreet Doulla dan kolega dari Universitas Western, Kanada, pada anak perempuan usia delapan tahun dengan obesitas berat. Dalam makalah di jurnal Paediatrics & Child Health, Desember 2014 disebutkan, mutasi gen ini diidentifikasi menyebabkan hingga 6 persen kasus obesitas dini.

 

Sejauh ini, FTO masih menjadi perhatian utama karena sangat umum, memiliki varian dan efek paling besar pada populasi keturunan Eropa, demikian Ruth JF Loos dari The Icahn School of Medicine at Mount Sinai, New York, AS, dan Giles SH Yeo dari Laboratorium Riset Metabolik Universitas Cambridge, Inggris, dalam kajian di Nature Reviews Endocrinology, Januari 2014.

 

Setiap alel (pasangan gen dalam lokus yang bersesuaian) minor tambahan dikaitkan dengan peningkatan BMI 0,39 kg/meter persegi (setara 1.130 g berat badan pada orang setinggi 1,7 m) dan risiko obesitas 1,2 kali lipat. Sementara pengaruh FTO pada populasi keturunan Asia dan Afrika lebih kecil, yakni peningkatan BMI 0,26 kg/meter persegi (setara 750 g pada orang setinggi 1,7m).

 

Pada individu yang aktif secara fisik, efek FTO turun sekitar 30 persen. Karena itu, aktivitas fisik menjadi penting dalam pengaturan berat badan, selain pengaturan makanan sehat dan rendah kalori. Aktivitas fisik seperti olahraga harus dilakukan secara teratur 2,5-5 jam per minggu. Pengurangan berat badan 3 persen atau lebih dari berat awal, signifikan mengurangi risiko komplikasi terkait obesitas seperti diabetes dan penyakit jantung. ●

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar