Tata
Ulang Negara Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS, 15 Juli 2021
Pandemi Covid-19
menyingkap kelemahan dan kekuatan sistem sosial-politik kita. Dengan postur
dan cakupan intervensi negara yang begitu besar dan luas, kapasitas institusi
pemerintahan untuk mengatasi bencana wabah tampak ketidakefektifannya.
Sebegitu rupa sehingga Presiden harus bongkar-pasang panitia ad hoc untuk
menutupi kelembaman tersebut. Di sisi lain, wabah ini
juga memperlihatkan kekuatan modal sosial masyarakat Indonesia. Charity Aid
Foundation (CAF), World Giving Index 2021, dengan laporan survei yang terkait
erat dengan situasi pandemi, sekali lagi menobatkan Indonesia sebagai negara
dengan masyarakat paling dermawan di dunia. Celakanya, tata kelola
politik dan kebijakan negara selama ini terlalu mengandalkan peran negara
dengan memubazirkan kekuatan komunitas dan peran pasar yang sehat. Bahkan,
dalam situasi pandemi yang memerlukan kecepatan bertindak,
penanganannya—seperti program vaksinasi—masih sangat padat birokratisasi;
meski setelah situasi kian tak terkendali, ada tendensi memperluas peran
komunitas dan pasar. Pergeseran dari Orde Baru
ke Orde Reformasi tak membuat postur dan lingkup negara meramping, malahan
makin tambun, dengan sumber daya manusia semenjana. Terjadi kerancuan
pemahaman antara ”cakupan” dan ”kekuatan” negara; antara ruang lingkup fungsi
negara dan kapasitas institusi negara untuk menegakkan aturan dan kebijakan.
Padahal, seperti diingatkan Francis Fukuyama, negara dengan lingkup
intervensi luas belum tentu memiliki kemampuan, bahkan sering kali tak
berdaya, untuk menciptakan serta menegakkan hukum dan kebijakan. Sebaliknya, negara dengan
lingkup peran terbatas bisa saja berkemampuan untuk menegakkan hukum dan
kebijakan secara optimal dan kuat. Dengan kata lain, lemah-kuatnya negara
tidak dilihat dari seberapa luas peran dan fungsinya, melainkan dari
kapasitas dan efektivitas institusinya. Kita harus sungguh-sungguh
mencermati kelemahan dalam tata kelola kenegaraan ini, karena tak ada negara
yang dapat berkembang baik tanpa ketepatan dan kapasitas tata kelola. Daron
Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nation Fail menyimpulkan bahwa kunci
perbedaan antara negara maju dan terbelakang terletak pada institusi
sosial-ekonominya yang memberi perbedaan insentif pada individu dan bisnis,
yang pada gilirannya bergantung pada rezim kelembagaan politik, hukum, dan
kebijakannya. Stabilitas politik dan kemakmuran berjangka panjang
mengharuskan negara terlebih dahulu menata kelembagaan politiknya secara
baik. Tata kelola negara yang
baik harus bisa memberi keseimbangan antara peran negara, pasar, dan
komunitas. Memimpin pemerintahan, apalagi dalam sistem demokrasi, selayaknya
tak dijalankan dengan cara ”mendayung”, yang memerlukan otot aparatur negara
yang besar. Cukup secara ”mengemudi” dengan mengaktifkan segala peran,
fungsi, dan agensi secara partisipatif dan koordinatif. Obesitas birokrasi negara
Indonesia bukan saja membuat anggaran negara banyak terkuras untuk biaya
rutin, yang harus dipenuhi oleh utang luar negeri. Namun, juga kurang mampu
mendinamisasi daya kreatif komunitas dan pasar. Perlu haluan direktif dan
peta jalan perampingan negara yang secara bertahap menuju pemerintahan
terbatas tapi kuat. Kuat tidak berarti
bersifat tirani, melainkan efektif dalam menegakkan hukum, kebijakan, dan
ketertiban. Peran negara lebih terbatas terutama dalam melindungi warga dari
ancaman kekerasan dan marabahaya, menegakkan kontrak, membangun kapabilitas
warga lewat pendidikan dan kesehatan, mengembangkan pranata
inovasi-teknologi, membangun infrastruktur, serta mengusahakan keadilan
distributif dan antargenerasi. Tata ulang negara itu
tidak mesti melalui perubahan radikal, secara tercerabut dari segala warisan
baik dari masa lalu. Setiap inovasi memerlukan stabilitas, dan setiap
stabilitas produktif menghendaki kontinuitas unsur-unsur baik dari masa lalu.
Persoalan infantilitas politik Indonesia disebabkan ketidakmampuan mengakumulasikan
tradisi baik dari setiap pemerintahan. Perlu disadari, penciutan
lingkup keterlibatan negara tidaklah otomatis akan membuat tata kelola
kenegaraan lebih efektif. Para perancang kebijakan sering tak memiliki daya
antisipatif bahwa dalam proses pengurangan lingkup negara itu, kebanyakan
negara berkembang bisa menghadapi problem baru yang lebih pelik. Hal ini bisa
berupa melemahnya kekuatan negara atau perlunya tipe-tipe baru kapabilitas
negara yang justru belum tersedia atau masih sangat lemah. Selain itu, upaya
restrukturisasi peran negara juga tidak bisa tambal sulam karena bisa
menimbulkan situasi paradoks yang bisa saling menegasikan. Maka dari itu, perlu
pilihan terukur dari mana perubahan harus dimulai. Dalam hal ini, ada baiknya
mendengar pengakuan Milton Friedman (2002), seorang resi ortodoks ekonomi
pasar bebas. Friedman menyebutkan hingga dekade lalu, ia hanya punya tiga
kata bagi negara yang sedang transisi dari sosialisme: privatisasi,
privatisasi, dan privatisasi. ”Namun, saya keliru,” ujarnya. Ia lalu
bertutur, ”Saya berubah pikiran bahwa memperkuat rule of law barangkali lebih
mendasar ketimbang privatisasi.” Peningkatan kapasitas
negara untuk merencanakan dan mengeksekusi kebijakan serta menegakkan hukum
secara tegas, bersih, dan transparan, disertai perbaikan mutu wakil rakyat
dan aparatur negara yang mengawalnya, merupakan prasyarat yang diperlukan
dalam kerangka perampingan peran negara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar