Jumat, 16 Juli 2021

 

Perang Suci Melawan Pandemi

Indra Tranggono ;  Praktisi Budaya

KOMPAS, 14 Juli 2021

 

 

                                                           

Perang melawan pandemi Covid-19, bukan hanya perang medik tapi juga perang suci. Ada nilai-nilai transendal dan profetik di dalam spirit dan praksisnya.

 

Belum sempat dunia bernapas, virus korona kembali menghajar kita dengan korona Delta. Ini jenis virus yang sangat menular, tercepat dan terkuat, kata WHO penuh kecemasan. Akibat ulah virus Delta, banyak korban bergelimpangan di berbagai belahan dunia, meskipun sebelumnya telah dilakukan vaksinasi.

 

Pagebluk global –kematian secara massal dalam waktu yang bersamaan—tak hanya mengancam stabilitas ekonomi, sosial, budaya dan politik. Namun juga kejiwaan umat manusia. Yakni suatu kondisi psikologis yang terguncang, dikepung teror rasa sakit, menderita bahkan kematian.

 

Mimpi-mimpi buruk pun hadir menjadi menu rutin. Krisis mental dan jiwa pun berpotensi terjadi, mengepung dan menekan. Manusia pun dipojokkan pada keadaan krusial dan ekstrem: hidup atau mati. Binasa atau berjaya.

 

Dengan jemawa (arogan), licik dan bengis, virus korona, telah membuka medan peperangan melawan umat manusia. Peperangan melawan virus yang tidak kasat mata itu menuntut kita mampu mengerahkan seluruh potensi intelektual, psikologis, kultural, politik, ekonomik dan medik.

 

Berbagai dugaan bahwa virus ini direkayasa kekuatan raksasa bisnis global demi mengeruk keuntungan, sudah lama kita tahu. Muncul anggapan, para kapitalis global itu juga berniat melemparkan manusia di ruang-ruang terpencil dan hanya mampu hidup dalam jagat daring. Setiap tarikan napas selalu bertaut erat dengan kultur aplikasi. Dengan demikian, hidup manusia lebih gampang dikuasai dan diatur untuk menjadi bangsa-bangsa konsumen.

 

Sebatas pengetahuan, mungkin saja hal itu perlu. Namun, kita harus berpikir riil, bahwa virus itu ada, brutal, licik dan mengancam keberlangsungan hidup manusia di dalam berkebudayaan dan berperadaban. Dalam kondisi jungkir balik disertai hantaman krisis, umat manusia harus diselamatkan.

 

Umat manusia harus diposisikan menjadi makhluk mulia yang hidup dalam kelayakan, kepantasan dan memiliki dignity (martabat). Ukuran manusia bermartabat antara lain kesehatan jasmani- rohani, hidup berkeadilan, sejahtera, mampu mengembang -kan potensi diri secara budaya dan memiliki kebebasan dalam iman atau keyakinan atas eksistensi Tuhan.

 

Tak ada diskriminasi, dominasi dan hegemoni pihak mayoritas atas minoritas. Harus egaliter dan mengutamakan kemajemukan nilai-nilai budaya yang tumbuh semarak dan semerbak di taman kebangsaan. Virus korona merupakan aktor “kriminal-medis” non-negara dan non-sipil yang muncul menjadi predator nyawa manusia, apapun motif kemunculannya, baik sebagai bagian dari siklus hukum alam, anomali natural maupun “masalah” (keharusan sejarah) yang harus hadir untuk menantang kemajuan peradaban umat manusia.

 

Jalan Tuhan

 

Tak terlalu berlebihan jika perang melawan pandemi dipahami sebagai perang suci melawan kezaliman virus. Artinya, persoalan pandemi tak hanya secara ilmiah-medik, melainkan juga terkait dengan nilai-nilai spiritual, transendental dan profetik.

 

Dengan demikian kita melibatkan kuasa dan kasih Tuhan. Alasannya, umat manusia bukan “gelandangan” alam semesta yang harus menggigil sendirian di dalam menghadapi persoalan. Umat manusia bukan pula himpunan para “jagoan” yang mengandalkan modal keilmuan, tekonologi, potensi medik, ekonomi, politik, sosial dan budaya.

 

Kita berperang menghadapi virus, entitas amat kecil, tak kasat mata (kecuali dilihat dengan mikroskop atau alat sejenisnya) yang sangar, kuat, berbahaya, licik dan berpotensi membunuh. Untuk itu kita perlu meminjam “mata” Tuhan dalam memahami dan mengatasi pandemi, dengan melakukan transendensi, menyerap nilai-nilai Illahiyah, sehingga diberi pencerahan.

 

Kembali pada jalan Tuhan bukan cerminan kelemahan manusia secara eksistensial, melanikan justru menunjukkan kekuatan karena manusia tak hanya punya modal sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan politik, tapi juga modal spiritual.

 

Secara batiniah pun, hal ini menunjukkan manusia pun memiliki kekayaan cara pandang, kesadaran diri dan sikap rendah hati. Sehingga manusia selalu tanggap ing sasmita (isyarat) Tuhan melalui kemampuannya membaca gejala zaman. Termasuk menghadapi fenomena pandemi.

 

Tuhan adalah alamat pulang bagi manusia. Bukan hanya di dalam konteks bersyukur, tapi juga bersabar ketika menghadapi persoalan genting dan menentukan.

 

Agama dan religiositas dapat jadikan sumber nilai yang bisa dieksplorasi dan dielaborasi demi menemukan gagasan alternatif yang dirinci menjadi praksis. Begitu juga potensi nilai-nilai kearifan budaya lokal yang telah teruji di dalam menjawab persoalan sepanjang peradaban manusia dibangun.

 

Negara, di mana pemerintah menjadi tangan panjangnya, bisa melakukan berbagai eksplorasi dan menggunakan nilai-nilai spiritual untuk mengatasi pandemi.

 

Salah satunya adalah membangun opini dan keyakinan secara kolektif bahwa melawan pandemi virus merupakan perang suci. Bukan hanya perang secara medik. Sehingga aktor-aktor yang terlibat di dalamnya tidak main-main, misalnya justru melakukan korupsi, mendominasi pasar obat demi keuntungan pribadi/kelompok atau melakukan penyimpangan lainnya yang membuka ruang bagi bangsa virus untuk meraja lela.

 

Virus-virus pikiran dan batin bisa divaksinasi dengan praksis nilai-nilai spiritual.

 

Namun, vaksinasi spititual itu harus dilakukan secara intens, kontinyu, terukur, efektif dan dikawal otoritas dan aparatus, baik dari negara maupun dari lembaga agama dan budaya, sehingga mampu melahirkan manusia-manusia yang bersih secara pikiran, batin dan tindakan. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar