Jumat, 16 Juli 2021

 

Stabilisasi dan Sterilisasi

Haryo Kuncoro ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI, Jakarta

KOMPAS, 14 Juli 2021

 

 

                                                           

Kian sempitnya ruang gerak kebijakan moneter dan makroprudensial agaknya tak menyurutkan hasrat Bank Indonesia (BI) untuk terus bermanuver dalam menghadapi gejolak eksternal. Tuntutan primer peran stabilisasi ekonomi makro yang diemban BI akan disiasati dengan program pengembangan pasar keuangan.

 

Sesuai Blue Print Pengembangan Pasar Uang 2025, agenda BI periode 2021-2022 fokus pada transaksi repo (repurchase agreement) dan DNDF (domestic non-deliverable forward). Operasi moneter mengandalkan piranti repo surat berharga negara, sementara perangkat DNDF ditujukan pada stabilisasi nilai tukar rupiah.

 

Instrumen DNDF sejatinya bukan sesuatu yang baru sama sekali dalam operasi pasar valuta asing. BI toh sudah mendayagunakan DNDF sebagai salah satu trisula intervensi (triple intervention) di pasar valuta asing, sejajar dengan kiprahnya di pasar spot dan pasar sekunder surat berharga.

 

Kendala fundamental

 

Hal yang baru ialah implementasi transaksi DNDF nantinya dikembangkan dalam platform pertukaran elektronik dengan sistem saluran majemuk. Proses kliring dilakukan oleh pusat rekanan sehingga kuotasi harga dapat diakses transparan oleh pelaku pasar dan mereka pun dapat melakukan transaksi nirnama.

 

Meski pasar DNDF dapat dimanfaatkan oleh pelaku pasar sebagai salah satu instrumen lindung nilai terhadap risiko perubahan nilai tukar, pengembangan pasar DNDF tak terlepas dari sejumlah kendala fundamental. Kendala utama ialah pasar DNDF di Indonesia belum kukuh terbentuk.

 

Sejauh ini, BI sering mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi berapa banyak pelaku pasar yang bersedia memanfaatkan pasar DNDF. Kesulitan menakar kuantitas pelaku pasar berakumulasi dengan kapasitasnya. Berapa besar nilai valuta asing yang hendak di-DNDF-kan juga masih menjadi pertanyaan besar.

 

Faktanya, banyak pelaku pasar yang mengandalkan transaksi valuta asing di pasar spot. Volume valuta asing yang ditransaksikan, dalam pandangan pelaku pasar, bisa lebih fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan bisnis. Toh pertukaran antara rupiah dengan valuta asing bisa terjadi pada hari yang sama atau paling lama berselang dua hari.

 

Sebaliknya, transaksi forward sepertinya dihindari pelaku pasar uang domestik. Tenggat antara pertukaran antara rupiah dengan valuta asing bisa lebih lama, tergantung kesepakatan. Dalam masa penantian itu, nilai tukar rupiah bisa berubah drastis, yang menuntut biaya ekstra untuk lindung nilai.

 

Kalaupun pelaku pasar bersedia memanfaatkan DNDF, persoalan tak berhenti sampai di sini. Pokok masalahnya persis seperti ayam dengan telur. Perkembangan pasar forward mensyaratkan nilai tukar yang stabil. Sebaliknya, kestabilan nilai tukar akan tercapai jika dtopang oleh pasar forward yang sudah mapan.

 

Arah kausalitas manapun yang dirujuk, satu hal yang pasti ialah kalau nilai tukar stabil, biaya lindung nilai niscaya rendah, akan tetapi jika nilai tukar berfluktuasi biayanya juga relatif tinggi. Konkretnya, biaya lindung nilai tak bisa digunakan sebagai insentif, kecuali ada pihak ketiga yang membiayainya.

 

Dalam konteks DNDF, BI membiayai risiko itu. BI membayar premi atas selisih kurs pada saat transaksi terjadi. Premi yang dibayar BI berdasarkan mekanisme lelang sehingga sudah tercapai skala yang paling efisien. Pembayaran yang dilakukan BI pun dalam rupiah sehingga tak menggerus cadangan devisa BI.

 

Dengan alur logika ini pula, pembelian valuta asing di waktu akan datang sejatinya telah ‘digeser’ untuk waktu sekarang. Artinya, BI bisa memperkirakan pergerakan nilai tukar rupiah di waktu yang akan datang sedemikian rupa sehingga sejak awal bisa mempersiapkan strategi antisipasinya.

 

Alhasil, hakikat DNDF semestinya komplemen dengan valuta asing agar kegiatan usaha pelaku pasar uang tetap eksis. Dengan alasan ini. pasar derivatif valuta asing Indonesia tak seharusnya ketinggalan terlalu jauh dibanding negara lain, seperti Korea, Singapura, Malaysia atau Thailand.

 

Strategi taktis

 

Agar minimal bisa mendekati level pasar DNDF di keempat negara tersebut, BI perlu menempuh beberapa strategi taktis. DNDF niscaya mensyaratkan kecukupan cadangan devisa. Likuiditas valuta asing mutlak untuk memastikan instrumen DNDF bisa mengimbangi dinamika pasar sekaligus mengirim sinyal konfidensi.

 

Sinyal konfidensi juga akan membawa efek pada perluasan daya jangkau DNDF. Mekanisme DNDF akan mampu menjangkar pasar DNDF di luar negeri. Artinya, pasar forward domestik bisa menjadi acuan bagi pasar sejenis di luar negeri. Alhasil, potensi mobilitas valuta asing ke luar negeri bisa diredam.

 

Mobilitas valuta asing juga bisa direduksi dengan memperluas aset rujukan dasar (underlying asset) instrumen DNDF. Penggunaan aset finansial lain memberikan keleluasaan alternatif pilihan dalam rangka lindung nilai atas kepemilikan rupiah. Intinya, dorongan pihak asing untuk kembali memegang valuta asing bisa diredakan.

 

Sampai di sini, pasar DNDF bekerja optimal jika ada kesamaan pemahaman. Konsekuensinya, literasi keuangan yang berkesinambungan kepada semua pelaku pasar keuangan menjadi krusial. Di satu sisi, transaksi di pasar derivatif membutuhkan perhitungan yang tidak ‘umum’ dan menuntut logika yang amat komprehensif.

 

Di sisi lain, literasi keuangan akan lebih menjamin instrumen DNDF yang ditawarkan BI bakalan segera terserap begitu sistem anyar pengembangan DNDF diberlakukan. Maka, BI harus jeli membedakan apakah penyerapan DNDF didasari oleh motif spekulasi belaka atau benar-benar sebagai wahana lindung nilai.

 

Jika beberapa ikhtiar di atas sukses dirintis, operasi pasar valuta asing akan sampai pada sasaran. Produk kebijakan yang berbasis pada paradigma ‘mendahului keadaan’ (ahead the curve) akan semakin kredibel. Pada akhirnya, kebijakan stabilisasi BI pun tersistematisasi dan kesan panik yang terbersit dari kebijakan sterilisasi niscaya akan pupus. Bukan begitu, BI? ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar