Rabu, 14 Juli 2021

 

Konsekuensi Pelanggaran PPKM Darurat WFH 100 Persen

Muhammad Fatahillah Akbar ;  Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM Yogyakarta

KOMPAS, 13 Juli 2021

 

 

                                                           

”Today’s human right violations are the causes of tomorrow’s conflict”Mary Robinson.

 

Pandangan perempuan presiden pertama Irlandia itu didasarkan pada perlindungan HAM yang penting untuk mencegah berbagai konflik yang terjadi akibat pelanggaran HAM. Konsep ini juga menjadi dasar penanganan pandemi Indonesia. Kebijakan pemerintah pusat untuk memberlakukan PPKM Darurat dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 bisa menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah daerah untuk menciptakan kebijakan di daerah.

 

Setiap institusi, terutama institusi yang bersifat publik, harus melaksanakan instruksi ini untuk membantu program pemerintah mencegah penularan Covid-19 di masyarakat. Salah satu program yang sangat krusial dalam Instruksi Mendagri tersebut adalah program 100 persen working from home (WFH) bagi sektor yang nonesensial dan nonkritikal.

 

Bagaimana dengan pimpinan institusi pada sektor nonesensial dan nonkritikal yang tidak melaksanakan program tersebut. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pimpinan ketika terdapat pegawai yang kemudian terjangkit Covid-19 dan bahkan meninggal dunia.

 

Jika pimpinan tetap mewajibkan pegawai masuk dengan melanggar Instruksi Mendagri, perbuatan tersebut masuk dalam penyalahgunaan wewenang. Ermansjah Djaja (2009) mendefinisikan penyalahgunaan wewenang sebagai perbuatan menggunakan kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang sedang dijabat atau diduduki untuk tujuan selain dari maksud diberikannya kewenangan ataupun kekuasaan, kesempatan, atau sarana tersebut.”

 

Secara hukum, Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) mengatur bahwa pejabat administrasi pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang dalam menetapkan kebijakan atau melaksanakan tindakan tertentu. Pasal 17 UU Adpem kemudian memberikan tiga kriteria penyalahgunaan wewenang, yakni melampaui kewenangan, mencampuradukkan kewenangan, dan bertindak sewenang-wenang.

 

Perbuatan yang bertentangan dengan Instruksi Mendagri masuk sebagai perbuatan melampaui wewenang. Pasal 18 Ayat (1) UU Adpem yang menyatakan bahwa perbuatan pejabat administrasi pemerintah dianggap melampaui wewenang jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 1 angka 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 memberikan definisi, peraturan perundang-undang adalah peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga negara yang berlaku secara umum. Melihat definisi tersebut, maka Instruksi Mendagri dan Paket Kebijakan Pandemi jelas dapat ditafsirkan sebagai peraturan perundang-undangan.

 

Hal ini dipertegas bahwa kepala daerah yang tidak melaksanakan Instruksi Mendagri dapat diberhentikan sementara berdasarkan UU Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam diktum kesepuluh Instruksi Mendagri. Dalam konteks ini, pejabat pada institusi pemerintah yang menolak melaksanakan Instruksi Mendagri tersebut jelas telah melakukan penyalahgunaan wewenang dan dapat dijatuhi sanksi.

 

Pasal 80 Ayat (3) UU Adpem menyatakan, pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang pada Pasal 17 Ayat (3) UU Adpem dapat dijatuhi sanksi administratif berat. Pasal 81 Ayat (3) UU Adpem mengatur bahwa sanksi administratif berat adalah menjatuhkan pemberhentian tetap kepada pejabat administratif pemerintah tersebut. Dengan dasar administrasi tersebut, jelas bahwa setiap pejabat pemerintah administratif harus tegas melaksanakan Instruksi Mendagri tersebut.

 

Jerat pidana

 

Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah pimpinan institusi publik ataupun perusahaan swasta nonesensial dan non-kritikal dapat dijerat pidana jika terdapat pegawai yang positif Covid-19. Pertanyaan tersebut didasarkan pada konsep kausalitas sebab akibat. Sebelum menjatuhkan pidana, harus dilihat apakah perbuatan tersebut melawan hukum atau tidak.

 

Menurut Eddy Hiariej (2014), ”hukum” dalam frasa ”melawan hukum” dapat ditafsirkan ke dalam empat hal, yakni hukum tertulis; hak seseorang; kekuasaan atau kewenangan; dan hukum tidak tertulis. Bersifat melawan hukum jika bertentangan dengan salah satu atau lebih dari satu komponen tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, penyalahgunaan wewenang masuk sebagai bagian khusus dari melawan hukum. Sehingga, melakukan kebijakan tidak 100 persen WFH bagi suatu institusi atau perusahaan memang bersifat melawan hukum.

 

Jika kemudian terdapat pegawai yang terjangkit Covid-19 apakah merupakan tanggung jawab pimpinan? Pada pertanyaan tersebut, maka lahir hukum kausalitas atau sebab akibat untuk menjelaskan adanya hubungan sebab akibat. Dalam hukum dikenal teori kausalitas adekuat yang dikenalkan Von Kries sebagaimana dikutip Eddy OS Hiariej (2014) di mana dikatakan ”musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut”.

 

Kejadian normal dalam konteks ini adalah tidak melakukan pembatasan kegiatan dengan 100 persen WFH. Sekalipun Covid-19 dapat timbul pada aktivitas lain selain pekerjaan, pelanggaran terhadap ”100 Persen WFH” ini bisa menjadi penyebab paling umum yang seharusnya bisa dicegah oleh pimpinan tempat pegawai bekerja. Dengan melanggar ketentuan WFH tersebut, pimpinan memiliki tanggung jawab terhadap pegawai yang terjangkit Covid-19.

 

Jika kemudian timbul gejala penyakit pada penderita Covid-19, setidaknya secara umum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan. Penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 Ayat (4) KUHP mengatakan merusak kesehatan disamakan dengan penganiayaan. Sehingga dalam konteks ini, perbuatan tersebut masuk dalam penganiayaan.

 

Bagaimana jika kemudian menimbulkan kematian, hal ini bisa dijerat dengan Pasal 351 Ayat (3) KUHP, di mana penganiayaan berakibat pada kematian dengan ancaman pidana 7 tahun penjara. Argumentasi utama yang mungkin dibawa oleh pimpinan sebagai pembelaan dalam kasus ini adalah tidak adanya kesengajaan.

 

Parameter kesengajaan adalah adanya pengetahuan (wetten) dan kehendak (willens). Dalam pelanggaran WFH 100 persen ini, setiap pimpinan institusi publik maupun perusahaan swasta seharusnya sudah memiliki pengetahuan bahwa risiko yang ditimbulkan dengan pelanggaran ini adalah meluasnya Covid-19 yang juga bersifat mematikan. Sehingga, telah cukup pengetahuan dari pimpinan.

 

Selain itu, secara sadar dan tanpa pengaruh mewajibkan pegawai tetap masuk, padahal bukan sektor esensial dan juga kritikal memunculkan kehendak. Karena itu, terdapat kesengajaan dalam pelanggaran WFH tersebut. Terlebih, dalam hukum pidana dikenal corak kesengajaan sebagai kemungkinan. Di mana terjangkitnya Covid-19 merupakan salah satu kemungkinan dari pelanggaran WFH tersebut. Sehingga pimpinan harus bertanggung jawab secara pidana jika ada pegawai yang terjangkit Covid-19.

 

Sehingga para pimpinan perusahaan dan institusi publik harus bersikap lebih hati-hati dan melaksanakan paket kebijakan penanggulangan Covid-19 dengan itikad baik. Pelanggaran terhadap kebijakan penanggulangan Covid-19 akan memberikan konsekuensi hukum administratif kepada pejabat administratif dan memiliki dampak pidana kepada pimpinan perusahaan swasta maupun institusi publik. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar