Sabtu, 17 Juli 2021

 

Legislasi Pro Kerakyatan

Eva K Sundari ;  Direktur Institut Sarinah

KOMPAS, 15 Juli 2021

 

 

                                                           

Jiwa Indonesia adalah jiwa demokrasi, jiwa kerakyatan, dan jiwa fasisme adalah jiwa anti demokrasi, jiwa anti kerakyatan. Jiwa Indonesia adalah satu jiwa, yang menurut adat, adalah jiwa yang senang kepada mufakat dan musyawarat. (Soekarno, 1940)

 

Salah satu alasan sulitnya advokasi rancangan undang-undang pro wong cilik, misalnya PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga), adalah karena anggapan bahwa RUU pro rakyat adalah populis. Lho? Padahal kerakyatan adalah ideologis, antitesa dari isu populis sehingga bukannya RUU pro kerakyatan justru yang harus diperjuangkan at any cost?

 

Ideologi Pancasila adonan Soekarno terbukti ampuh melawan globalisasi kolonialisme di Indonesia, juga di negara-negara di Asia-Afrika di tahun 60-an. Keunggulan Pancasila adalah sifatnya yang progresif, berorientasi ke depan, pro publik sehingga inklusif, akan pas juga untuk melawan globalisasi politik identitas yang eksklusif dengan kebijakan-kebijakannya yang populis diskriminatif di tahun 2020-an ini.

 

Praktik politik identitas terbukti membawa kesengsaraan umat manusia baik di Timur Tengah, Eropa, Amerika, bahkan di Asia dalam bentuk diskriminasi, pembatasan, perkosaan, bahkan ethnic cleansing kepada kelompok-kelompok marginal dan minoritas. Ia membelah dan mencerai-beraikan bahkan menyulut perang antar warga satu negara kebangsaan (nation-state).

 

Indonesia pun tidak steril dari politik identitas, misalnya yang terjadi di Pilkada DKI 2017. Kebijakan-kebijakan diskriminatif ke kelompok minoritas dan perempuan disusupkan baik di tingkat nasional (SKB pengaturan rumah ibadah) maupun di daerah berupa 400-an perda-perda yang diskriminatif terhadap warga negara marginal terutama perempuan.

 

Walau Pancasila sudah berkedudukan sebagai dasar negara dan sumber segala sumber hukum, tetapi ideologi eksklusifisme/populis bisa muncul di praktek bermasyarakat dan bernegara. Nasib beberapa draft UU yang mengusung kepentingan rakyat miskin dan marginal termasuk terkait perempuan bisa jadi alat ukur kuat lemahnya ideologi kerakyatan vs ideologi populisme.

 

Ideologi kerakyatan versus populis

 

Satu teladan yang bisa kita jadikan preseden bagus sebagai sikap ideologis adalah ketika Presiden Megawati menolak menyerahkan napi teroris Baasyir ke Amerika. Kedaulatan politik dari Trisakti telah dimenangkan di tengah rekaman politik dari dalam dan luar negeri.

 

Presiden Ke-5 RI tersebut memilih sikap ideologis daripada pragmatis untuk mengamankan kepentingannya di Pilpres 2004. Ia percaya bahwa keputusan politik harus untuk kepentingan nasional bukan kepentingan asing. Kepentingan nasional adalah kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi atau golongan.

 

Presiden Megawati berpegang teguh menjalankan amanat ideologi Nasionalisme Pancasila yaitu nasionalisme civic, pro publik atau kerakyatan, bukan nasionalisme sempit yang chauvinistic. Nasionalisme Pancasila berdasar pada prinsip kebangsaan (bukan individu atau golongan) ini berlaku juga untuk konteks nasional dan global.

 

Dalam nasionalisme Pancasila konsep kebangsaan di sila Persatuan Indonesia dibersamai dan dijiwai dengan konsep kemanusiaan sehingga sila kedua ini sekaligus disebut Bung Karno sebagai konsep internasionalisme. Nasionalisme yang tumbuh dalam taman sarinya internasionalisme dan internasionalisme yang tumbuh dalam buminya nasionalisme yang merupakan kesatuan dari taman sari nasionalismenya bangsa-bangsa.

 

Nasionalisme-nasionalisme kerakyatan-lah yang bisa mempersatukan global, yaitu nasionalisme yang mencari persamaan-persamaan dari berbagai perbedaan-perbedaan yang ada. Pemahaman demikian disebut Bung Karno sebagai konsep sosio-nasionalisme, yaitu nasionalisme yang inklusif merangkul bangsa-bangsa, bukan nasionalisme eksklusif berisi superioritas etnik atau bangsa tertentu lalu merendahkan yang lainnya.

 

Tetapi, tidak hanya di situ, Bung Karno juga memperkenalkan konsep sosio-demokrasi berisi ajakan untuk membangun demokrasi ekonomi, bukan saja demokrasi politik. Ajakan ini semakin relevan dengan situasi saat ini ketika ekonomi kerakyatan Indonesia sempoyongan akibat dominasi ekonomi clientisme yang justru semakin subur dan menguat akibat pandemi Covid-19.

 

Singkatnya, sebenarnya secara materi Pancasila sudah kokoh untuk menghadapi gempuran globalisasi politik identitas beserta kebijakan-kebijakannya yang populis. Problemnya, di komitmen politik para elite kita untuk melaksanakannya secara presisi.

 

Demokrasi ekonomi

 

Dalam konsep sosio demokrasi, ada tekad dan pengakuan akan pentingnya mufakat dan pentingnya keadilan sosial yang menyeluruh bagi rakyat sebagai muaranya. Bung Karno tidak setuju demokrasi liberal yang prosedural, tetapi tidak membawa perbaikan kesejahteraan rakyat banyak alias hanya menguntungkan elite semata.

 

Kekhawatiran Bung Karno terbukti valid oleh fakta kita saat ini setelah 76 tahun Indonesia merdeka. Laporan Oxfam (2021) memberikan gambaran bahwa ketimpangan ekonomi Indonesia adalah terburuk keenam di dunia. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari total gabungan 100 juta orang termiskin.

 

Ketimpangan ini harus direspon dan dibereskan karena akan melemahkan upaya menghapus kemiskinan, mengerem pertumbuhan ekonomi, dan tentu saja mengancam kohesi sosial. Pelembagaan ekonomi harus dilakukan untuk mewujudkan keadilan sosial. Kebijakan ekonami berorientasi jangka pendek yang semata untuk merespon krisis demi krisis tahunan nyatanya hanya memperburuk gap ekonomi bukan?

 

Dalam menjalankan demokrasi ekonomi kita harus mengikuti perintah konstitusi, yaitu membentuk perekonomian berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan dari, oleh, dan untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah yang tidak boleh dibajak elite. Artinya dan harusnya, seluruh sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang berdaulat, bukan elite yang bekerja untuk kepentingan elite golongan.

 

Salah satu pilihan, dan yang paling penting dan mendesak adalah melakukan revitalisasi ekonomi kerakyatan dalam platform politik sekaligus melakukan institutionalisasi-nya ke dalam realignment politik. Dua isu strategis dan jangka panjang misalnya dimulai dengan membuat UU bagi penguatan status politik dan status ekonomi kelompok rakyat miskin misalnya dengan menyetujuI UU pro rakyat seperti RUU PPRT, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, atau RUU Masyarakat Adat.

 

Pengesahan ketiganya dan RUU kerakyatan lain adalah tindakan ideologis, berorientasi jangka panjang dan harusnya dilakukan at any cost dan menolaknya justru menunjukkan terpapar ideologi populisme. Mengesahkan RUU-RUU kerakyatan akan menjadi alat mewujudkan agenda jangka panjang negara yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

 

Pemerintah konsititusi untuk menghapus kemiskinan telah dieksplisitkan dalam bentuk komitmen pemerintah RI untuk mewujudkan Tujuan SDGs nomor 1, berikut target-targetnya yang saat ini justru memburuk akibat pandemi. Penyediaan proteksi sosial tanpa proteksi ekonomi tidak akan mampu memberdayakan para rakyat miskin apalagi menghapus kemiskinan di tahun 2030. Kemiskinan bisa dihapus dengan sikap ideologis, pro kerakyatan. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar