Legislasi
Pro Kerakyatan Eva K Sundari ; Direktur Institut Sarinah |
KOMPAS, 15 Juli 2021
Jiwa
Indonesia adalah jiwa demokrasi, jiwa kerakyatan, dan jiwa fasisme adalah
jiwa anti demokrasi, jiwa anti kerakyatan. Jiwa Indonesia adalah satu jiwa,
yang menurut adat, adalah jiwa yang senang kepada mufakat dan musyawarat. (Soekarno, 1940) Salah satu alasan sulitnya
advokasi rancangan undang-undang pro wong cilik, misalnya PPRT (Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga), adalah karena anggapan bahwa RUU pro rakyat adalah
populis. Lho? Padahal kerakyatan adalah ideologis, antitesa dari isu populis
sehingga bukannya RUU pro kerakyatan justru yang harus diperjuangkan at any
cost? Ideologi Pancasila adonan
Soekarno terbukti ampuh melawan globalisasi kolonialisme di Indonesia, juga
di negara-negara di Asia-Afrika di tahun 60-an. Keunggulan Pancasila adalah
sifatnya yang progresif, berorientasi ke depan, pro publik sehingga inklusif,
akan pas juga untuk melawan globalisasi politik identitas yang eksklusif
dengan kebijakan-kebijakannya yang populis diskriminatif di tahun 2020-an
ini. Praktik politik identitas
terbukti membawa kesengsaraan umat manusia baik di Timur Tengah, Eropa,
Amerika, bahkan di Asia dalam bentuk diskriminasi, pembatasan, perkosaan,
bahkan ethnic cleansing kepada kelompok-kelompok marginal dan minoritas. Ia
membelah dan mencerai-beraikan bahkan menyulut perang antar warga satu negara
kebangsaan (nation-state). Indonesia pun tidak steril
dari politik identitas, misalnya yang terjadi di Pilkada DKI 2017.
Kebijakan-kebijakan diskriminatif ke kelompok minoritas dan perempuan
disusupkan baik di tingkat nasional (SKB pengaturan rumah ibadah) maupun di
daerah berupa 400-an perda-perda yang diskriminatif terhadap warga negara
marginal terutama perempuan. Walau Pancasila sudah
berkedudukan sebagai dasar negara dan sumber segala sumber hukum, tetapi
ideologi eksklusifisme/populis bisa muncul di praktek bermasyarakat dan
bernegara. Nasib beberapa draft UU yang mengusung kepentingan rakyat miskin
dan marginal termasuk terkait perempuan bisa jadi alat ukur kuat lemahnya
ideologi kerakyatan vs ideologi populisme. Ideologi
kerakyatan versus populis Satu teladan yang bisa
kita jadikan preseden bagus sebagai sikap ideologis adalah ketika Presiden
Megawati menolak menyerahkan napi teroris Baasyir ke Amerika. Kedaulatan
politik dari Trisakti telah dimenangkan di tengah rekaman politik dari dalam
dan luar negeri. Presiden Ke-5 RI tersebut
memilih sikap ideologis daripada pragmatis untuk mengamankan kepentingannya
di Pilpres 2004. Ia percaya bahwa keputusan politik harus untuk kepentingan
nasional bukan kepentingan asing. Kepentingan nasional adalah kepentingan
rakyat bukan kepentingan pribadi atau golongan. Presiden Megawati
berpegang teguh menjalankan amanat ideologi Nasionalisme Pancasila yaitu
nasionalisme civic, pro publik atau kerakyatan, bukan nasionalisme sempit
yang chauvinistic. Nasionalisme Pancasila berdasar pada prinsip kebangsaan
(bukan individu atau golongan) ini berlaku juga untuk konteks nasional dan
global. Dalam nasionalisme
Pancasila konsep kebangsaan di sila Persatuan Indonesia dibersamai dan
dijiwai dengan konsep kemanusiaan sehingga sila kedua ini sekaligus disebut
Bung Karno sebagai konsep internasionalisme. Nasionalisme yang tumbuh dalam
taman sarinya internasionalisme dan internasionalisme yang tumbuh dalam
buminya nasionalisme yang merupakan kesatuan dari taman sari nasionalismenya
bangsa-bangsa. Nasionalisme-nasionalisme
kerakyatan-lah yang bisa mempersatukan global, yaitu nasionalisme yang
mencari persamaan-persamaan dari berbagai perbedaan-perbedaan yang ada.
Pemahaman demikian disebut Bung Karno sebagai konsep sosio-nasionalisme,
yaitu nasionalisme yang inklusif merangkul bangsa-bangsa, bukan nasionalisme
eksklusif berisi superioritas etnik atau bangsa tertentu lalu merendahkan
yang lainnya. Tetapi, tidak hanya di
situ, Bung Karno juga memperkenalkan konsep sosio-demokrasi berisi ajakan
untuk membangun demokrasi ekonomi, bukan saja demokrasi politik. Ajakan ini
semakin relevan dengan situasi saat ini ketika ekonomi kerakyatan Indonesia
sempoyongan akibat dominasi ekonomi clientisme yang justru semakin subur dan
menguat akibat pandemi Covid-19. Singkatnya, sebenarnya
secara materi Pancasila sudah kokoh untuk menghadapi gempuran globalisasi
politik identitas beserta kebijakan-kebijakannya yang populis. Problemnya, di
komitmen politik para elite kita untuk melaksanakannya secara presisi. Demokrasi
ekonomi Dalam konsep sosio
demokrasi, ada tekad dan pengakuan akan pentingnya mufakat dan pentingnya
keadilan sosial yang menyeluruh bagi rakyat sebagai muaranya. Bung Karno
tidak setuju demokrasi liberal yang prosedural, tetapi tidak membawa
perbaikan kesejahteraan rakyat banyak alias hanya menguntungkan elite semata. Kekhawatiran Bung Karno
terbukti valid oleh fakta kita saat ini setelah 76 tahun Indonesia merdeka.
Laporan Oxfam (2021) memberikan gambaran bahwa ketimpangan ekonomi Indonesia
adalah terburuk keenam di dunia. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki
kekayaan lebih dari total gabungan 100 juta orang termiskin. Ketimpangan ini harus
direspon dan dibereskan karena akan melemahkan upaya menghapus kemiskinan,
mengerem pertumbuhan ekonomi, dan tentu saja mengancam kohesi sosial.
Pelembagaan ekonomi harus dilakukan untuk mewujudkan keadilan sosial.
Kebijakan ekonami berorientasi jangka pendek yang semata untuk merespon
krisis demi krisis tahunan nyatanya hanya memperburuk gap ekonomi bukan? Dalam menjalankan
demokrasi ekonomi kita harus mengikuti perintah konstitusi, yaitu membentuk
perekonomian berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan dari, oleh, dan
untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah yang tidak boleh
dibajak elite. Artinya dan harusnya, seluruh sumber daya politik dan ekonomi
dikuasai oleh rakyat yang berdaulat, bukan elite yang bekerja untuk
kepentingan elite golongan. Salah satu pilihan, dan
yang paling penting dan mendesak adalah melakukan revitalisasi ekonomi
kerakyatan dalam platform politik sekaligus melakukan institutionalisasi-nya
ke dalam realignment politik. Dua isu strategis dan jangka panjang misalnya
dimulai dengan membuat UU bagi penguatan status politik dan status ekonomi
kelompok rakyat miskin misalnya dengan menyetujuI UU pro rakyat seperti RUU
PPRT, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, atau RUU Masyarakat Adat. Pengesahan ketiganya dan
RUU kerakyatan lain adalah tindakan ideologis, berorientasi jangka panjang
dan harusnya dilakukan at any cost dan menolaknya justru menunjukkan terpapar
ideologi populisme. Mengesahkan RUU-RUU kerakyatan akan menjadi alat
mewujudkan agenda jangka panjang negara yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia. Pemerintah konsititusi
untuk menghapus kemiskinan telah dieksplisitkan dalam bentuk komitmen
pemerintah RI untuk mewujudkan Tujuan SDGs nomor 1, berikut target-targetnya
yang saat ini justru memburuk akibat pandemi. Penyediaan proteksi sosial
tanpa proteksi ekonomi tidak akan mampu memberdayakan para rakyat miskin
apalagi menghapus kemiskinan di tahun 2030. Kemiskinan bisa dihapus dengan
sikap ideologis, pro kerakyatan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar