Minggu, 18 Juli 2021

 

Eko-Artivisme

Idi Subandy Ibrahim ;  Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar Luar Biasa di Program Doktor Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung; dan Pengajar Luar Biasa di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang

KOMPAS, 17 Juli 2021

 

 

                                                           

Kritikus sastra, H.B. Jassin, pernah mengatakan, seniman-seniman adalah kumpulan tenaga batin suatu bangsa. Pada mereka (penyair, pengarang, pelukis, pemahat, komponis, dan lain-lain pencipta) terkumpul dan terbentuk kekayaan atau kemiskinan batin suatu bangsa. Seniman merupakan pemancar tenaga batin melalui karya-karya mereka berupa sajak, cerita, drama, lukisan, pahatan, lagu, dan sebagainya.

 

Pernyataan lebih tujuh dekade tersebut masih terasa aktual. Dengan ketajaman indera dan kepekaan batin, memungkinkan seniman memberikan kesaksian atas problema kehidupan yang dirasakannya. Kesaksian dan penghayatan akan kenyataan untuk sebagian membentuk ekspresi diri dan kemampuan kreativitas yang mendorong solidaritas dan keterlibatan sosial.

 

Kita menyaksikan dalam tiga dekade terakhir terjadi peningkatan kerusakan lingkungan hidup yang luar biasa. Baik dari Walhi maupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kita mendapatkan data mengenai masih meluasnya kerusakan daerah aliran sungai, laju kerusakan hutan, lahan kritis, dan berbagai kerusakan lingkungan hidup. Krisis ekologis terus mengancam keselamatan hidup manusia dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

 

Menyaksikan bencana ekologis di pelupuk mata, mendorong sebagian seniman melibatkan diri secara langsung dengan isu-isu lingkungan bahkan melakukan perlawanan terhadap berbagai praktik ekosida (ecocide, pemusnahan habitat atau lingkungan hidup) lewat karya-karyanya.

 

Artivisme (perpaduan art/seni dan aktivisme) muncul spontan dalam kosakata gerakan sosial kontemporer. Artivisme sebagai kerja kolektif-kolaboratif didasarkan pada pemulihan aktivitas artistik untuk tujuan intervensi sosial langsung dan melibatkan komunitas. Meski sebagian menganggap akan menyurutkan otonomi kreatif seniman, sebagian lagi melihat sebagai peluang bagi seni untuk terlibat langsung dalam proses perubahan sosial.

 

Dengan eko-artivisme, seni sebagai aktivisme dan aktivisme lewat seni untuk pemulihan lingkungan hidup, seniman menjadi saksi dan pelaku budaya dalam komunitasnya. Kepedulian seniman terhadap alam menunjukkan betapa ruang kebersamaan dan masa depan kita sedang terancam. Perasaan yang tertuang dalam karya seni tak hanya menggemakan suara alam yang terluka, tetapi juga gugatan profetis sang seniman atas dekadensi kehidupan dan degradasi lingkungan hidup.

 

Sebutlah, misalnya, proyek seni lingkungan seperti digagas seniman Bandung, Tisna Sanjaya, bernama Imah Budaya Cigondewah adalah jawaban atas pembangunan wilayah yang tak memedulikan kelestarian alam yang diyakini sang seniman sebagai ”proses penghancuran lingkungan hidup dan nilai-nilai kemanusiaan dan budaya lokal yang menyangganya”.

 

Gagasan tersebut muncul dari keprihatinan sang seniman menyaksikan air sungai yang semula mengalir ”penuh cinta” berubah menjadi ”penuh limbah” beracun. Tanggapan atas alih lahan desa pertanian menjadi hutan beton kawasan industri. Kapitalisasi dan komodifikasi ruang hidup yang meminggirkan komunitas lokal dari alam lingkungan hidupnya.

 

Hal serupa dilakukan oleh seniman multimedia Yogyakarta, Setu Legi, dengan kelompok seni radikal Taring Padi yang melakukan ’konfrontasi artistik’ terhadap akar penyebab bencana lingkungan hidup. Legi menggunakan media lukisan, patung, mural, stensil, cetak saring, foto, dan suara serta instalasi-instalasi lain yang di antaranya dibuat dari bahan alami seperti tanah. Karya Legi menyoroti faktor-faktor politik-ekonomi di balik marjinalisasi dan penghancuran budaya dan lingkungan disebabkan perkebunan dan pertambangan berskala besar yang melibatkan perusahaan multinasional dan kekuatan lokal/nasional.

 

Bagi Legi, media digital yang bisa memperluas khalayak seni dan keintiman publik ternyata bagian dari krisis lingkungan. Ia menimbulkan sampah elektronik (e-sampah) selain dampak material dari infrastruktur fisik untuk penyimpanan data digital seperti kabel, perangkat keras, outlet-outlet listrik, dan gedung-gedung. Legi menyebut masalah lingkungan lain dari abad digital, yaitu melimpahnya suara dan citra media, yang menimbulkan polusi budaya dan mental (Jurriëns, 2018).

 

Penggunaan seni untuk gerakan lingkungan mengingatkan ketika pada Juni 2016, Greenpeace membujuk komposer dan pianis terkemuka, Ludovico Einaudi, untuk bermain di ’gunung es’ yang dibangun khusus dalam jarak 100 meter dari gletser yang runtuh sebagai bagian dari kampanye menyelamatkan Arktik. Einaudi telah mengubah delapan juta suara menjadi musik, The Elegy for Arctic, yang digubah khusus untuk membantu menyuarakan perlindungan bagian dunia yang kita cintai.

 

Hal yang sudah lama dilakukan oleh rohaniwan-arsitek-humanis YB Mangunwijaya (alm). Ia memilih tinggal dan menata Kali Code karena dilandasi kepedulian mendalam atas kenyataan kehidupan yang dialami oleh kaum pinggiran. Karya-karya Romo Mangun, seperti juga kepribadiannya, melukiskan pengabdian kemanusiaan yang luas bagi lingkungan dan kehidupan.

 

Menghadapi perang ekologis, ’senjata’ satu-satunya seniman adalah bahasa simbolik, baik visual maupun tekstual. Sampai tingkat tertentu, dari karya seni, kita melihat hubungan dan juga ketegangan sosio-kultural, politik, dan ekologis yang terjalin secara kompleks menurut kesaksian dan penghayatan seniman. Nuansa batin dan perasaan seniman yang tertuang dalam bahasa ekspresinya menggambarkan keprihatinan personal berubah menjadi kepedulian sosial.

 

Dengan kekayaan bahasa ungkapnya, seniman memungkinkan lingkungan benda berbicara. Di mata mereka, hutan, pohon, laut, ombak, angin, air, ataupun gunung mungkin menjerit atau bersuara lirih. Rendra sendiri bersajak, Aku mendengar suara/ Jerit hewan yang terluka/ Ada orang memanah rembulan/ Ada anak burung terjatuh dari sarangnya/ Orang-orang harus dibangunkan/ Kesaksian harus diberikan/ Agar kehidupan bisa terjaga.

 

Bagi Rendra, penyair adalah penjaga kewajaran, imbangan spiritual bagi beroperasinya lembaga-lembaga sekuler. Seniman menghadapi orang-orang yang terlibat dalam kehidupan dan karena itu tak bisa lepas dari problema kehidupan itu.

 

Mungkin hal ini berlaku juga bagi sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Bukankah penciptaan cerpen Macan-nya juga terilhami dari kisah jeritan hewan yang terluka oleh perampokan ternak yang di luar batas kewarasan akal sehat? Di sini pengarang mewakili suara yang tak bisa bersuara. Bukankah penyair juga memancarkan pekikan sukma masyarakat yang diabaikan?

 

”Seniman yang sesungguhnya merasakan lebih dalam dan lebih halus kemurnian nilai-nilai kehidupan dan dengan sendirinya menjadi musuh dari kelaliman, ketidakadilan, kepalsuan, dan ketidaksewajaran. Hal ini terbayang dalam ciptaan-ciptaan mereka, meskipun hanya berupa ratapan dan tangisan, sehingga mereka lebih luas bisa disebut pahlawan-pahlawan untuk keadilan, kebenaran, dan kejujuran,” demikianlah HB Jassin menggambarkannya lebih tujuh dekade silam dalam Pengarang Indonesia dan Dunianya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar