Minggu, 18 Juli 2021

 

Membedakan Kritis dan Ceriwis

St Kartono ;  Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

KOMPAS, 17 Juli 2021

 

 

                                                           

”Bagaimana kami membedakan kritis dan ceriwis? Benarkah sikap kami tergolong kritis atau jangan-jangan sekadar ceriwis?”

 

Pertanyaan terkutip tersebut mengemuka dalam sebuah forum guru yang bertajuk ”menjadi guru pemelajar”. Terkuak salah satu ciri pribadi pemelajar yakni tiada henti mempertanyakan dan mengkritisi kehidupan di sekitarnya. Pribadi demikian mengalami kegelisahan berkait dengan kebaikan, rasa syukur, dan harapan baik dalam setiap pengalamannya.

 

Kegamangan bisa muncul jika mengaitkan dengan situasi aktual di masyarakat. Mau bersikap kritis padahal tidak lebih dari crigis. Yang sekadar ceriwis ingin digolongkan sebagai kritis. Bagaimana agar bisa bersikap yang sejatinya kritis?

 

Situasi aktual

 

Batasan arti kritis, yakni tajam dalam menganalisis, pun secara utuh memberikan pertimbangan positif dan negatif mengenai suatu obyek. Media sosial jamak menyediakan ruang-ruang interaktif untuk komentar. Komentar bersifat spontan, pendek, dan cenderung sekenanya. Karena itulah ada kebiasaan berkomentar tidak utuh, entah baik saja atau buruknya, bisa juga hanya kelebihan atau kekurangan sasaran pembicaraan.

 

Komentar memiliki konotasi makna yang dangkal dan lebih rendah daripada kritik. Kalimat tanya ”apa komentar Anda?” terhadap suatu topik pembicaraan mestinya tidak dibiasakan dipakai dalam forum resmi. Alih-alih menggunakan ”apa pendapat Anda?” yang mengharapkan jawaban yang lebih utuh dan berimbang. Pemilik pendapat akan mengungkapkan gagasannya dengan memperhitungkan bobot isi, menyajikan pemikiran yang akurat, dan dapat dipercaya sumbernya. Sementara komentar terkesan asal-asalan, reaktif, atau serampangan.

 

Interaksi masyarakat, baik di dunia maya maupun yang riil, telah dibanjiri gaya komentar. Komentar itu sejajar dengan ceriwis, sekadar riuh bahkan mencari sensasi. Bentuk komentar ini dimanfaatkan untuk menyerang pihak lain, merendahkan bahkan melecehkan yang dianggap sebagai obyek cemooh.

 

Namun, si ceriwis ini dengan komentar-komentar negatif suka berlindung di balik frasa mulia ”memberikan kritik membangun”. Kegaduhan adu komentar tidak memberikan sumbangan pencerahan, kecuali adu-tohok yang menjurus kasar dengan sumpah serapah.

 

Di banyak forum, pemegang mikrofon pun tidak jarang tergoda untuk berkata-kata tanpa makna, sekadar untuk unjuk diri dengan kalimat-kalimat berkepanjangan, entah sebagai penanya atau pembicara. Atau juga, mikrofon yang disodorkan jurnalis acap dimanfaatkan oleh banyak orang yang menganggap diri sebagai tokoh untuk mencari sensasi dengan menghantam pihak lain. Narasi yang terpapar pun terbaca sebagai pembungkus kebencian, jauh dari kategori kritik yang kritis.

 

Ada formatnya

 

Sekadar membandingkan dalam kancah tulis-menulis di media massa, beberapa sahabat menggerutu ketika tulisannya ditolak redaktur opini. Jika tulisan yang terkirim tak lebih dari komentar penulis mengenai suatu masalah, tentu tak laik dibaca khalayak. Artinya, beropini itu sepadan dengan berpendapat yang mensyaratkan format tiga unsur di dalamnya, yakni tolakan masalah, evaluasi, dan solusi.

 

Mengaduk-aduk masalah dan mengevaluasi-mengkritik tanpa memberikan sedikit saja pencerahan lewat solusi, mereka yang terbahas tidak terbantu untuk memperbaiki diri. Lawan bicara, pendengar, atau pembaca akan merasa kurang nyaman dengan teks yang berisi koleksi masalah dan menunjuk-nunjuk sisi-sisi negatif, tanpa mau memberikan optimisme pemecahan masalah. Ketidaklengkapan unsur berpendapat akan memunculkan kesan ceriwis, nyinyir, dan berprasangka buruk.

 

Dalam keseharian, saya mendidik orang-orang muda yang sedang belajar menghidupi semangat ”pendidikan bebas”, pendidikan yang menghargai setiap murid sebagai pribadi utuh dengan segala latar keluarga dan kemampuan akademisnya. Membiasakan taat format dalam berpendapat dapat membantu penggunaan kebebasan dalam hidup bersama. Yang sekadar ceriwis dengan komentar akan berdalih ”kebebasan berpendapat”. Padahal, tidak ada kebebasan berpendapat yang sebebas-bebasnya.

 

Kebebasan setiap pribadi pun dibatasi oleh kebebasan orang lain. Menjelekkan atau menuduh tanpa bukti bukanlah kritik, di sinilah kebebasan orang lain terusik. Untuk itulah perlunya undang-undang yang membantu sebuah masyarakat agar tahu batas kebebasan itu, yakni kepentingan orang lain. Pelaku keriuhan di ruang-ruang publik dengan perilaku ceriwis, sekadar crigis, bukanlah sikap kritis yang menyertai kritik. Hal itu hanya menyumbangkan pendangkalan pikir dalam hidup bersama. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar