Sabtu, 17 Juli 2021

 

Aktivisme dan Politik Emmy Hafild

Usman Hamid ;  Direktur Amnesty International Indonesia dan Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STHI) Indonesia Jentera

KOMPAS, 15 Juli 2021

 

 

                                                           

Menarik untuk mendiskusikan sosok dan jejak perjalanan seorang aktivis seperti Emmy Hafild, namun belakangan bertransformasi menjadi politisi. Terlebih karena kalangan umum cenderung memahami sifat biner dari dunia aktivisme dan politik, dengan mengatakan idealisme aktivis pasti luntur begitu terjun ke dunia politik.

 

Saya ingin memulainya dengan cerita. Suatu hari saya terjebak macet parah di bilangan Rempoa, Bintaro. Kemacetan di jalan sempit bertambah sesak akibat terik matahari dan tak satu pun pengendara yang mau mengalah.

 

Saya ke luar dari mobil dan mencoba mengurai kemacetan. Tiba-tiba terdengar lantang suara memanggil-manggil. Sambil mengatur, saya mendekati arah suara yang berasal dari seseorang yang terlihat dari jendela kendaraannya. Ternyata Emmy Hafild.

 

“Usman, kamu ngapain di sini?” tanya dia. Saya bertanya balik, “Loh Mbak mau ke mana, dan mengapa tidak mau mengalah?”

 

Dia jawab cepat, “Mereka salah, kenapa kita yang mengalah”. Kami berdua tertawa.

 

Keras dan tidak mau mengalah. Itulah kesan sebagian aktivis pada sosok ini.

 

Politik aktivisme

 

Selama hidupnya, dia memang dikenal keras karena sikapnya yang blak-blakan, berprinsip, dan tanpa kompromi. Barangkali karena ia terlahir dan tumbuh besar di Pertumbukan, Sumatera Utara, wilayah yang logat bicaranya dianggap keras dan tegas.

 

Perempuan kelahiran 3 April 1958 ini belajar mendalami agronomi pada Institut Pertanian Bogor (IPB) dan meraih master di Universitas Wisconsin. Ia berkiprah sebagai aktivis lingkungan, mulai dari Yayasan Indonesia Hijau (1982-1984), Sekretariat Kerjasama Kelestarian Hutan Indonesia (1984-1988), hingga yang terlama di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/Walhi (1982-1999).

 

Walhi beroperasi di wilayah-wilayah terjadinya eksploitasi alam oleh korporasi yang didukung negara. Bukan cerita baru jika anggota mereka ditangkap, diserang, atau dibunuh.

 

Menjadi aktivis Walhi yang kritis pada pemerintahan Orde Baru, ia juga dikenal peduli kawan-kawannya, dan berani menghadapi komandan militer demi membebaskan aktivis yang ditahan. Selain negara, dia juga mengkritik Bank Dunia yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Negara atau korporasi, baginya, harus dimintai tanggungjawab.

 

Atas dedikasinya, ia dinobatkan oleh majalah TIME sebagai salah seorang pahlawan lingkungan (Heroes of the planet) pada 1999.

 

Pasca Walhi, dia terus membela lingkungan, hingga dipercaya memimpin organisasi berskala internasional bernama Green Peace, yang terkenal karena kapal “Rainbow Warriors” dan aksi-aksi hebatnya membela lingkungan.

 

Saat memimpin Green Peace Asia Tenggara, ia mengkritik negara dan korporasi di kawasan. Ia gencar meminta siapa pun di Indonesia termasuk saya agar ikut mendanai organisasi ini. Hanya sedikit aktivis yang mengembangkan strategi penggalangan dana demi kemandirian organisasi. Kita harus melepaskan ketergantungan aktivisme pada hibah donor, katanya.

 

Baginya memajukan lingkungan bukan hanya membutuhkan solidaritas lintas-bangsa, tapi juga mensyaratkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Itu sebabnya ia semakin menyoroti isu ini saat menjabat Sekretaris Jenderal Transparansi International Indonesia yang pertama.

 

Ia meyakini perlunya konvergensi antara aktivisme dan politik elektoral. Awalnya terlihat ketika dia menjadikan Walhi sebagai pemantau Pemilu 1999, pemilihan pertama sejak berakhirnya Orde Baru. Selanjutnya, dia selalu memperhatikan kualitas elektoral yang diyakininya sangat menentukan hitam-putihnya tata kelola lingkungan di Indonesia.

 

Suatu hari, menjelang pemilihan legislatif April 2004, dia dan aktivis-aktivis senior seperti Teten dan Munir mengajak aktivis-aktivis muda seperti saya, Bivitri Susanti dan Luky Djani untuk melawan caleg-caleg yang tergolong “politisi busuk.”

 

Ketika merumuskan kriteria “busuk”, terjadi selisih paham. Emmy mengkritik keras kawan-kawan yang hanya menyoroti caleg-caleg terindikasi korup. Ia ngotot, politisi busuk itu harus termasuk yang berpoligami. Zero tolerance untuk korupsi dan poligami, katanya.

 

Akhirnya kami berkampanye “tolak politisi busuk” berbasis kriteria korupsi, perusak lingkungan, kekerasan, dan poligami. Dampaknya lumayan, sejumlah politisi gagal terpilih. Efek negatifnya pun ada. Aktivis KontraS Ori Rahman gagal terpilih sebagai anggota Komnas HAM saat fit and proper test di DPR, lantaran dipersoalkan oleh politisi partai terbesar yang namanya “terdaftar busuk”.

 

Masih dalam konteks pemilu, tepatnya menjelang putaran II pemilihan presiden, September 2004, Munir meninggal. Dua bulan berikut, tepatnya 13-14 November, kami--termasuk Emmy—mendengar informasi dari Belanda tentang racun arsen di tubuh Munir dan memutuskan untuk mendatangi Kabareskrim Polri keesokan harinya.

 

Emmy berkali-kali memarahi Kabareskrim ketika terkesan melempar tanggungjawab kepada Kementerian Luar Negeri yang belum memberitahu keluarga Munir. Meskipun alot, Kabareskrim setuju melibatkan kami dalam tim investigasi.

 

Usai pertemuan yang melelahkan, kami “dikepung” wartawan yang telah menunggu lama. Tiba-tiba Emmy berteriak “mengusir” wartawan agar menjauhi istri Munir yang terlihat sangat sedih. Itulah Emmy. Keras, tetapi niatnya baik.

 

Aktivisme politik

 

Lama tak terdengar, tiba-tiba Emmy aktif berpolitik, tepatnya menjadi Ketua DPP Partai Nasional Demokrat (NasDem).

 

Momen masuknya aktivis ke partai politik mulai marak pada tahun 2004. Untuk pertama kalinya, diselenggarakan pemungutan suara langsung untuk presiden dan wakil presiden. Mulai terlihat banyak aktivis yang terlibat dukung-mendukung kandidat presiden.

 

Di saat bersamaan, aktivis-aktivis tengah mereposisi gerakan sosial berbasis kajian Universitas Oslo Bersama Demos pimpinan Asmara Nababan yang menyimpulkan bahwa aktivis-aktivis prodemokrasi ternyata mengambang secara sosial dan terpinggirkan secara politik. Akibatnya, terjadi pembajakan demokrasi/reformasi.

 

Kajian ini merekomendasikan agar aktivis-aktivis go politics. Sejumlah aktivis lalu bertransformasi menjadi politisi. Misalnya, Nursyahbani Katjasungkana bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjadi anggota DPR-RI. Keberadaan aktivis di parlemen saat itu dinilai berhasil mempengaruhi pembuatan undang-undang, antara lain UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Mietzner 2012).

 

Di tahun-tahun selanjutnya, Teten Masduki bersama aktivis yang menjadi politisi Rieke Dyah Pitaloka maju di Pilgub Jawa Barat--didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Meski gagal, Teten terus berpolitik, mendukung Joko Widodo dan kini menjabat Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UMKM).

 

Baru belakangan, Emmy memutuskan terjun politik. Barangkali darahnya mengalirkan spirit politik orangtuanya yang merupakan pendukung Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Mungkin juga karena aktivis-aktivis lingkungan sejak era Erna Witoelar hingga Nur Hidayati (pimpinan Walhi saat ini), memang meminati politik, bahkan mendirikan Partai Hijau Indonesia (PHI). Tapi ketentuan ambang batas elektoral mempersulit pendirian partai baru. Itu sebabnya mungkin Emmy memilih partai mapan.

 

Sebagai politisi, langkah-langkah Emmy terbilang kontroversial dan bukan tanpa kritik. Pertama, saat dia membela Gubernur Basuki Tjahaja Purnama terkait penggusuran warga miskin kota di Jakarta. Kedua, saat membela korporasi yang membangun PLTA di Batang Toru, Sumatera Utara, terkait kerusakan lingkungan dan perlindungan orang utan, termasuk kematian advokat Walhi Sumatera Utara, Golfrid Siregar, yang diduga meninggal secara mencurigakan.

 

Meski dikritik, Emmy sendiri tetap pada sikapnya. Dari kisah ini, kita belajar betapa tidak mudah aktivis berkonvergensi ke dunia korporasi dan politik. Tak mudah karena kuatnya tarikan kekuasaan, intelektualitas, dan ilmu pengetahuan.

 

Kini, suara lantang aktivis cum politisi ini tidak lagi terdengar. Akhirnya, sebagaimana juga kita sebagai manusia, Emmy bukanlah dinding langit yang tak retak. Selamat jalan, Mbak. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar