Kearifan
Lokal dan Peran Penyintas Covid-19 Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia
Islam |
KOMPAS, 14 Juli 2021
Peningkatan kasus Covid-19
setelah Lebaran yang diperkirakan oleh banyak pihak pelan-pelan menjadi
kenyataan. Secara nasional, hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kasus baru
Covid-19 yang mencapai puluhan ribu per hari, sesuai laporan harian yang
dilakukan pemerintah. Sementara secara lokal, hal ini bisa dilihat dari
ditemukannya peningkatan kasus Covid-19 di beberapa daerah, seperti di Kudus,
Jawa Tengah; Bangkalan, Jawa Timur; dan beberapa daerah lain. Semua kita tentu berharap
persoalan Covid-19 tidak terus berkembang seperti di India beberapa waktu
lalu. Sebaliknya, kita berharap Covid-19 segera terkendali dan selesai secara
total. Hingga kita semua bisa segera kembali pada kehidupan normal seperti
sebelum pandemi Covid-19. Pemerintah menerapkan PPKM
darurat untuk merespons situasi yang memburuk. Menurut hemat penulis, ada
beberapa masalah serius terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 selama ini
yang harus diperbaiki seiring dengan penerapan PPKM darurat. Salah satunya
adalah kebimbangan pemerintah pusat antara prioritas ekonomi dan pandemi. Kebimbangan pemerintah
terkait dengan persoalan ini sangat terasa sejak awal terjadinya munculnya
kasus Covid-19 di Indonesia. Inilah yang kemudian menimbulkan hal-hal
paradoks yang pada akhirnya berdampak terhadap kepercayaan dan keseriusan
masyarakat untuk sama-sama menegakkan protokol kesehatan. Keputusan melarang mudik
Lebaran 2021 bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang telah
disampaikan. Di satu sisi, masyarakat dilarang mudik untuk menekan penularan
Covid-19. Tapi di sisi lain, tempat wisata sempat dinyatakan dibuka. Bahkan
di saat masyarakat dilarang mudik, beberapa pekerja asing diberitakan
berdatangan ke Indonesia. Adalah benar bahwa ekonomi
dan kesehatan sejatinya bukan pilihan. Tapi dalam rangka penyelesaian
pandemi, seharusnya ada prioritas yang ditetapkan, yaitu penyelesaian
pandemi. Dalam hemat penulis, pemerintah pusat dari awal tidak menetapkan
pilihan ataupun prioritas. Sekarang mungkin sudah tak bisa lagi menetapkan
sebuah prioritas dan pilihan; mengingat di satu sisi, semua pihak sudah
merasa berkorban demi Covid-19 dan di sisi yang lain, semua pihak harus
mengurus dapur masing-masing. Masalah lain yang tak
kalah serius adalah kepemimpinan krisis yang lemah dalam menghadapi pandemi
Covid-19 dengan seluruh dampak yang ditimbulkan. Di satu sisi ada satgas
khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk menangani Covid-19. Tapi di sisi
lain, ada banyak otoritas lain yang bisa memengaruhi kinerja satgas hingga
tak jelas siapa/lembaga mana yang bertanggung jawab atas apa. Sudah pasti tak ada
seorang pun yang ingin terinfeksi virus korona baru. Sebagaimana sudah pasti
tak ada pihak/lembaga mana pun yang ingin salah dan atau dipersalahkan.
Namun, hal ini tak berarti tidak ada keputusan yang harus diambil oleh
lembaga terkait. Sebagaimana hal ini juga
tak berarti tidak ada sebuah otoritas atau lembaga tertentu yang harus
bertanggung jawab, termasuk bila terjadi kesalahan tertentu dari kebijakan
yang ada. Dan bila sampai ada lembaga/otoritas yang seakan tak mau mengambil
keputusan karena takut akan terjadinya sebuah kesalahan lalu dipersalahkan,
itulah salah satu tanda kepemimpinan krisis yang lemah. Masalah lain yang tak
kalah serius adalah sikap sebagian masyarakat yang cenderung abai bahkan tak
percaya terhadap Covid-19. Ibarat rumah yang berada dalam hantaman badai yang
sangat kuat, sikap sebagian masyarakat yang cenderung abai bahkan tak percaya
terhadap Covid-19 mempercepat dan memperparah kehancuran rumah itu. Tentu ada banyak hal yang
membuat sebagian masyarakat cenderung abai atau tidak percaya terhadap
persoalan Covid-19, dimulai dari persoalan pendidikan, kepercayaan, kebutuhan
hidup, hingga kebobrokan moral dari oknum penyelenggara negara, khususnya
yang terkait dengan penanganan Covid-19, seperti korupsi dana bantuan sosial
terkait Covid-19, jual beli alat tes Covid-19, dan yang lainnya. Semua ini
telah membuat rumah besar Indonesia kita sangat rapuh. Evaluasi
Untuk menghadapi
masalah-masalah di atas, pemerintah harus segera memperbaiki dan mengevaluasi
kinerjanya dengan memperhatikan kredibilitas, soliditas, bersih, dan
bertanggung jawab. Hingga kebijakan dan program-program yang dilakukan oleh
pemerintah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dalam konteks seperti
ini, segala bentuk penyimpangan seperti korupsi, praktik jual beli tes, dan
yang lainnya tak boleh terjadi kembali. Selaras dengan perbaikan
kinerja pemerintah, kampanye penyadaran terkait Covid-19 harus dilakukan
secara lebih massif dan terus-menerus. Dalam hemat penulis, sangat penting
memperhatikan aspek kearifan lokal dalam kampanye penyadaran Covid-19 ini,
baik dari sisi konten (message) ataupun dari sisi penyampai pesan
(messenger). Untuk wilayah-wilayah yang
dikenal sangat religius, kampanye penyadaran Covid-19 kepada masyarakat luas
bisa menggunakan materi-materi keagamaan yang juga disampaikan oleh
tokoh-tokoh panutan seperti tokoh agama. Hingga masyarakat bisa menangkap
lebih mudah pesan yang ada dan terdorong untuk melakukan protokol kesehatan
yang tak hanya dianggap sebagai kepentingan dunia, melainkan juga menjadi
kepentingan akhirat. Sebagai contoh, keimanan
terhadap takdir yang sangat kuat di kalangan masyarakat bisa digunakan untuk
kampanye penyadaran Covid-19; bahwa semua yang terjadi di muka bumi adalah
takdir Allah SWT; bahwa semua yang belum terjadi merupakah ”wilayah ikhtiar
atau upaya” yang bisa dilakukan untuk mendapatkan takdir baik (seperti pernah
disampaikan oleh sahabat Umar bin Khattab dalam riwayat yang sangat terkenal
itu). Untuk mereka yang sudah
terpapar Covid-19, semuanya telah menjadi takdir Allah SWT. Tapi untuk
masyarakat yang belum terpapar, wilayah ikhtiar masih terbuka untuk
memperjuangkan nasib dan takdir yang lebih baik, yaitu tidak terpapar
Covid-19 dengan mengamalkan protokol kesehatan; sering mencuci tangan dengan
sabun, menggunakan masker secara benar, menjaga jarak minimal 2 meter,
mengurangi mobilitas atau perjalanan, dan menghindari kerumunan. Di luar tokoh agama
setempat, kampanye penyadaran Covid-19 penting juga disampaikan oleh
penyintas Covid-19, yakni mereka yang telah sembuh dari Covid-19. Para
penyintas bisa menyampaikan kepada masyarakat betapa bahaya dan besarnya
dampak dari Covid-19 hingga terbangun kesadaran di kalangan masyarakat umum
terkait bahaya dan pentingnya melindungi diri sendiri dan orang lain dari
Covid-19. Terlebih lagi hal ini dilakukan secara terorganisasi oleh para
penyintas Covid-19. Sejauh ini, peran dari
penyintas Covid-19 masih sangat kurang. Kalaupun ada yang berperan, mungkin
hanya bersifat individual daripada terorganisai. Hingga akhirnya keraguan dan
ketidakpercayaan sebagian masyarakat terkait Covid-19 tidak menjadi lebih
sedikit dengan adanya penyintas atau mereka yang terinfeksi Covid-19. Padahal
pengalaman dan testimoni penyintas Covid-19 sangat penting untuk menumbuhkan
kesadaran masyarakat terkait keberadaan, bahaya, dan pentingnya menyelamatkan
diri sendiri dan orang lain dari virus ini. Perpaduan antara kearifan
lokal dan pengalaman penyintas akan sangat kuat dalam membangun kesadaran
masyarakat terkait dengan keberadaan dan bahaya Covid-19. Melalui kesadaran
ini, masyarakat dengan pemerintah bisa bersama-sama menghadapi dan
mengalahkan Covid-19. Dan dengan perbaikan dua arah ini (pemerintah dan
masyarakat), kita bisa segera terbebas dari Covid-19. Amin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar