Minggu, 18 Juli 2021

 

”Crying for Help”

Budiman Tanuredjo ;  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 17 Juli 2021

 

 

                                                           

Jumat pagi, saya terbangun. Telepon seluler memberikan notifikasi ada pesan masuk. Benar. Teman saya yang sedang terbaring di rumah sakit karena terpapar Covid-19 memberi kabar. ”Bojoku meninggal pukul 4.34.”

 

Kabar kepergian seseorang terasa begitu dekat. Hampir setiap hari. Mobil ambulans meraung-raung. Dari pengeras suara masjid mengabarkan, kepulangan tetangga kita, rekan, bahkan keluarga kita. Litani kesedihan akibat Covid-19 ini luar biasa. Covid-19 menginfeksi jutaan orang dan mengakibatkan jutaan orang meninggal. Ada kisah satu keluarga suami, istri, dan anak meninggal.

 

”Hanya cucunya yang tinggal. Mereka adalah bagian dari angka statistik yang disebut ’terkendali’,” seseorang mengirimkan pesan kepada saya.

 

Membaca angka kasus terkonfirmasi positif, jumlah kesembuhan, jumlah korban yang wafat, terasa seperti berhadapan dengan kurva dan angka. Bagaimana membaca tren pergerakan, mendatar, mendaki atau menurun. Padahal, di balik kurva dan angka itu adalah nyawa manusia yang punya saudara dan kerabat.

 

Ibu Kota dan bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Jika melihat realitas rumah sakit—situasi pandemi Covid-19—jauh dari kata ”terkendali”. Melihat data yang ada, hingga Jumat, 16 Juli 2021, di Jakarta ada 113.137 kasus aktif. Ada 3.400 orang sakit yang tidak tertampung rumah sakit, 1.900 orang tertahan di unit gawat darurat. 1.400 orang lagi antre di lorong rumah sakit. Oksigen juga masih menjadi barang mewah. Obat juga susah didapat dan jadi barang mewah di pasar gelap.

 

Kondisinya super genting. ”Sudah seminggu ini saya crying for help,” ujar seorang pejabat pemerintah. Meminta bantuan untuk kerja kemanusiaan. Untuk urusan kemanusiaan, tidak perlu ada gengsi politik, tak perlu pertimbangan nasionalisme dengan menutupi realitas sebenarnya, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

 

Jumlah kasus terkonfirmasi positif terus meningkat. Pada Kamis, 25 Juli 2021, berada pada angka 56.757 positif. Itu menambah beban rumah sakit. Dalam kondisi darurat, gagasan membangun rumah sakit darurat mendesak diwujudkan. Saatnya gedung konvensi yang selama in tak terpakai, lapangan-lapangan besar, termasuk Gelora Bung Karno yang bersejarah, diubah fungsinya untuk menjadi layanan kesehatan darurat. Butuh keputusan cepat, berani dan pasti punya risiko.

 

Dengan segala kemampuan yang ada, pemerintah bisa mengajak kolaborasi masyarakat sipil dan usahawan yang juga mungkin dalam kesulitan karena ekonomi mandek, sama-sama memberikan kontribusi lebih untuk negeri di masa pandemi. Membangun rumah sakit darurat atau memperluas rumah sakit darurat dengan segala infrastruktur adalah keniscayaan pekan-pekan ini. Namun, ketersediaan obat, oksigen, dan juga tenaga kesehatan juga harus jadi perhatian.

 

Kegentingan di hilir harus menjadi perhatian utama. Membaca tren kurva Jakarta yang terlihat melandai, bisa saja karena kapasitasnya sudah mentok. Pemerintah telah berbuat dan membangun rumah sakit dan tempat isolasi baru, seperti Rumah Sakit Pusat Pertamina Extention Modular Simprug, dan rumah sakit lapangan. Duet Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berdiplomasi mengamankan stok vaksin untuk Tanah Air. Namun, kecepatan penularan Covid-19 Delta seperti melebihi itu semua. Karena itulah langkah cepat dan darurat perlu segera diambil.

 

Penanganan di bidang hilir butuh perbaikan, sementara pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat di hulu harus dikerjakan. Penegakan aturan PPKM itu perlu dilakukan dengan empati dan humanis. Mereka yang terpaksa keluar rumah untuk hidup hari itu tak bisa disamakan dengan kegiatan masyarakat yang tak terlalu terkait dengan hidup-matinya ekonomi. Komunikasi dilakukan dengan empati dan memahami kesulitan orang.

 

Sebuah video viral yang mempertontonkan bagaimana satpol PP memperingatkan pedagang makanan untuk tidak melayani makan di tempat, disertai pemberian bantuan terasa lebih mengena. Ketegasan diperlukan terhadap kelompok yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi dari nyawa manusia. Namun, kearifan dibutuhkan terhadap mereka yang terpaksa berada di luar untuk urusan perut. PPKM darurat layaknya sama dengan UU karantina wilayah. Karena itu, bantuan sosial pada kelompok terdampak adalah keniscayaan hukum.

 

Korban terus berjatuhan. Prof Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur WHO Asia Tenggara, pernah mengirimkan catatan pendek kepada saya berjudul ”Yatim Piatu Covid-19”. Prof Tjandra merujuk pada data di India, 5 Juni 2021, ada 3.632 anak terpaksa menjadi yatim piatu karena kedua orangtuanya meninggal dan ada 26.176 anak yang kehilangan salah satu orangtuanya karena Covid-19. ”Beberapa pihak menyebut ini adalah tragic legacy of India’s pandemic.”

 

Pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan masyarakat, bukan hanya soal pandemi itu sendiri, bukan hanya soal dampak sosial ekonomi, melainkan masalah kemanusiaan. Karena itu sangat tepat dan bijak imbauan Prof Dr Azyumardi Azra CBE, ”Masyarakat wajib mendukung PPKM darurat yang diberlakukan pemerintah. Sejak awal Juli korban terinfeksi dan meninggal terus meningkat dan menjurus ke arah bencana kemanusiaan. Hindarkan diri dari pertikaian berlarut, semua harus menjaga solidaritas sosial untuk menjaga kohesi sosial dan integrasi bangsa.”

 

Melihat situasi kegentingan yang ada, saya tidak sependapat dengan usulan wakil rakyat yang menghendaki jaminan ICU untuk pejabat dan rumah sakit untuk pejabat! Usulan itu keblinger, seharusnya jaminan akses kesehatan untuk rakyat bukan hanya untuk pejabat yang terhormat! ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar