Sabtu, 17 Juli 2021

 

Berjuang Menjadi Polisi Sipil

Marwan Mas ;  Pengamat Kepolisian dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

KOMPAS, 16 Juli 2021

 

 

                                                           

Kehadiran Polri yang berulang tahun 1 Juli lalu, bukan tanpa makna, apalagi pekerjaan polisi begitu rumit dan unik. Kendati sering dikecam, tetapi polisi harus tetap melaksanakan tugasnya untuk melayani, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Itulah tugas konstitusional polisi di dalam Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945).

 

Begitu bernilai tugas konstitusional polisi, tetapi amat jarang mendapat ucapan terima kasih, apalagi pujian meski mengurai keberhasilan. Ternyata profesi kepolisian merupakan pekerjaan yang begitu sepi dari ucapan terima kasih. Makna yang rumit dan unik dari tugas polisi dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, selaku tugas konstitusional setidaknya dapat dipantau dari dua aspek.

 

Pertama, tugas konstitusional tidak didesain dengan membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas seperti melindungi atau melayani orang kaya atau berstatus sosial tinggi, berbeda dengan orang miskin atau status sosial rendah. Bila ini dipraktikkan akan semakin jauh jarak antara polisi dan masyarakat kelas bawah sehingga perjuangan menjadi polisi sipil tidak akan tercapai.

 

Kedua, polisi harus menyadarkan setiap orang bahwa perlindungan, pengayoman, dan pelayanan yang diberikan tidak didasarkan pada senang dan tidak senang, melainkan karena profesionalitas kerja. Bukan pula lantaran diberikan sesuatu oleh warga tertentu, melainkan karena memang didasarkan oleh tugas dan tanggung jawab sebagai polisi masyarakat. Kunci utama di sini adalah ”niat baik” sebagai respons terhadap struktur dan karakteristik sosial masyarakat yang akan diberi pelayanan terbaik.

 

Pelaksanaan tugas konstitusional polisi juga dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang melingkupinya. Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Dari sini sudah dapat diduga kalau tugas-tugas Kapolri akan senantiasa sesuai dengan kehendak presiden. Hanya profesionalitas yang mumpuni dan desain untuk bersahabat dengan masyarakat yang bisa menuntaskan tugas konstitusional polisi.

 

Sipil berseragam

 

Perjalanan Polri sejak kelahirannya begitu sarat dengan nuansa perubahan. Ini diapresiasi Kepala Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dengan menggagas Program Transformasi Menuju Polri yang ”presisi” (prediktif, responsibilitas, dan transfromasi berkeadilan). Agar Polri ”presisi” bisa membumi, Kapolri harus berani ”mendekatkan polisi dengan masyarakat”. Sebab, di tengah kemajuan teknologi dan informasi media sosial (medsos), polisi dan masyarakat harus betul-betul bisa ”menjadi sahabat”.

 

Caranya mendesain polisi dalam setiap penampilannya sebagai ”sipil berseragam”. Kendati memakai seragam dan bersenjata, tetapi dalam hati setiap anggota Polri tertanam ”jiwa sipil yang merakyat”. Karena itu, kedekatan yang dibangun bukan semata-mata agar terjalin hubungan secara personal antara polisi dan warga masyarakat. Sebab, yang amat penting adalah terbangunnya program kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum yang mampu mendorong partisipasi warga masyarakat.

 

Perubahan polisi senantiasa disandarkan pada semangat reformasi agar menjadi polisi yang dicintai rakyat. Kalau polisi dikonotasikan sebagai ”polisi sipil”, seharusnya aktivitas polisi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berorientasi pada penguatan rakyat, berinteraksi dengan rakyat, dan menjadikan masyarakat sebagai mitra.

 

Lantaran polisi lahir dari masyarakat, maka jalan untuk berubah menjadi polisi sipil bukan sesuatu yang mustahil. Polisi lahir dari masyarakat, lahir dari ”orang sipil” sehingga sering disebut sipil yang berseragam (a civilian in uniform). Perilaku sipil harus lebih menonjol agar warga yang dilindungi, diayomi, dan dilayani, bahkan ditertibkan merasa tidak ada jarak.

 

Itulah watak khas polisi Indonesia yang otentik yang membedakannya dengan militer. Itulah watak polisi kita yang sesungguhnya dan didesain sejak kelahirannya. Akhirnya, Polri kembali menemukan jati dirinya sebagai polisi sipil yang bersahabat dengan masyarakat, sejak 1 April 1999 setelah keluar dari lingkup TNI (dulu ABRI).

 

Seperti lazimnya kepolisian di dunia, perilaku khas sebagai polisi sipil yang berseragam dan bersenjata harus menjadi ciri polisi Indonesia. Sebab, pekerjaan konstitusional polisi selain menegakkan hukum adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Mengubah perilaku dan kultur Polri setelah pisah dari militer merupakan keniscayaan.

 

Kapolri perlu lebih serius merespons aspek yang cukup krusial ini. Memang perbaikan kultur dan perilaku Polri sebetulnya telah berjalan secara alamiah. Akan tetapi, karena kondisi masyarakat yang akan ditertibkan dan dilayani semakin kompleks, perubahan harus dilakukan secara progresif, bukan hanya secara alamiah.

 

Masyarakat berhak dilindungi dan untuk mencapainya perlu ketegasan pimpinan Polri tanpa diskriminasi. Hanya warga yang mendukung rezim kekuasaan yang dilindungi, tidak diproses hukum meski secara kasat mata melanggar hukum, atau dilayani dengan baik. Sementara kelompok masyarakat yang bukan pendukung rezim kekuasaan diabaikan, bahkan begitu cepat diproses hukum.

 

Penegakan hukum

 

Salah satu atensi terbaru pimpinan Polri adalah meningkatkan kualitas profesionalitas anggota Polri. Memantapkan keahlian di bidang teknologi informasi, misalnya, lantaran sangat strategis sesuai dengan kebutuhan institusi. Polisi harus siap mengantisipasi kemajuan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan, apalagi Polri sedang menjalani reformasi tahap ketiga tahun 2016-2025 melalui ”Program Grand Strategi Polri” dengan ikon ”berjuang untuk keunggulan (strive for exellence)”.

 

Setiap anggota Polri harus memberikan pelayanan publik yang ”unggul dan terbaik”, mewujudkan good government, best practice Polri, implementasi teknologi, infrastruktur materiil, fasilitas, dan jasa guna membangun kapasitas Polri yang kredibel di mata masyarakat. Intinya mendahulukan aksi pencegahan (melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat) ketimbang penindakan (penegakan hukum).

 

Pencegahan melalui ”pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (Turjawali)” seyogianya terus dikedepankan sebelum melaksanakan ”penegakan hukum”. Kalau sudah dilayani, diayomi, dan dilindungi dengan baik melalui aksi Turjawali, tetapi masih saja ada warga masyarakat yang melakukan tindakan kriminalitas maka barulah tugas penegakan hukum dilaksanakan tanpa pandang status dan kedudukan. Polisi harus mempersamakan semua orang dalam pencegahan dan penegakan hukum. Tidak boleh hukum digerakkan kepada kelompok tertentu, tetapi tumpul pada kelompok lain.

 

Jangan sampai kepemimpinaan Polri saat ini tercatat dalam sejarah perpolisian Indonesia bahwa polisi ikut larut dalam permainan kepentingan politik tertentu untuk membungkam pengkritik rezim kekuasaan dengan proses hukum. Jangan cepat memakai UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang ternyata membungkam kelompok tertentu. Sekilas saja dikritik di media sosial (medsos) sudah langsung dicap menyebar hoaks (berita bohong).

 

Suatu berita atau isu yang diunggah di medsos seharusnya barulah disebut hoaks, jika obyek atau subyek berita telah mengklarifikasi bahwa berita itu tidak benar alias hoaks. Pernah ada tulisan yang disebut-sebut tulisan Yusril Ihza Mahendra, misalnya, beredar luas di medsos (FB dan WA) yang terkesan provokatif. Namun, tak lama kemudian dibantah bahwa itu bukan tulisannya sehingga selesai isu itu karena memang hoaks.

 

Apabila sudah diklarifikasi kalau itu hoaks, barulah seharusnya dipersoalkan secara hukum, apalagi masih saja ada yang sebarkan ke medsos sebagai salah satu ruang publik. Begitulah layaknya menyikapi berita yang diduga hoaks di negara hukum dan demokrasi. Bagi pihak yang terkait dengan konten berita yang bukan fakta, diminta cepat mengklarifikasi kalau berita yang beredar atau viral itu tidak benar atau hoaks.

 

Menjelang tahun politik 2024, biarkanlah rakyat memilih jalannya. Apakah memilih ”mengganti rezim” partai politik sekaligus mengganti presiden pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun 2024, siapa pun harus menghargainya. Termasuk polisi, sebab Polri memiliki tugas konstitusional yang begitu penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Setiap anggota Polri harus ”bisa merasa” bahwa demokrasi dalam memilih pemimpin merupakan bagian dari upaya menjaga dan menciptakan kamtibmas yang membuat rakyat merasa terlindungi, terayomi, dan terlayani dengan baik dalam melaksanakan hak demokrasinya. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar