Minggu, 18 Juli 2021

 

Tautan yang Hilang dan ”Link and Match”

Oong Komar ;  Guru Besar Tetap UPI dalam Bidang Ilmu Pendidikan Luar Sekolah

KOMPAS, 17 Juli 2021

 

 

                                                           

Apakah lembaga pendidikan digagas berorientasi memenuhi kebutuhan industri? Antara lain indikasinya adalah program link and match (keterkaitan dan kesepadanan) tampak merupakan gagasan memperkuat dorongan lembaga pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan industri. Kemudian mengemuka gagasan teaching factory atau praktik langsung di perusahaan dan Kedaireka untuk mewujudkan ekosistem reka cipta Kampus Merdeka.

 

Teaching factory adalah model pembelajaran (di SMK) berbasis standar dan prosedur produksi/jasa pada kondisi industri yang menuntut keterlibatan mutlak antara pihak industri dan pihak pemerintah (pusat, daerah), dan para pemangku kepentingan dalam pembuatan regulasi, perencanaan, implementasi, dan evaluasinya (Panduan TEFA Direktorat PMK, 4/2019).

 

Sementara, Kedaireka merupakan platform upaya peningkatan kreativitas sivitas perguruan tinggi memecahkan permasalahan terjadinya broken link (tautan yang hilang) dunia kerja dengan cara membangun penciptaan sinergitas antara dunia kerja dan pendidikan tinggi (Dirjendikti, 8/2020).

 

Apakah berlanjutnya gagasan tersebut ditopang hasil penelitian dan/atau analisis kebijakan? Setidaknya hasil penelitian mengenai atribut difusi inovasi dan kategori penggunanya sebagaimana karya Everett, Rogers, M (2003). Esensi keterkaitan pendidikan dan industri itu merupakan gagasan inovatif yang dikomunikasikan pada kebudayaan sehingga mungkin diadopsi oleh suatu kelompok kebudayaan tertentu.

 

Oleh karena itu, gagasan keterkaitan pendidikan dan industri itu perlu ada data pandangan masyarakat mengenai atribut gagasan tersebut. Yaitu, keuntungan relatif, keserasian dengan kebutuhan, kerumitan, dapat dicoba, dan dapat dilihat langsung buktinya. Dengan demikian, melalui atribut gagasan lebih mudah menerimanya atau tidak dianggap gagasan abstrak.

 

Selain itu, gagasan keterkaitan pendidikan dan industri itu perlu ada data mengenai kategori penggunanya dengan melakukan identifikasi kategori penggunanya. Yaitu, inovator, pengguna awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, dan laggard. Sehingga, dapat mengetahui bagaimana gagasan dapat diterima atau ditolak oleh individu atau kelompok sosial.

 

”Broken link”

 

Broken link atau terjadi tautan yang hilang antara dunia kerja dan pendidikan karena setiap pihak berjalan secara individu. Seolah tampak dunia pendidikan mempersiapkan kompetensi yang ada hari ini, sedangkan dunia kerja berjalan dengan alur utama efisiensi, persaingan tinggi, penggunaan teknologi terbaik, dan harga termurah.

 

Akibatnya, terjadi keluhan dunia kerja, bahwa lulusan dunia pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan di dunia kerja. Lulusan yang dihasilkan oleh dunia pendidikan tidak akan sesuai dengan dunia kerja karena kompetensi ketika para peserta didik lulus tersebut, kondisi dunia kerja sudah berubah dan berbeda 4-5 tahun yang lalu ketika masih peserta didik.

 

Oleh karena itu, terdapat broken link dalam rantai pendidikan. Dunia pendidikan menjadi tempat transisi peralihan dari dunia pendidikan ke dunia nyata atau dunia kerja. Kiranya butuh strategi pengendalian agar tidak terjadi pada dunia pendidikan kehilangan relevansinya.

 

Menghindari broken link antara dunia pendidikan dan dunia kerja dengan cara mengadakan kerja sama, menciptakan kolaborasi yang intensif, dan melaksanakan sinergi. Sehingga, dunia pendidikan kondisinya fit to industry, paling tidak dalam mempersiapkan ”sekrup” kebutuhan industri. Begitupun kondisi guru/dosen diciptakan sebagai co-creator setiap peserta didik/mahasiswa dalam menemukan ”garis tangan” masa depannya.

 

Misi ”suci”

 

Istilah sekolah berasal dari kata scola yang artinya ’waktu luang’. Diilustrasikan berada di tempat terbuka, terjadi dialog dengan suasana interaktif yang tidak terikat ruang dan sistem, dan di sana ada keceriaan dengan bisa bermain sesukanya tanpa harus terikat kekakuan. Meskipun ada aturan, tidak menjadi yang terpenting dan moralitaslah yang harus dikedepankan.

 

Namun, ternyata banyak masalah yang menghambat laju peningkatan kualitas pendidikan. Persoalan birokrasi, administrasi yang menyulitkan guru, perangai guru masa lalu yang tidak relevan lagi dengan karakter peserta didik generasi millenial, dan perlu bantuan sistem digitalisasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Oleh karena itu, hakikat pendidikan menumbuhkembangkan eksistensi manusia secara sahut menyahut/interaksi antara sesama dan dengan alam serta dengan Tuhan-Nya. Sehingga, harus mengembalikan sekolah ke hakikat sesungguhnya, yaitu membebaskan. Terutama membebaskan kebodohan, kebatilan, dan ketidakmerataan, agar terwujud iklim kondusifitas kesamaan dan keadilan.

 

Sekolah merupakan bantuan upaya-upaya membebaskan, maka proses pendidikan mengimplikasikan peserta didik memiliki kemampuan immanent yang tidak pernah selesai dan sebagai makhluk sosial.

 

Keterkaitan dan kesepadanan

 

Dalam pengamatan, ternyata gagasan keterkaitan pendidikan dan industri tersebut mengindikasikan belum mewujud dalam bentuk perilaku dan budaya. Acap kali setiap gagasan dipandang pelaksanaannya seolah untuk gugur kewajiban.

 

Pertama, pada umumnya tampak kondisi dunia pendidikan saat ini belum berhasil membentuk karakter anak bangsa dan pengembang kebudayaan nasional. Masih dijumpai sikap masyarakat yang intoleransi pada sifat Bhinneka Tunggal Ika masyarakat kita. Tingkat kesalehan sosial masyarakat belum optimal pada kondisi budaya masyarakat gotong royong. Masih ada ungkapan-ungkapan yang bertendensi SARA pada masyarakat yang majemuk.

 

Kedua, kondisi dunia pendidikan tampak belum berhasil memasok tenaga kerja industri. Ekosistem ketenagakerjaan secara keseluruhan masih lamban dalam laju penurunan tingkat pengangguran yang disebabkan tidak sesuai (education and skill mismatch) keterampilan tenaga kerja yang ada dengan kebutuhan dunia industri. Data BPS, pada Agustus 2020 menunjukkan jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 138 juta orang, terdiri dari 128 juta bekerja dan 9,7 juta penganggur.

 

Ketiga, kondisi dunia pendidikan tampak belum berhasil mewujudkan program-program gagasan pemerintah mengenai keterkaitan pendidikan dan industri tersebut. Sehingga, upaya mencetak kompetensi tenaga kerja sesuai kebutuhan industri dengan kompetensi dan atau profesi/keahlian masing-masing secara merebak mendirikan institusi pendidikan dan atau pelatihan di banyak perusahaan, badan, dan lembaga.

 

Oleh karena itu, kiranya mendesak melakukan analisis kebijakan mengenai keterkaitan pendidikan dan industri untuk menghasilkan rumusan ringkasan kebijakan dalam rangka mengefektifkan dan mengefisiensikan keberlanjutan program gagasan tersebut. Paling tidak, ringkasan kebijakan berkaitan dengan program kebijakan yang sedang berlangsung.

 

Pertama, memperluas (wider) salah satu dari empat program pokok kebijakan Kemendikbudristek, yakni mengenai penghapusan USBN menjadi ujian sekolah dan penerimaan peserta didik baru (PPDB) menjadi berbasis zonasi yang fleksibel. Memperluasnya dalam bentuk: (1) peniadaan ujian sekolah bagi peserta didik yang tidak akan melanjutkan setelah SMP ke SMA dan setelah SMA ke PT; (2) peserta didik yang tidak ujian sekolah SMP langsung melanjutkan ke SMK, (3) peserta didik yang tidak ujian sekolah SMA langsung melanjutkan ke politeknik, (4) PPDB dengan sistem zonasi yang lebih fleksibel hanya untuk SD ke SMP, sesuai dengan kebijakan wajib belajar 9 tahun.

 

Kedua, merestorasi pasokan guru yang berlaku saat ini dengan menciptakan institusi pendidikan guru yang terpusat (centralized teacher education), misal bernama Universitas Profesi Guru dan Tenaga Kependidikan (UPGTK). Merestorasi kebijakan saat ini dalam bentuk, pertama, mendelegasikan UPGTK melaksanakan program kegiatan sejak seleksi calon peserta didiknya ditetapkan yang penuh bakat/talenta dan minat, pelaksanaan pendidikan dengan sistem asrama, co-as teacher, sampai angkat sumpah dan internship-nya.

 

Kedua, memasukkan konsep kurikulum menjadi unsur pokok kompetensi guru dan dosen, termasuk materi pengajaran (teaching materials). Dimaksudkan menghapus pemeo ”ganti menteri ganti kebijakan kurikulum dan buku ajar”, sehingga guru langsung menguasai batas-batas kompetensi minimal setiap jenjang pendidikan, dan indikator learning outcome-nya, serta penyesuaian teaching materials-nya dengan perkembangan iptek dan sosial budaya masyarakat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar