Tautan
yang Hilang dan ”Link and Match” Oong Komar ; Guru Besar Tetap UPI dalam Bidang Ilmu
Pendidikan Luar Sekolah |
KOMPAS, 17 Juli 2021
Apakah lembaga pendidikan
digagas berorientasi memenuhi kebutuhan industri? Antara lain indikasinya
adalah program link and match (keterkaitan dan kesepadanan) tampak merupakan
gagasan memperkuat dorongan lembaga pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan
industri. Kemudian mengemuka gagasan teaching factory atau praktik langsung
di perusahaan dan Kedaireka untuk mewujudkan ekosistem reka cipta Kampus
Merdeka. Teaching factory adalah
model pembelajaran (di SMK) berbasis standar dan prosedur produksi/jasa pada
kondisi industri yang menuntut keterlibatan mutlak antara pihak industri dan
pihak pemerintah (pusat, daerah), dan para pemangku kepentingan dalam
pembuatan regulasi, perencanaan, implementasi, dan evaluasinya (Panduan TEFA
Direktorat PMK, 4/2019). Sementara, Kedaireka
merupakan platform upaya peningkatan kreativitas sivitas perguruan tinggi
memecahkan permasalahan terjadinya broken link (tautan yang hilang) dunia
kerja dengan cara membangun penciptaan sinergitas antara dunia kerja dan
pendidikan tinggi (Dirjendikti, 8/2020). Apakah berlanjutnya
gagasan tersebut ditopang hasil penelitian dan/atau analisis kebijakan?
Setidaknya hasil penelitian mengenai atribut difusi inovasi dan kategori
penggunanya sebagaimana karya Everett, Rogers, M (2003). Esensi keterkaitan
pendidikan dan industri itu merupakan gagasan inovatif yang dikomunikasikan
pada kebudayaan sehingga mungkin diadopsi oleh suatu kelompok kebudayaan
tertentu. Oleh karena itu, gagasan
keterkaitan pendidikan dan industri itu perlu ada data pandangan masyarakat
mengenai atribut gagasan tersebut. Yaitu, keuntungan relatif, keserasian
dengan kebutuhan, kerumitan, dapat dicoba, dan dapat dilihat langsung
buktinya. Dengan demikian, melalui atribut gagasan lebih mudah menerimanya
atau tidak dianggap gagasan abstrak. Selain itu, gagasan keterkaitan
pendidikan dan industri itu perlu ada data mengenai kategori penggunanya
dengan melakukan identifikasi kategori penggunanya. Yaitu, inovator, pengguna
awal, mayoritas awal, mayoritas akhir, dan laggard. Sehingga, dapat
mengetahui bagaimana gagasan dapat diterima atau ditolak oleh individu atau
kelompok sosial. ”Broken
link” Broken link atau terjadi
tautan yang hilang antara dunia kerja dan pendidikan karena setiap pihak
berjalan secara individu. Seolah tampak dunia pendidikan mempersiapkan kompetensi
yang ada hari ini, sedangkan dunia kerja berjalan dengan alur utama
efisiensi, persaingan tinggi, penggunaan teknologi terbaik, dan harga
termurah. Akibatnya, terjadi keluhan
dunia kerja, bahwa lulusan dunia pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan di
dunia kerja. Lulusan yang dihasilkan oleh dunia pendidikan tidak akan sesuai
dengan dunia kerja karena kompetensi ketika para peserta didik lulus
tersebut, kondisi dunia kerja sudah berubah dan berbeda 4-5 tahun yang lalu
ketika masih peserta didik. Oleh karena itu, terdapat
broken link dalam rantai pendidikan. Dunia pendidikan menjadi tempat transisi
peralihan dari dunia pendidikan ke dunia nyata atau dunia kerja. Kiranya
butuh strategi pengendalian agar tidak terjadi pada dunia pendidikan kehilangan
relevansinya. Menghindari broken link
antara dunia pendidikan dan dunia kerja dengan cara mengadakan kerja sama,
menciptakan kolaborasi yang intensif, dan melaksanakan sinergi. Sehingga,
dunia pendidikan kondisinya fit to industry, paling tidak dalam mempersiapkan
”sekrup” kebutuhan industri. Begitupun kondisi guru/dosen diciptakan sebagai
co-creator setiap peserta didik/mahasiswa dalam menemukan ”garis tangan” masa
depannya. Misi
”suci” Istilah sekolah berasal
dari kata scola yang artinya ’waktu luang’. Diilustrasikan berada di tempat
terbuka, terjadi dialog dengan suasana interaktif yang tidak terikat ruang
dan sistem, dan di sana ada keceriaan dengan bisa bermain sesukanya tanpa
harus terikat kekakuan. Meskipun ada aturan, tidak menjadi yang terpenting
dan moralitaslah yang harus dikedepankan. Namun, ternyata banyak
masalah yang menghambat laju peningkatan kualitas pendidikan. Persoalan
birokrasi, administrasi yang menyulitkan guru, perangai guru masa lalu yang
tidak relevan lagi dengan karakter peserta didik generasi millenial, dan
perlu bantuan sistem digitalisasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, hakikat
pendidikan menumbuhkembangkan eksistensi manusia secara sahut
menyahut/interaksi antara sesama dan dengan alam serta dengan Tuhan-Nya.
Sehingga, harus mengembalikan sekolah ke hakikat sesungguhnya, yaitu
membebaskan. Terutama membebaskan kebodohan, kebatilan, dan ketidakmerataan,
agar terwujud iklim kondusifitas kesamaan dan keadilan. Sekolah merupakan bantuan
upaya-upaya membebaskan, maka proses pendidikan mengimplikasikan peserta
didik memiliki kemampuan immanent yang tidak pernah selesai dan sebagai
makhluk sosial. Keterkaitan
dan kesepadanan Dalam pengamatan, ternyata
gagasan keterkaitan pendidikan dan industri tersebut mengindikasikan belum
mewujud dalam bentuk perilaku dan budaya. Acap kali setiap gagasan dipandang
pelaksanaannya seolah untuk gugur kewajiban. Pertama, pada umumnya
tampak kondisi dunia pendidikan saat ini belum berhasil membentuk karakter
anak bangsa dan pengembang kebudayaan nasional. Masih dijumpai sikap
masyarakat yang intoleransi pada sifat Bhinneka Tunggal Ika masyarakat kita.
Tingkat kesalehan sosial masyarakat belum optimal pada kondisi budaya
masyarakat gotong royong. Masih ada ungkapan-ungkapan yang bertendensi SARA
pada masyarakat yang majemuk. Kedua, kondisi dunia
pendidikan tampak belum berhasil memasok tenaga kerja industri. Ekosistem
ketenagakerjaan secara keseluruhan masih lamban dalam laju penurunan tingkat
pengangguran yang disebabkan tidak sesuai (education and skill mismatch)
keterampilan tenaga kerja yang ada dengan kebutuhan dunia industri. Data BPS,
pada Agustus 2020 menunjukkan jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 138
juta orang, terdiri dari 128 juta bekerja dan 9,7 juta penganggur. Ketiga, kondisi dunia
pendidikan tampak belum berhasil mewujudkan program-program gagasan
pemerintah mengenai keterkaitan pendidikan dan industri tersebut. Sehingga,
upaya mencetak kompetensi tenaga kerja sesuai kebutuhan industri dengan
kompetensi dan atau profesi/keahlian masing-masing secara merebak mendirikan
institusi pendidikan dan atau pelatihan di banyak perusahaan, badan, dan
lembaga. Oleh karena itu, kiranya
mendesak melakukan analisis kebijakan mengenai keterkaitan pendidikan dan
industri untuk menghasilkan rumusan ringkasan kebijakan dalam rangka
mengefektifkan dan mengefisiensikan keberlanjutan program gagasan tersebut.
Paling tidak, ringkasan kebijakan berkaitan dengan program kebijakan yang
sedang berlangsung. Pertama, memperluas (wider)
salah satu dari empat program pokok kebijakan Kemendikbudristek, yakni
mengenai penghapusan USBN menjadi ujian sekolah dan penerimaan peserta didik
baru (PPDB) menjadi berbasis zonasi yang fleksibel. Memperluasnya dalam
bentuk: (1) peniadaan ujian sekolah bagi peserta didik yang tidak akan
melanjutkan setelah SMP ke SMA dan setelah SMA ke PT; (2) peserta didik yang
tidak ujian sekolah SMP langsung melanjutkan ke SMK, (3) peserta didik yang
tidak ujian sekolah SMA langsung melanjutkan ke politeknik, (4) PPDB dengan
sistem zonasi yang lebih fleksibel hanya untuk SD ke SMP, sesuai dengan
kebijakan wajib belajar 9 tahun. Kedua, merestorasi pasokan
guru yang berlaku saat ini dengan menciptakan institusi pendidikan guru yang
terpusat (centralized teacher education), misal bernama Universitas Profesi
Guru dan Tenaga Kependidikan (UPGTK). Merestorasi kebijakan saat ini dalam
bentuk, pertama, mendelegasikan UPGTK melaksanakan program kegiatan sejak
seleksi calon peserta didiknya ditetapkan yang penuh bakat/talenta dan minat,
pelaksanaan pendidikan dengan sistem asrama, co-as teacher, sampai angkat
sumpah dan internship-nya. Kedua, memasukkan konsep
kurikulum menjadi unsur pokok kompetensi guru dan dosen, termasuk materi
pengajaran (teaching materials). Dimaksudkan menghapus pemeo ”ganti menteri
ganti kebijakan kurikulum dan buku ajar”, sehingga guru langsung menguasai
batas-batas kompetensi minimal setiap jenjang pendidikan, dan indikator
learning outcome-nya, serta penyesuaian teaching materials-nya dengan perkembangan
iptek dan sosial budaya masyarakat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar