Rabu, 14 Juli 2021

 

Mengefektifkan Sanksi PPKM Darurat

Richo Andi Wibowo ;  Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta

KOMPAS, 13 Juli 2021

 

 

                                                           

Pemerintah akhirnya menyatakan mengambil langkah yang lebih tegas dalam penanganan pandemi. Kebijakan ini patut diapresiasi walaupun ada kekhawatiran masih akan kurang efektif karena ada masalah pada sanksi dan strategi penegakan hukumnya.

 

Merujuk pada konferensi pers yang dipimpin oleh Menko Maritim dan Investasi terkait pelaksanaan PPKM darurat pada 1 Juli lalu, Mendagri menjelaskan bahwa pelaksanaan sanksi penegakan protokol kesehatan masih akan merujuk ke ketentuan yang ada selama ini, yakni KUHP, UU Wabah Penyakit Menular, dan UU Kekarantinaan Kesehatan.

 

Problemnya adalah aneka sanksi yang dimaksud di atas adalah sanksi pidana. Terdapat kerumitan khusus untuk proses penegakannya karena penegakannya akan bertumpu pada aparat kepolisian atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Kementerian Kesehatan.

 

Sanksi pidana juga mensyaratkan standar pembuktian yang ketat sebelum menjatuhkan hukuman. Selain itu, penjatuhan hukuman ini perlu melibatkan dan dilakukan oleh lembaga peradilan. Sehingga dalam pelaksanaannya diyakini tidak akan berjalan dengan taktis; kurang cocok untuk merespons PPKM darurat.

 

Hal ini berbeda halnya dengan penegakan sanksi administrasi. Ini lebih efektif karena pemaksaannya dapat langsung diterapkan oleh administrasi (eksekutif) tanpa perlu mendapatkan putusan lembaga yudikatif (Jansen, 2013). Pemaksaan sanksi di lapangan juga akan lebih mudah karena tidak menuntut standar pembuktian yang seketat sanksi hukum pidana.

 

Secara konseptual, pendekatan pengaturan berbasis pada hukum administrasi juga dipandang lebih proporsional. Substansi larangan tindakan yang diatur— seperti tidak memakai masker, aktivitas berkumpulnya masyarakat, bergerak antarwilayah—sejatinya bukanlah perbuatan jahat. Hal ini adalah tindakan yang tidak baik, ceroboh, atau bahkan egois karena dapat memperluas pandemi.

 

Benar bahwa ketika konferensi pers tersebut, Kemendagri telah mengisyaratkan bahwa sanksi administrasi telah ada di perda provinsi atau kabupaten/kota, sehingga tidak perlu diatur ulang oleh pemerintah pusat. Namun, fakta di mana pandemi melonjak sedemikan rupa, mengisyaratkan bahwa ada dugaan masalah dari sanksi administrasi yang ada selama ini, sebagaimana berikut.

 

Catatan kritis

 

Pertama, pemerintah pusat tampak enggan memimpin dan mendesain sanksi administrasi dan melemparkan urusan ini ke daerah. Akibatnya, lahirlah aneka regulasi daerah yang menerapkan ragam dan berat sanksi administrasi secara berbeda beda. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan masyarakat. Bahkan, dapat memancing masyarakat untuk menolak penerapan sanksi yang lebih berat di wilayahnya karena membandingkan regulasi di daerah tetangga.

 

Kedua, jenis sanksi yang diatur dalam regulasi daerah juga perlu dievaluasi karena tidak lagi pas dengan nuansa situasi PPKM darurat, misalnya sanksi teguran atau sanksi penyitaan KTP pelanggar sementara waktu.

 

Patut dipertanyakan apakah masih relevan untuk menerapkan sanksi teguran, mengingat pandemi sudah berjalan sekitar satu setengah tahun. Logisnya semua pihak sudah sepatutnya mengetahui urgensi dan kewajiban mengindahkan protokol kesehatan.

 

Sementara untuk sanksi penyitaan kartu identitas, pelanggar mendapatkan kerugian berupa kehilangan waktu dan tenaga untuk mengambil kembali KTP tersebut ke kantor pemda. Artinya, sanksi ini menuntut mereka keluar rumah; sesuatu yang bertentangan dengan tujuan PPKM yang ingin menekan mobilitas masyarakat.

 

Ketiga, selain itu, masih terdapat pemerintah daerah yang tampaknya enggan membadankan dan/atau menerapkan denda administrasi ke pelanggar. Boleh jadi karena ini adalah jenis sanksi yang tidak populer atau memberatkan warga. Pemikiran ini dimaklumi karena situasi ekonomi memang sedang tidak baik.

 

Padahal, jika merujuk pada good practices negara-negara lain, desain dan penerapan sanksi protokol kesehatan yang efektif adalah dengan mengedepankan denda administrasi. Karena itu, ini perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh pengambil kebijakan karena akan lebih menghasilkan efek jera.

 

Perlu dipikirkan untuk mengatur besaran denda dengan proporsional dan dalam bentuk rentang. Besaran denda dapat semakin meningkat berdasarkan parameter atas siapa yang melanggar dan apa derajat bentuk pelanggarannya.

 

Orang kaya dapat dikenakan denda yang lebih besar daripada orang miskin. Orang yang melanggar lebih dari satu poin protokol kesehatan (prokes) seperti tidak menggunakan masker dan melakukan kerumunan dikenakan denda yang lebih besar daripada yang melanggar satu prokes saja.

 

Keempat, perlu pula dipikirkan agar sanksi denda administrasi ini jangan sampai menciptakan peluang korupsi kecil—tetapi dapat masif—bagi penegak hukum. Misalnya menyuap penegak hukum agar sanksi denda tidak jadi dikenakan atau agar dikenakan dengan denda yang lebih rendah.

 

Diyakini perlu penguatan sistem elektronik dan melengkapi penegak hukum dengan kamera pengawas guna memastikan integritas pelaksanaan sanksi administrasi ini.

 

Singkatnya, pemerintah daerah—dipimpin oleh pemerintah pusat—sebaiknya beralih dari cara cara penegakan disiplin protokol kesehatan yang selama ini kurang berhasil. Ragam virus korona baru semakin lama semakin beragam, semakin mematikan, dan semakin mudah proses penularannya. Internalisasi disiplin masyarakat dengan berbasis sanksi denda administrasi menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar