Mengefektifkan
Sanksi PPKM Darurat Richo Andi Wibowo ; Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta |
KOMPAS, 13 Juli 2021
Pemerintah akhirnya
menyatakan mengambil langkah yang lebih tegas dalam penanganan pandemi.
Kebijakan ini patut diapresiasi walaupun ada kekhawatiran masih akan kurang
efektif karena ada masalah pada sanksi dan strategi penegakan hukumnya. Merujuk pada konferensi
pers yang dipimpin oleh Menko Maritim dan Investasi terkait pelaksanaan PPKM
darurat pada 1 Juli lalu, Mendagri menjelaskan bahwa pelaksanaan sanksi
penegakan protokol kesehatan masih akan merujuk ke ketentuan yang ada selama
ini, yakni KUHP, UU Wabah Penyakit Menular, dan UU Kekarantinaan Kesehatan. Problemnya adalah aneka
sanksi yang dimaksud di atas adalah sanksi pidana. Terdapat kerumitan khusus
untuk proses penegakannya karena penegakannya akan bertumpu pada aparat
kepolisian atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Kementerian
Kesehatan. Sanksi pidana juga
mensyaratkan standar pembuktian yang ketat sebelum menjatuhkan hukuman.
Selain itu, penjatuhan hukuman ini perlu melibatkan dan dilakukan oleh
lembaga peradilan. Sehingga dalam pelaksanaannya diyakini tidak akan berjalan
dengan taktis; kurang cocok untuk merespons PPKM darurat. Hal ini berbeda halnya
dengan penegakan sanksi administrasi. Ini lebih efektif karena pemaksaannya
dapat langsung diterapkan oleh administrasi (eksekutif) tanpa perlu
mendapatkan putusan lembaga yudikatif (Jansen, 2013). Pemaksaan sanksi di
lapangan juga akan lebih mudah karena tidak menuntut standar pembuktian yang
seketat sanksi hukum pidana. Secara konseptual,
pendekatan pengaturan berbasis pada hukum administrasi juga dipandang lebih
proporsional. Substansi larangan tindakan yang diatur— seperti tidak memakai
masker, aktivitas berkumpulnya masyarakat, bergerak antarwilayah—sejatinya
bukanlah perbuatan jahat. Hal ini adalah tindakan yang tidak baik, ceroboh,
atau bahkan egois karena dapat memperluas pandemi. Benar bahwa ketika
konferensi pers tersebut, Kemendagri telah mengisyaratkan bahwa sanksi
administrasi telah ada di perda provinsi atau kabupaten/kota, sehingga tidak
perlu diatur ulang oleh pemerintah pusat. Namun, fakta di mana pandemi
melonjak sedemikan rupa, mengisyaratkan bahwa ada dugaan masalah dari sanksi
administrasi yang ada selama ini, sebagaimana berikut. Catatan
kritis Pertama, pemerintah pusat
tampak enggan memimpin dan mendesain sanksi administrasi dan melemparkan
urusan ini ke daerah. Akibatnya, lahirlah aneka regulasi daerah yang
menerapkan ragam dan berat sanksi administrasi secara berbeda beda. Hal ini
dapat menimbulkan kebingungan masyarakat. Bahkan, dapat memancing masyarakat
untuk menolak penerapan sanksi yang lebih berat di wilayahnya karena membandingkan
regulasi di daerah tetangga. Kedua, jenis sanksi yang
diatur dalam regulasi daerah juga perlu dievaluasi karena tidak lagi pas
dengan nuansa situasi PPKM darurat, misalnya sanksi teguran atau sanksi
penyitaan KTP pelanggar sementara waktu. Patut dipertanyakan apakah
masih relevan untuk menerapkan sanksi teguran, mengingat pandemi sudah
berjalan sekitar satu setengah tahun. Logisnya semua pihak sudah sepatutnya
mengetahui urgensi dan kewajiban mengindahkan protokol kesehatan. Sementara untuk sanksi
penyitaan kartu identitas, pelanggar mendapatkan kerugian berupa kehilangan
waktu dan tenaga untuk mengambil kembali KTP tersebut ke kantor pemda.
Artinya, sanksi ini menuntut mereka keluar rumah; sesuatu yang bertentangan
dengan tujuan PPKM yang ingin menekan mobilitas masyarakat. Ketiga, selain itu, masih
terdapat pemerintah daerah yang tampaknya enggan membadankan dan/atau
menerapkan denda administrasi ke pelanggar. Boleh jadi karena ini adalah
jenis sanksi yang tidak populer atau memberatkan warga. Pemikiran ini
dimaklumi karena situasi ekonomi memang sedang tidak baik. Padahal, jika merujuk pada
good practices negara-negara lain, desain dan penerapan sanksi protokol
kesehatan yang efektif adalah dengan mengedepankan denda administrasi. Karena
itu, ini perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh pengambil kebijakan karena
akan lebih menghasilkan efek jera. Perlu dipikirkan untuk
mengatur besaran denda dengan proporsional dan dalam bentuk rentang. Besaran
denda dapat semakin meningkat berdasarkan parameter atas siapa yang melanggar
dan apa derajat bentuk pelanggarannya. Orang kaya dapat dikenakan
denda yang lebih besar daripada orang miskin. Orang yang melanggar lebih dari
satu poin protokol kesehatan (prokes) seperti tidak menggunakan masker dan
melakukan kerumunan dikenakan denda yang lebih besar daripada yang melanggar
satu prokes saja. Keempat, perlu pula
dipikirkan agar sanksi denda administrasi ini jangan sampai menciptakan
peluang korupsi kecil—tetapi dapat masif—bagi penegak hukum. Misalnya menyuap
penegak hukum agar sanksi denda tidak jadi dikenakan atau agar dikenakan
dengan denda yang lebih rendah. Diyakini perlu penguatan
sistem elektronik dan melengkapi penegak hukum dengan kamera pengawas guna
memastikan integritas pelaksanaan sanksi administrasi ini. Singkatnya, pemerintah
daerah—dipimpin oleh pemerintah pusat—sebaiknya beralih dari cara cara
penegakan disiplin protokol kesehatan yang selama ini kurang berhasil. Ragam
virus korona baru semakin lama semakin beragam, semakin mematikan, dan semakin
mudah proses penularannya. Internalisasi disiplin masyarakat dengan berbasis
sanksi denda administrasi menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar