Menegaskan
Kembali Moderasi Islam Ala HMI
Idris Pua Bhuku ; Ketua PB HMI 2016-2018;
Kandidat Ketua Umum PB HMI
2018-2020
|
KORAN
SINDO, 15 Februari 2018
DALAM sambutannya pada pembukaan
Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-30 di Universitas Pattimura Ambon,
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan arti penting moderasi Islam sebagai
modal bagi pembangunan nasional. Karakter kepribadian umat muslim yang
moderat, akan menciptakan suasana sosial yang aman dan damai, sehingga hal
itu memungkinkan berbagai aktivitas lainnya seperti politik dan ekonomi akan
berjalan dengan baik, persaingan politik sehat, dan laju pertumbuhan ekonomi
akan meningkat.
Pesan Jokowi tersebut
tentu dinilai tepat untuk disampaikan, mengingat akhir-akhir ini situasi
sosial keagamaan kita sedang diteror oleh pihak-pihak yang ingin menciptakan
suasana yang mencekam dan menakutkan, seperti halnya penganiayaan dan
persekusi terhadap tokoh agama serta perusakan rumah-rumah ibadah. Situasi
menjadi kian tak menentu, berbagai spekulasi bermunculan, antar kelompok satu
sama lain saling curiga.
Keadaan seperti ini tentu
dapat merugikan bagi pembangunan nasional, mengingat, tidak mungkin negara
dapat mengerjakan pembangunan dalam kondisi masyarakat yang tidak kondusif
dan kacau. Terlebih, fokus utama pembangunan pemerintahan Jokowi ini adalah
infrastruktur. Artinya, kondusifitas kehidupan masyarakat merupakan
keniscayaan yang harus tercipta sebagai salah satu faktor utama keberhasilan
untuk melakukan pembangunan nasional yang merata.
Dari itu, penting
sekiranya bagi Jokowi – dalam kesempatan memberikan sambutan pada pembukaan
kongres tersebut -- untuk mengingatkan kembali kepada kader HMI se-Nusantara
untuk memegang teguh prinsip dasar Islam yang inklusif, moderat, dan toleran
demi menopang program Pemerintah dalam melakukan pembangunan nasional untuk
mewujudkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
HMI
dan Moderasi Islam
HMI sangat menyadari bahwa
Islam hadir di tengah-tengah kehidupan manusia bertujuan untuk menjadi rahmat
kasih sayang untuk semua makhluk, kapanpun dan dimanapun (rahmatan lil
`alamin). Darinya, Islam harus selalu berdiri tegak sebagai penengah
(moderat) dari ekstrem-ektrem paham keagamaan yang ada di dunia ini.
Moderasi Islam dalam
tatanan kehidupan masyarakat yang beragam adalah suatu keniscayaan yang harus
kita amalkan secara nyata. Dalam Qur`an surat al-Baqarah ayat 143 ditegaskan,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat
pertengahan agar kalian menjadi saksi bagi manusia.” Darinya, Islam harus
bersifat inklusif (terbuka) dan membuka ruang atas ragam perbedaan yang ada.
Justru keliru, jika ada
orang yang mengatasnamakan umat muslim, namun dalam aktivitas keberagamaannya
bersifat ekslusif, ekstrem, radikal, serta tidak memberikan rasa damai bagi
manusia lainnya, baik yang seiman ataupun berbeda. Orang yang benar-benar
sudah tertanam kuat di dalam hatinya cahaya Iman dan Islam, maka aktivitas
kehidupannya akan selalu damai dan memberikan rasa kedamaian bagi orang lain.
HMI adalah salah satu
organisasi kemahasiswaan yang sejak awal kelahirannya (5 Februari 1947)
hingga saat ini masih konsisten dan konsekuen dalam menyebarkan paham agama
Islam yang inklusif, moderat dan toleran. Citra inilah yang HMI amalkan dan
dipertahankan dalam usaha untuk mewujudkan cita HMI; terbinanya kepribadian
insan cita dan terwujudnya tatanan masyarakat madani.
Prof. Agussalim Sitompul
(2002:369) melukiskan enam corak pemikiran Keislaman dan Keindonesiaan HMI.
Pertama, subtantif, yaitu apa yang selama ini menjadi wacana HMI adalah
hal-hal yang prinsipil, bukan teknis; Kedua, proaktif, yaitu HMI selalu
berinisiatif untuk memberikan kontribusi pemikiran untuk pembangunan dan
kemajuan umat dan bangsa. HMI tidak reaktif atas suatu kejadian; Ketiga,
inklusif, yaitu memiliki pikiran yang terbuka dalam menghadapi ragam
perbedaan yang ada.
Keempat, integratif, yaitu
pemikiran HMI menyatu dan terintegrasi dengan kondisi sosial politik dan kultur
masyarakat Indonesia yang majemuk; Kelima, modernis, yaitu seuatu pemikiran
yang selalu ingin merombak (memperbaharui) berbagai pemikiran yang telah
usang dan tidak lagi relevan dengan konteks jaman yang sedang dihadapi; dan
keenam, ilmiah, yaitu pemikiran HMI selalu dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik.
Setidaknya, corak
pemikiran semacam itulah yang menjadi salah satu faktor utama mengapa HMI
menjadi organisasi besar dan memiliki usia yang relatif lama –yaitu hanya
selisih 18 bulan dengan kemerdekaan Indonesia— serta dapat memberikan
kontribusi positif bagi kemajuan umat dan bangsa.
Tantangan
Saat Ini
Minimal ada dua tantangan
bagi HMI saat ini. Secara internal, HMI menghadapi sebuah kenyataan bahwa di
dunia kampus sedang marak menjerat mahasiswa paham inklusivisme dan
radikalisme. HMI berkewajiban untuk menjadi problem solver atas permasalahan
itu. HMI harus kembali menjadikan mahasiswa sebagai prioritas utama dalam
mendakwahkan pahaman Islam yang inklusif, moderat dan toleran.
Secara eksternal, HMI
harus tetap menjadi pihak yang selalu kritis terhadap pemerintah dalam
mengawal setiap kebijakan-kebijakannya. Jika ditemukan adanya kekeliruan dan
ketidakadilan di dalam kebijakan pemerintah tersebut, maka HMI harus tegas
dan berani mengajukan nota keberatan serta memberikan masukan pemikiran atas
keliruan dari kebijakan itu.
Jika HMI abstain
memberikan peran dan fungsinya atas dua tantangan tersebut, maka cita HMI
untuk mewujudkan kualitas ‘insan cita’ (insan akademis, pencipta, pengabdi
yang bernafaskan Islam) dan ‘masyarakat madani’ (masyarakat adil makmur yang
diridhai Allah) hanya utopis belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar