Sabtu, 03 Februari 2018

Mencemaskan Politik Tak Beradab

Mencemaskan Politik Tak Beradab
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 03 Februari 2018



                                                           
Bayangan kelam menyongsong kontestasi 171 Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 bukan saja bakal menguatnya politik identitas, tetapi juga ruang politik pascakontestasi yang kusam: polarisasi masyarakat semakin akut. Sisa-sisa Pilpres 2014 saja belum sirna sudah disusul dengan ruwetnya Pilkada DKI Jakarta 2017. Semirip Pilpres Amerika Serikat 2016 yang memunculkan politik tak beradab, seperti terungkap dalam wawancara Audrey Hamilton dari Asosiasi Psikologi Amerika dengan Jonathan Haidt, penulis buku The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion (Speaking of Psychology: How Politics Became so Uncivilized, 2016).

Kekhawatiran banyak pihak menjadi pertanda bahwa praktik politik yang membelah publik akhir-akhir ini bukanlah energi positif untuk negeri ini. Apalagi, berlatar pengalaman Pilkada DKI Jakarta, sepertinya politikus pun tergiur meng-copy paste politik identitas sebagai ”jurus mematikan lawan”. Padahal, api yang tersulut di setiap ajang pertarungan politik tidak mudah dipadamkan. Bukan terbangun rekonsiliasi, melainkan malah publik kian terbelah.

Ada kisah paling bagus yang bisa ditiru politikus. Dua pekan lalu, sebuah saluran TV kabel memutar film Invictus (2009), karya sutradara Clint East-wood berdasarkan novel John Carlin, Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Made a Nation (2008). Film itu memang berkisah tentang Nelson Mandela (1918-2013), sang madipa (pemimpin) Afrika Selatan. Ketika pendulum politik berubah tahun 1994 saat Mandela menjadi presiden, orang kulit hitam sepertinya ingin melampiaskan dendam kesumat setelah begitu lama ditindas rezim orang kulit putih yang rasialis. Semua jejak, simbol, warisan, sistem yang dibangun orang kulit putih serasa ingin dihancurkan dalam semalam.

Dengan latar kejuaraan dunia rugbi di Afrika Selatan tahun 1995, tatkala semua orang kulit hitam ingin mengganti nama tim rugbi Springboks dan seragamnya karena dianggap sebagai simbol rezim apartheid, Mandela justru menolak. ”Masa lalu adalah masa lalu. Kita sekarang melihat ke depan,” kata Mandela yang diperankan Morgan Freeman, ”Sekarang bukan waktunya untuk balas dendam, ini waktunya membangun bangsa dan negara”. Sang madipa justru merajut kembali satu per satu titian yang patah dan lapuk, membangun rekonsiliasi bangsa. Mandela merasa bukan pemimpin orang kulit hitam atau orang kulit putih saja. Ia adalah pemimpin bangsa Afrika Selatan.

Padahal, andaikan Mandela ingin balas dendam saat menjadi pemimpin Afrika Selatan selama 1994-1999, mudah dipahami mengingat siksaan hidup dalam penjara rezim apartheid yang sangat diskriminatif. Di seantero dunia ini, barangkali Mandela menjadi tokoh politik paling lama mendekam di penjara. Tak kurang dari 27 tahun ia hidup di balik jeruji besi selama 1962-1990: 2 tahun (1962-1964) dipenjara di Johannesburg dan Pretoria, 18 tahun (1964-1982) diisolasi di Penjara Pulau Robben, 6 tahun di Penjara Pollsmoor di Cape Town, dan 2 tahun (1988-1990) di Penjara Victor Verster di Paarl sampai pembebasannya.

Namun, Afrika Selatan beruntung memiliki Mandela. Tembok penjara yang tebal tak melumatkan jiwanya. Semua penjara hanya bisa mengurung tubuh (fisik) Mandela, tetapi jiwanya terus berkelana terbang bebas menembus batas ruang dan waktu. Mandela menjadi manusia yang tidak tersandera sifat-sifat buruk manusia. Mandela berkulit hitam, tetapi berhati ”putih”. Sebaliknya, orang kulit putih justru berhati ”hitam”. Begitulah seorang pemimpin sejati sehingga bangsa Afrika Selatan tak terjebak dalam ritual politik balas dendam.

Menjadi pemenang bukanlah meniadakan mereka yang kalah. Tidak akan ada pemenang tanpa ada pihak yang kalah. Apalagi, dalam pertarungan politik, kemenangan semestinya milik semua orang. Bukan representasi satu kelompok. Kemenangan adalah pesta bersama. Sebab, ia harus memihak semua pihak. Kata pepatah Jawa, menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan). Prinsipnya, berpeganglah pada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Itulah yang mesti dilakoni pemimpin. ”Saya adalah master dari nasib saya, saya adalah kapten dari jiwa saya,” kata Mandela yang sering mengutip penggalan puisi Invictus (tak terkalahkan) karya penyair Inggris William Ernest Henley (1849-1903) yang selalu dibacanya di Penjara Pulau Robben.

Penjara Pulau Robben amat populer, termasuk bagi pejuang Indonesia yang diasingkan Belanda ke Afrika Selatan. Hampir dua abad sebelum Mandela, penyebar Islam Tuan Guru Imam Abdullah Qadhi Abdul Salam dari Tidore mende- kam 13 tahun (1780-1793) di Penjara Pulau Robben bersama Abdul Rauf, Badrudin, Nur Iman (Ebrahem Mahida, 1993, History of Muslims in South Africa: 1700-1799). Bahkan, Nuruman dari Batavia lebih dulu dipenjara di Pulau Robben (1770). Era penjajahan, banyak orang In- donesia dibuang ke Afrika Selatan oleh Belanda, termasuk Cakraningrat IV dari Madura (1746). Para interniran itu selalu memiliki pengaruh.

Paling legendaris dan perintis adalah Syekh Yusuf, ulama besar asal Makassar. Diasingkan ke Afrika Selatan tahun 1693, dipindahkan dari Sri Lanka (Ceylon). Syekh Yusuf telah membuka mata bangsa Afrika Selatan untuk melawan rasisme dan dominasi orang kulit putih. Syekh Yusuf menjadi inspirasi bagi Mandela. Dan, Mandela memilih mempersatukan bangsanya meskipun dengan jalan berliku. Sungguh celaka apabila generasi sekarang (khususnya tokoh politik) di negeri ini membiarkan bangsanya terbelah demi ambisi politik, sekaligus politik balas dendam. Politik tak beradab itulah yang mencemaskan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar