Mampukah
Politisi
Menjawab
Tiga Persoalan Milenial?
Hasanuddin Ali ; Penulis Buku Milenial
Nusantara; CEO Alvara Research Center
|
KORAN
SINDO, 31 Januari 2018
WARNA kontestasi
politik 2019 mendatang akan sangat berbeda dengan pesta pemilu tahun-tahun
sebelumnya. Bukan saja karena pemilu legislatif dan pemilu presiden
dilakukan serentak, tapi juga karena hadirnya para pemilih muda yang akan
menyemarakkan pesta demokrasi terbesar di Indonesia ini. Para pemilih
generasi milenial yang berusia 17-38 tahun ini akan mencapai 52% dari
total pemilih. Itu artinya 1 dari 2 pemilih adalah generasi milenial.
Tidak heran bila kemudian hampir semua partai dan kandidat yang akan berpartisipasi dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden menjadikan pemilih milenial sebagai target utama. Untuk membidik pemilih milenial ini mereka melakukan berbagai program komunikasi dalam mendekatkan diri mereka dengan pemilih milenial. Presiden Joko Widodo kerap mendatangi konser-konser musik, berkomunikasi melalui vlog di Youtube, dan sosial media lain adalah salah satu contoh bagaimana Presiden Joko Widodo ingin lebih dekat dengan generasi milenial. Contoh lain adalah Muhaimin Iskandar, Cak Imin, juga sangat aktif berkomunikasi melalui Instagram dan Twitter melalui tagar #pemimpinzamannow. Partai-partai juga melakukan hal sama, bahkan ada satu partai baru yang menisbatkan dirinya sebagai partai berbasis pada suara generasi milenial. Mendekati pemilih milenial memang tidak mudah, mereka cenderung apolitis. Ada anggapan di sebagian anak-anak milenial bahwa politik bukanlah dunia mereka, politik adalah “mainan” para orang tua. Karena itu, mereka cenderung cuek dengan berbagai hiruk-pikuk proses politik yang terjadi di Indonesia. Studi yang dilakukan Alvara Research Center (2016) menyebutkan pemilih milenial sebagian besar masuk dalam kategori swing voters /pemilih galau dan apathetic voters /pemilih cuek. Meski semua kandidat dan partai mulai menyasar pemilih milenial, tapi belum ada satu pun yang berbicara lebih substansial tentang apa program dan tawaran yang mampu menjawab harapan dan kebutuhan generasi milenial atau dalam bahasa lain mereka masih menjadikan generasi milenial sebagai objek, belum menjadi subjek politik. Padahal dengan segala potensi yang ada, generasi milenial sudah memiliki kemampuan dan kapabilitas mumpuni untuk menjadi pelaku utama dalam pentas perpolitikan nasional. Sektor pendidikan, ekonomi, dan ketenagakerjaan adalah tiga isu utama menjadi pokok persoalan yang dihadapi generasi milenial. Sektor pendidikan dihadapi terutama oleh generasi milenial muda yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah. Bagaimana anak-anak muda milenial ini bisa mendapatkan akses pendidikan berkualitas guna menjawab tantangan masa depan mereka yang semakin tidak mudah. Banyak sekali pemberitaan di berbagai media yang menyorot ketidakmampuan generasi milenial untuk membeli rumah 3-5 tahun mendatang, naiknya pendapatan generasi milenial itu ternyata tidak mampu mengejar kenaikan harga rumah yang melambung tinggi. Inilah contoh problem nyata sektor ekonomi dihadapi generasi milenial. Di sisi lain, generasi milenial lebih condong menggunakan uangnya untuk keperluan jangka pendek, data Alvara Research Center tahun 2017 menunjukkan generasi milenial mengalokasikan 11% dari pengeluaran per bulannya untuk menabung, investasi, dan asuransi. Sementara alokasi untuk komunikasi dan internet 9,7% serta untuk hiburan mencapai 4,3%. Sektor tenaga kerja juga menjadi persoalan kunci yang dihadapi generasi milenial. Mereka dihadapkan pada tuntutan perkembangan skill dan kompetensi baru yang tidak dihadapi generasi sebelumnya. Data science, social network analysis, computer programing adalah kompetensi yang banyak dibutuhkan di dunia kerja sekarang ini. Hadirnya revolusi industri keempat, sebagaimana ditulis dalam laporan The Future of Jobs yang dikeluarkan World Economic Forum tahun 2016 menyebutkan, tren artificial intelligence, machine learning, robotics, nanotechnology, 3D printing, genetics and biotechnology akan merombak total kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang. Selain tuntutan untuk bekerja, gairah generasi milenial untuk berwirausaha juga tinggi. Survei yang dilakukan Alvara Research Center pada September 2017 terhadap mahasiswa dan pelajar SMA menyebutkan, cita-cita mereka setelah lulus paling besar adalah ingin menjadi entrepreneur. Ini sejalan dengan tren yang terjadi sekarang dengan tumbuhnya startup -startup baru yang didominasi anak-anak muda. Gairah wirausahawan muda ini perlu dibantu dan difasilitasi agar usaha mereka lebih maju. Akses terhadap modal, akses terhadap pasar, dan akses terhadap sumber daya manusia adalah tiga hal yang sangat mereka butuhkan. Karena itu, kembali pada kontestasi politik 2019, penting bagi setiap partai politik dan kandidat ikut memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi generasi milenial, terutama terkait sektor pendidikan, ekonomi, dan ketenagakerjaan. Karena generasi milenial inilah yang akan menjadi aktor utama bonus demografi mendatang. Bila hal ini dilakukan dengan baik, maka akan menjadi kontribusi nyata partai politik dan kandidat terhadap setiap potensi generasi milenial bagi Indonesia. Mampukah? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar