Kegalauan
itu!
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara
Foundation
|
REPUBLIKA,
03 Februari
2018
Akhir-akhir ini, khususnya setelah saya umumkan rencana
pendirian pesantren di Amerika dan lumayan viral, banyak yang bertanya-tanya.
Kira-kira apa yang sesungguhnya menjadi motivasi utama sehingga saya
melakukan proyek yang cukup ambisius ini?
Apakah karena memang Muslim Amerika, khususnya New York, tidak
memadai? Ataukah memang karena pesantren diperlukan untuk menghadapi
meningginya Islamophobia di Amerika? Atau adakah motivasi atau alasan lain
sehingga pendirian pesantren ini dicanangkan?
Jawabannya semua di atas adalah motivasi-motivasi penting dan
mendasar. Di kota New York ada sekitar 800 ribu hingga sejuta orang Islam.
Artinya ada sekitar 10% Muslim dari keseluruhan penduduk kota New York yang
berjumlah sekitar 10 hingga 12 juta itu.
Di NYPD misalnya saat ini ada sekitar 12 ribu anggota kepolisian
yang beragama Islam. Di sekolah-sekolah umum (public schools) ada sekitar 120
ribu muridnya yang beragama Islam. Artinya sekitar 13 persen dari keseluruhan
murid sekolah-sekolah umum di kota Bew York itu beragama Islam. Wajar jika
Idul Fitri dan Idul Adha telah resmi menjadi liburan sekolah di New York
City.
Sekolah Islam full time di kota New York saat ini ada 12
sekolah. Belum lagi sekolah-sekolah penghafal Alquran yang meluluskan puluhan
hafiz setiap tahunnya.
Di kantor-kantor pemerintahan, mulai dari kantor wali kota, DPRD
New York, hingga ke agensi-agensi lainnya, termasuk kantor-kantor kecamatan,
selamanya ada staf yang beragama Islam. Minimal staf itu bertugas sebagai
“liaison” (penghubung) antara kantor-kantor pemerintahan dan komunitas
Muslim.
Bahkan sejak zaman Michael Bloomberg wali kota New York ada dua
“commissioner” (anggota kabinet wali kota) yang beragama Islam. Keduanya
wanita muda yang pintar. Satu keturunan Palestina dan satu lagi keturunan
Iran. Dua negara yang sesungguhnya dianggap tidak bersahabat dengan Amerika.
Kegalauan itu
Sejak saya tiba di kota New York sekitar 21 tahun silam,
tepatnya di penghujung tahun 1997, saya sedikit banyaknya telah merasakan
kegalauan itu. Di tengah pertumbuhan sekaligus tantangan Islam yang sangat
besar, ternyata hampir tidak saya temukan anak bangsa yang berperan di
Amerika, bahkan dunia global lainnya.
Di Amerika Serikat sendiri, khususnya kota New York, para pelaku
dakwah dan pendidikan Islam didominasi oleh kalangan warga Timur Tengah, Asia
Selatan atau IPB (India, Pakistan, Bangladesh), dan tentunya kalangan
Africans khususnya Afro American Muslims.
Namun, dalam dekade terakhir saya kemudian menjadi lebih galau
ketika menemukan realita bahwa negara dan bangsa ini belum sepopuler, bahkan
dengan sesama negara ASEAN saja, seperti Thailand, Singapura, Malaysia,
Vietnam, bahkan Kamboja.
Ambillah sebagai misal di dunia kulinari. Setiap ada orang asing
ke Indonesia akan jatuh hati dengan makanan-makanan Indonesia. Bukan satu dua
macam. Tapi, dari sabang sampai marauke makanan-makanan itu dahsyat
kelezatannya.
Tapi, dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia misanya, di luar
negeri restoran-restoran Indonesia hampir tidak ada apa-apanya. Di kota New
York misalnya restoran-restoran Vietnam bahkan jauh lebih banyak dan populer.
Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika Indonesia relatif
tidak dikenal sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia.
Seringkali justru yang disangka negara Muslim terbesar dunia adalah Mesir,
Iran, bahkan Saudi Arabia.
Sebagai ilustrasi, saya sampaikan kejadian-kejadian lucu di
beberapa kesempatan. Misalnya saya pernah diundang memberikan presentasi
Islam di sebuah universitas Amerika. Ketika saya kenalkan diri bahwa saya
datang dari Indonesia, tidak banyak yang antusias. Tapi ketika saya menyebut
kata Bali, semua seolah bersemangat karena mengenal Bali dengan baik.
Artinya, seolah Indonesia itu hanya bagian dari Bali.
Di sebuah kesempatan lain saya mengenalkan diri sebagai warga
negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Tiba-tiba ada yang menyelah:
“are you from Egypt” (kamu dari Mesir)? Ada pula yang pernah berkata: “oh are
you a Saudi” (kamu orang Saudi)?
Bahkan suatu ketika saya mengenalkan negara Muslim terbesar itu
ada di Asia Tenggara. Ada pula yang berkata: “are you from Malaysia” (kamu
dari Malaysia)?
Kegalauan demi kegalauan itu terus menghantui selama kurang
lebih dua dekade terakhir. Tapi, rasanya tidak mampu berbuat apa-apa untuk
membuktikan bahwa Indonesia itu negara hebat, besar, dan seharusnya dikagumi
oleh dunia. Bahwa Indonesia itu punya sejarah besar, memiliki luas daratan
dan lautan yang luar biasa luas dan kaya. Negara berpenduduk terbesar keempat
dan demokrasi ketiga dunia.
Tapi, dari semua itu Indonesia adalah negara dengan penduduk
Muslim terbesar dunia. Kalau saja seluruh saudara-saudara Arab kita satukan,
Muslim Indonesia masihlah lebih besar jumlahnya dari mereka.
Di kalangan umat Islam sendiri memang masih ada stigma yang
mengatakan bahwa menjadi Muslim dengan latar belakang tertentu, ambillah Arab
misalnya, pasti lebih hebat. Sehingga jika ekspresi keislaman kita tidak sama
dengan mereka maka keislaman itu kurang afdhol. Baju koko atau batik dan
songkok tidak semulia dengan baju orang Arab juga atau “shalwar gamiz” orang
India Pakistan.
Pekerjaan atau tugas saya sebagai Imam selama 21 tahun di
Amerika juga belum mengurangi stigma seperti itu. Seolah bangsa ini kurang
layak menjadi pemimpin di dunia global. Sebuah realita yang kontras dengan
masa lalu bangsa ini.
Dulu bangsa ini mengekspor ulama-ulama ke luar negeri. Siapa
yang tidak kenal dengan Syeikh Yusuf Al-Makassary misalnya? Atau ulama-ulama
besar dari Palembang yang menjadi imam-imam di tanah Haram?
Dulu bangsa ini mengekspor guru-guru agama ke Malaysia. Kini
bangsa ini banyak yang ke Malaysia untuk menuntut ilmu agama.
Semua bentuk kegalauan di atas itulah yang mendorong saya untuk
mengambil langkah berambisi ini. Sebuah langkah yang betul-betul dimulai
dengan mimpi, dibarengi oleh niat suci dan usaha maksimal.
Harapan saya memang semoga bangsa Indonesia, baik masyarakat
luas maupun pemerintah menangkap peluang ini. Saya menyebutnya peluang sebab
inilah kesempatan baik untuk mengenalkan Indonesia, tidak saja dengan
keindahan alamnya. Tapi, tidak kalah pentingnya juga mengenalkan Indonesia
sebagai negara Muslim terbesar dunia.
Dan bukan sekedar terbesar di dunia. Tapi, Muslim dengan
karakter kemanusiaan yang kontra dengan stigma tentang Islam yang keras,
antidemokrasi, anti HAM, terbelakang, serta mengedepankan permusuhan.
Maka, insya Allah dengan pesantren ini kita akan kenalkan Islam
yang dipahami, diyakini dan dipraktikkan di Indonesia. Yaitu Islam teduh,
damai, bersahabat, menghormati kebebasan, HAM, merangkul demokrasi dan modernitas,
serta mengedepankan dialog dan kerjasama dengan semua manusia.
Sebagai putra bangsa, saya bermimpi suatu saat pesantren ini
akan dicatat sebagai kontribusi nyata Indonesia ke dakwah global dan dunia.
Amin! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar