Energi
Politik Kaum Muda
Nurlia Dian Paramita ; Tim Asistensi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
RI Periode 2012-2017
|
KOMPAS,
01 Februari
2018
Posisi kaum muda, khususnya usia 17-37 (millennial),
cukup menentukan, dengan jumlah sekitar 84 juta orang menurut BPS tahun 2015
atau sekitar 50 persen dari penduduk usia produktif.
Suara mereka harus didengar dan
representasi mereka mesti diperhitungkan (Kompas, 28/ 12/17). Posisi mereka menjadi penopang arah gerak
cita-cita bangsa sekaligus sumber energi untuk merajut republik ini agar
bangkit menyongsong pembangunan berkeadaban.
Di tengah potensi konflik akibat politik
identitas yang diembus-embuskan, kaum muda hadir sebagai agen-agen penyelamat
bangsa. Kiranya mereka mampu menghadirkan kampanye damai dan produktif bagi
pergerakan keindonesiaan yang substantif dan mandiri.
Namun, hingga kini, kaum muda masih menjadi
pangsa pemilih pemula yang dimanfaatkan partai politik. Anak muda dianggap
berpotensi karena sering galau (swing voters) dalam menentukan pilihannya.
Kekuatan
politik
Demokratisasi bangsa berkembang dengan
aliran-aliran politik yang termanifestasikan dalam kekuatan politik (Jurdi,
2016). Proses itu diharapkan tidak hanya berasal dari partai politik, tetapi
juga kelompok- kelompok sosial lewat organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan, seperti karang taruna. Kedua
kelompok diharapkan punya legitimasi politik untuk memengaruhi program konfigurasi
politik nasional.
Oleh karena itu, kaum muda semestinya mampu
mendorong perubahan politik lewat sekoci baru yang berani menyuarakan
kebenaran. Partai politik wajib transparan dalam pendanaan, sekaligus
menegakkan etik dan mendorong keterbukaan dalam perekrutan kader.
Namun, sejauh mana kaum muda berani pasang
badan dan bertarung dalam proses politik kebangsaan. Dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia, tahun 1908, sekumpulan kaum muda, yang sedang kuliah
di fakultas kedokteran, melahirkan organisasi Budi Utomo. Inilah sebagai
penanda kebangkitan kaum muda pada masa tersebut.
Kemudian Sumpah Pemuda menyusul tahun 1928,
dilakukan oleh orang muda yang berlatar belakang dari segala disiplin ilmu
dan suku bangsa. Hal ini makin menambah semangat kemerdekaan kaum muda, yang
berperan dalam aspek kenegaraan penting di zamannya.
Politik, yang dimaknai sebagai jalan untuk memperjuangkan kebaikan
bersama, keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan, sebetulnya sudah
diperhatikan oleh sebagian kaum muda.
Bangkit
dan kawal
Kini, pemuda perlu bangkit dan mengawal
berbagai isu seperti inisiasi gerakan kemanusiaan lewat kedermawanan atau
menyumbang berbasis aplikasi daring yang mudah akses dan
pertanggungjawabannya, menghidupkan gerakan literasi dengan menghadirkan
perpustakaan mini, dan mem-viral-kan informasi berbasis media yang dirasa
krusial.
Semua itu, terutama untuk membentuk proses
demokratisasi republik ini dalam menghadirkan pemimpin yang penuh integritas
dan berdedikasi pada rakyat dalam pilkada serentak di 171 daerah tahun ini.
Kaum muda patutlah bergerak, apalagi sejak
pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tahun 2015, satu per satu kepala
daerah menjadi tersangka korupsi. Tentu ini potret buruk bagi calon pemimpin.
Proses pembiayaan politik, yang sedari awal
dilakukan oleh calon kepala daerah dalam pilkada, harus ikut menentukan
apakah proses korupsi mungkin atau tidak dilakukan dalam periode kepemimpinan
yang bersangkutan saat terpilih.
Kecenderungan mengumpulkan uang melalui
suap, mempermainkan kalkulasi proyek, hingga memelintir perizinan adalah pola
yang dilakukan petahana yang ingin maju kembali dalam kontestasi politik
(Kompas, 5/1/18).
Hingga kini korupsi masih dianggap sebagai
kelaziman dan seakan tiada rasa takut dalam melakukan. Sebagian akan
mengatakan bahwa yang bersangkutan ”sedang sial” atau ”kurang setoran”
sehingga tertangkap korupsi. Jadi, semua hanya terkait dengan waktu dan
momentum.
Artinya korupsi ini jamak dilakukan atas
nama balas budi dan juga jatah yang sudah dijanjikan pada pihak-pihak
pendukung kontestan. Kaum muda sebenarnya sudah membuat kegiatan pencegahan
sejak dini.
ICW fokus mengawal kaum muda lewat kelas
antikorupsi di beberapa kampus di Indonesia. Pemuda Muhammadiyah juga
menyelenggarakan ”madrasah anti-korupsi”. Sejauh ini proses berlangsung,
demikian pula halnya awareness. Namun, pelaku praktik korupsi tetap saja
belum menemui efek jera. Mungkin karena sudah terjerat pada lingkaran
kekuasaan.
Tolak
politisi busuk
Mari kita mengawal penyelenggaraan pilkada
dengan ”Gerakan tolak politisi busuk”.
Politik kewargaan menjadi sebuah jalan
terang bagi hak seorang pemilih untuk menagih janji-janji pemimpin di mana
pun dia berada. Oleh karena itu, sudah selayaknya kaum muda memulai.
Pertama, dengan mengidentifikasi
siapa-siapa calon yang bermasalah secara hukum. Misalnya, sang calon berasal
dari pengusaha yang menunggak pajak atau mempunyai kasus perdata/pidana yang
berdampak signifikan.
Kedua, hindari yang berpotensi korupsi dan
track record terkait akuntabilitas keuangan yang buruk.
Ketiga, waspadai yang banyak
mengeksploitasi alam ataupun membuat janji-janji politik yang tidak ditepati.
Keempat, pelaku KDRT. Setelah hal tersebut
mampu dipetakan dengan baik, tidak ada salahnya gerakan anti-politisi busuk
mulai disuarakan. Caranya, dengan menviralkan lewat akun media sosial,
talkshow interaktif ataupun turun ke jalan, sebagai bagian dari unjuk rasa
keprihatinan.
Semua ini diharapkan dapat mengubah relasi
kekuasaan melalui representasi populer dan partisipasi yang lebih baik, juga
untuk meningkatkan efisiensi tata pemerintahan yang demokratis. Dengan
demikian, daya-tawar meningkat dan mendorong kompromi-kompromi yang mampu
memajukan pembangunan berkelanjutan, berbasis hak kewargaan dengan
mengutamakan dialog, dan mendengarkan banyak masukan dari kaum muda sebagai
modal kekuatan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar