Kamis, 01 Februari 2018

Maladministrasi Permendagri No 1/2018

Maladministrasi Permendagri No 1/2018
Laode Ida ;  Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
                                                     KOMPAS, 01 Februari 2018



                                                           
Usul Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengangkat jenderal polisi menjadi pelaksana tugas atau plt gubernur di dua provinsi yang telah berakhir masa jabatannya saat pilkada serentak menuai kritik banyak pihak.

Bahkan, ada yang khawatir keinginan politisi PDI-P itu berpotensi menimbulkan kerawanan, selain mengancam netralitas Polri (Kompas, 27/1/2018).

Bagi pihak pemerintah, tampaknya penempatan figur dari jajaran aparat keamanan untuk jadi plt gubernur didasarkan dua pertimbangan. Pertama, terkait dengan isu kerawanan sosial atau keamanan dalam proses-proses pilkada di daerah tertentu.

Jenderal polisi barangkali dianggap ampuh mencegah dan atau meredam potensi konflik sosial politik lokal, karena bisa secara efektif bersinergi dengan aparat kepolisian setempat. Cara-cara represif ala aparat keamanan bisa jadi diterapkan untuk menciptakan situasi (seolah-olah) damai.

Alasan sumber daya

Kedua, terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia dari internal Kemendagri. Tampaknya Tjahjo Kumolo meragukan kapasitas para anak buahnya untuk jadi plt gubernur, tak bisa ciptakan suasana kondusif di daerah. Apalagi akan ada plt gubernur di 17 provinsi dan sekaligus mengawasi pilkada di 115 kabupaten dan 39 kota.

Mendagri Tjahjo Kumolo mengekspresikan keraguannya dengan ”bahasa klasik birokrasi”, bahwa para anak buahnya sudah padat dengan tugas-tugas rutin. Sementara pejabat sekretaris wilayah provinsi yang memenuhi syarat administrasi untuk jadi plt gubernur sudah lebih dulu dicurigai ”akan memainkan mesin birokrasi untuk memenangkan kontestan tertentu”.

Dengan dua alasan itu, Mendagri menganggap sah-sah saja jika menghadirkan figur dari luar Kemendagri untuk jadi plt gubernur. Apalagi sudah pernah dilakukan semacam ”uji coba” saat menempatkan Irjen Carlo Brix Tewu sebagai penjabat Gubernur Sulbar dalam Pilkada 2017. Yang disebut terakhir ini barangkali dianggap ”berhasil membawa misi kepentingan politik tertentu”, luput dari kritikan publik secara luas, sehingga dianggap bisa dilanjutkan dalam pilkada serentak 2018.

Perlu koreksi

Untuk memuluskan keinginan itu, tanpa kajian mendalam, Mendagri merevisi Permendagri Nomor 74/2016. Semula hanya pejabat eselon I dari Kemendagri dan pemprov yang ”berhak” atau berpeluang mengisi formasi sebagai penjabat atau plt gubernur; diganti dengan Permendagri Nomor 1/2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara. Dalam Permendagri yang baru ini (pasal 4 ayat 2), instansi sumber plt gubernur sudah terbuka, yakni berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintahan pusat/provinsi. 

Namun, keinginan itu seharusnya tidak dilanjutkan oleh Mendagri. Presiden Joko Widodo harus segera mengoreksi Permendagri Nomor 1/2018 itu. Mengapa? Sebab, ada potensi maladministrasi alias penyalah- gunaan kewenangan, baik dilakukan oleh Mendagri maupun para figur calon plt gubernur yang berasal dari jajaran Polri. Pada ujungnya pun berakhir pada citra negatif presiden.

Pertama, Permendagri Nomor 1/2018 dan atau kebijakan pemerintah melibatkan jenderal polisi aktif itu sekaligus berpotensi melanggar dua undang- undang sekaligus, yakni UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No 2/2002 tentang Polri.

Dalam Pasal 201 Ayat (1) UU tentang Pilkada dinyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat
penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan itu sebenarnya sudah dicakup dalam Pasal 4 Ayat (2) Permendagri No 74/2016 —yang tiba-tiba direvisi hanya untuk akomodasi kepentingan kelompok tertentu. Sementara dalam Pasal 28 Ayat (3) UU tentang Polri tegas dikatakan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Preseden buruk

Tentu akan jadi preseden buruk dalam pengelolaan pemerintahan jika pelanggaran terbuka atas UU oleh pejabat negara terus saja dibiarkan oleh presiden. Andai itu terjadi, maka bukan mustahil akan jadi bola panas yang bisa berujung pada krisisnya kepercayaan publik terhadap figur kepala pemerintahan kita.

Kedua, kebijakan itu bisa dikatakan sebagai godaan yang bersifat menggiring Polri untuk terlibat dalam politik praktis. Jajaran Polri bisa berarti otomatis (emosional) akan bersikap tak netral dalam pertarungan politik lokal. Tepatnya, Polri akan dituduh membawa misi kepentingan politik parpol yang berkuasa —suatu pelanggaran serius dari nilai-nilai reformasi.

Jika itu terjadi, harapan untuk menciptakan situasi stabil, aman, dan damai di tahun politik ini akan sulit terwujud. Sebab, niscaya akan ada prasangka buruk (prejudise) baik terhadap figur plt gubernur dari Polri maupun aparat kepolisian pada umumnya, yakni memiliki hidden agenda untuk memenangkan para kontestan yang diusung oleh parpol penguasa.

Potensi instabilitas lokal begitu besar jika kebijakan itu tidak dikoreksi. Pasalnya, akan muncul perlawanan di tingkat lapangan yang akan melibatkan kekuatan politik baik berbasis parpol maupun kelompok-kelompok masyarakat lokal. Bahkan, bukan mustahil akan terjadi konflik vertikal antara masyarakat lokal dan jajaran aparat kepolisian karena dianggap berpihak.

Tetap di koridor

Seluruh warga bangsa ini berharap dan sekaligus menghargai Polri (dan juga TNI) untuk tetap jalan di atas koridor yang benar sesuai dengan core business yang dimandatkan UU. Tidak boleh cacat hanya karena arahan politik kepentingan sesaat.

Perlu selalu diingat bahwa tugas utama dari penyelenggara negara ini adalah menciptakan stabilitas atau keteraturan, bukan sebaliknya: memproduksi keresahan sosial (social unrest) gara- gara politik kepentingan seperti yang diwujudkan dalam Permendagri No 1/2018.

Jika pun berkeinginan untuk melakukan perubahan terhadap suatu kebijakan, termasuk, misalnya, menjadikan institusi Polri masuk dalam bagian Kemendagri, haruslah terlebih dahulu dilakukan kajian matang. Seluruh peraturan perundangan terkait harus diubah. Tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba.

Semua ini menjadi bagian dari ujian kepemimpinan Presiden Joko Widodo, ujian sebagai pimpinan eksekutif dan sekaligus sebagai negarawan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar