Sabtu, 17 Februari 2018

Diskursus Melawan Korupsi Politik

Diskursus Melawan Korupsi Politik
Arif Susanto ;  Analis politik Exposit Strategic; Pegiat Lingkaran Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 17 Februari 2018



                                                           
SUNGGUH merupakan suatu tragedi politik bahwa hanya dalam 45 hari pertama 2018 KPK telah menetapkan delapan kepala daerah sebagai tersangka korupsi. Tragis karena jumlah ini sudah setara dengan seluruh kepala daerah terjerat korupsi yang ditangani KPK selama 2017. Tanpa perubahan mendasar, politik nasional akan terus membiakkan koruptor.

Karena sadar dengan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, sejak pilkada serentak 2015 KPK memberi perhatian lebih intensif terhadap potensi korupsi politik. Bukan hanya dalam bentuk pencegahan, melainkan juga dengan mengoptimalkan penindakan. Pada akhir 2017, KPK bahkan juga bekerja sama dengan Bawaslu untuk mencegah politik transaksional.

Pada awal 2018, berturut-turut KPK menangkap tangan atau mendakwa korupsi Bupati Hulu Sungai Tengah Selatan Abdul Latief, Bupati Kebumen M Yahya Fuad, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Bupati Jombang Nyono Suharli, Gubernur Jambi Zumi Zola, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Subang Imas Aryumningsih, dan terakhir Bupati Lampung Tengah Mustafa.

Ini menjadi suatu pukulan telak karena pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 11 Desember 2017 Presiden Jokowi telah mendorong pencegahan korupsi sekaligus pembenahan tata pemerintahan. Pesan serupa kembali diserukan Presiden secara khusus kepada para kepala daerah pada 3 Februari 2018, setelah Gubernur Jambi Zumi Zola ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

Ironis bahwa skala korupsi politik tidak menurun meskipun berbagai seruan dan langkah baik pencegahan maupun penindakan hukum digalakkan. Prevalensi korupsi justru cenderung meningkat seiring dengan naiknya suhu politik menjelang pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Kelemahan dalam tatanan politik dapat ditunjuk turut berkontribusi terhadap kondisi negatif tersebut.

Lemahnya pelembagaan politik, yang ditandai pemusatan kekuasaan di tangan elite parpol dan rendahnya otonomi organisasi, memungkinkan transaksi mahal untuk membeli rekomendasi pencalonan. Hal serupa dipicu pula oleh lemahnya perkaderan politik sehingga parpol bersedia mengajukan calon nonkader dengan syarat mahar politik tertentu.

Mentalitas jalan pintas membuat sebagian kandidat memilih politik uang yang dipandang efektif untuk memperoleh dukungan seketika massa pemilih jika dibandingkan dengan komunikasi politik intens. Problem komunikasi politik itu pula yang menciptakan persaingan tidak sehat dalam bentuk pemasaran politik berbiaya mahal selama masa kampanye.

Celakanya, tidak satu pun di antara politik berbiaya mahal itu yang berkontribusi bagi pencerdasan dan pemberdayaan pemilih. Jika para politikus mampu mengubah tatanan politik menjadi lebih diskursif, melalui pertarungan gagasan sebagai solusi problem-problem sosial, ada peluang bahwa politik transaksional dapat diminimalkan dan biaya politik dapat diturunkan.

Demokrasi diskursif

Meskipun korupsi politik semakin marak, sesungguhnya korupsi dan politik bukanlah hal tidak terpisahkan. Korupsi itu tidak inheren dalam politik; korupsi bukanlah suatu keniscayaan politik. Benar bahwa kekuasaan politik itu rentan untuk disalahgunakan, tetapi kecenderungan semacam itu sedikitnya dapat diminimalkan lewat suatu tatanan demokrasi diskursif.

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa esensi demokrasi terletak bukan pada pemilihan umum. Tidak dimungkiri bahwa pemilihan para wakil rakyat dan pengisian jabatan-jabatan politik itu penting dalam suatu demokrasi perwakilan. Namun, kontestasi kekuasaan--sebagai suatu mekanisme pemilihan--tidak dapat meringkas seluruh hakikat demokrasi.

Sebaliknya, hakikat demokrasi terletak pada suatu permusyawaratan rakyat. Demokrasi hidup dari berbagai dialog publik untuk membicarakan segenap urusan bersama, termasuk untuk memilih pemimpin di antara mereka. Dialog semacam itu berlangsung secara sinambung, dengan memberi ruang ekspresi yang setara bagi setiap bentuk partisipasi politik yang legal.

Lewat diskursus publik, nilai dan kepentingan dikontestasikan hingga ditemukan suatu gagasan yang berterima sebagai solusi persoalan bersama. Di dalamnya, suatu komunikasi politik pada level baik elite maupun massa, secara baik vertikal maupun horizontal, menjadi jalan tiada putus untuk mengidentifikasi persoalan sekaligus alternatif solusi atasnya.

Dengan cara itu, pemilihan umum hanyalah salah satu di antara banyak prosedur pengambilan keputusan hasil diskursus publik. Selain memastikan bahwa pemimpin pilihan lahir bukan melalui mekanisme elitis dan tidak transparan, diskursus publik dapat menjadi alat kontrol kebijakan agar kekuasaan tidak melawan kehendak rakyat yang berdaulat.

Proses diskursus inilah yang harus didorong sebagai bagian langkah pencerdasan publik pemilih. Tidak semata berdampak pada pemberdayaan publik, proses serupa juga berpeluang untuk menekan biaya pemasaran politik. Keterpilihan seseorang ditentukan tidak sekadar oleh keterkenalan, tetapi juga keberterimaan tawaran program mereka di mata para pemilih.

Pelembagaan politik mestinya berfokus pada kualitas permusyawaratan rakyat, lebih daripada mengutamakan pemenangan kontestasi kekuasaan. Ketika mentalitas korup membelit pula, pemulihan integritas kekuasaan menjadi suatu kebutuhan agar daya hidup demokrasi diskursif tidak terancam.

Kemenangan kekuasaan yang korup hanya akan menghasilkan kekalahan publik dan kebangkrutan negara. Diskursus publik punya obligasi untuk melawan gejala negatif korupsi politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar