Sebelum
Hujan Reda dan Banjir Surut
Nirwono Joga ; Kemitraan
Kota Hijau
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Februari 2018
EDITORIAL Media Indonesia
pada 8 Februari 2018 mengangkat tema Lagu Lama Rencana Tata Ulang,
pasca-Jakarta dilanda banjir. Sampai kapan? Ada baiknya kita memahami tipe
banjir yang melanda Jakarta selama ini. Pertama, banjir kiriman terjadi
akibat kawasan hulu sungai hujan deras, sementara daerah hilir hujan ringan
atau tidak hujan. Ketika puncak Bogor hujan lebat, volume air sungai
meningkat dan mengalir dalam jumlah besar dari hulu ke hilir. Penyempitan
daerah aliran sungai karena okupasi bangunan dan permukiman padat membuat
kapasitas daya tampung air hujan di sungai berkurang. Volume air hujan
meningkat, air sungai meluap membanjiri permukiman.
Kedua, banjir lokal
terjadi ketika di Jakarta hujan lebat, sementara di (Puncak) Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) tidak hujan atau hanya gerimis. Saluran air
masih buruk, tersumbat sampah, endapan lumpur, tumpang tindih kabel dan pipa
utilitas, antarsaluran tidak terhubung baik, dan kapasitas kecil. Pompa
stationer tidak berfungsi membuat air hujan tidak bisa segera dialirkan ke
sungai atau tempat penampungan terdekat. Air saluran meluber, menggenangi
jalan, dan merendam terowongan jalan (underpass).
Ketiga, banjir rob
(limpasan air laut), yang setiap bulan purnama permukaan air laut pasang.
Pantai utara merupakan kawasan yang berada di bawah permukaan air laut. Di
samping itu, akibat beban pembangunan fisik yang masif telah turut
mempercepat penurunan muka tanah. Kombinasi ini membuat kawasan pantai utara
rentan banjir rob.
Keempat, banjir besar
terjadi ketika pada waktu sama di kawasan Puncak Bogor dan Bodetabek (tipe 1)
dan wilayah DKI Jakarta hujan lebat (tipe 2), serta bersamaan bulan purnama
sehingga terjadi rob di pantai utara (tipe 3). Air hujan melimpah, sungai
meluap, saluran air meluber, dan rob pantai utara maka bisa dipastikan
Jakarta dilanda banjir besar, seperti pada 1996, 2002, 2007, 2012/13. Lalu
apa yang harus dilakukan?
Jangka
pendek
Pastikan semua pompa
stationer dan pompa mobile dalam kondisi siap pakai. Perlu dicatat, sistem
pemompaan membutuhkan biaya pemeliharaan pompa yang besar dan kesiapan tenaga
lapangan yang andal, serta tidak ramah lingkungan dalam jangka panjang.
Pengecekan seluruh tanggul
terutama yang berdekatan dengan permukiman penduduk. Pengurus warga harus
proaktif melaporkan kondisi tanggul kepada aparat setempat, terutama jika
menemukan keretakan di tanggul. Intensitas hujan yang tinggi, volume air
sungai yang naik cepat, dan waktu hujan di malam hingga dini hari harus
menjadi perhatian utama antisipasi tanggul jebol.
Pembersihan dan
pengangkutan sampah di sungai dan saluran air, serta penertiban larangan
membuang sampah (dan limbah) ke sungai harus dilakukan serentak oleh seluruh
pemerintah daerah (pemda) dari hulu ke hilir. Sungai harus bebas sampah dan
limbah, tanpa terkecuali.
Kawasan langganan banjir
segera disiapkan tempat evakuasi terdekat seperti sekolah, rumah ibadah,
kantor kelurahan/kecamatan. Pemerintah segera menganalisis dan membuat
perencanaan matang terhadap kawasan langganan banjir. Pemda bertemu
masyarakat terdampak, duduk bersama, dan membicarakan langkah terbaik untuk
membebaskan kawasan dari banjir.
Jangka
panjang?
Jika kita ingin memutus
mata rantai banjir, pendekatan penanganan banjir saat ini harus diubah dari
konsep membuang air hujan secepat-cepatnya ke laut seperti normalisasi dengan
teknik betonisasi (sungai menjadi saluran air raksasa), sodetan, dan
kanalisasi. Pendekatan baru yang dilakukan ialah bagaimana menampung air
hujan sebanyak-banyaknya agar dapat diserapkan sebesar-besarnya ke dalam
tanah (ekodrainase).
Rehabilitasi saluran air
primer, sekunder, dan tersier agar terhubung baik, bebas sampah, dan endapan
lumpur. Pemerintag Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus merehabilitasi
saluran air sebesar 67%. Penataan saluran air dilakukan bersamaan dengan
perbaikan trotoar dan pembangunan jaringan utilitas (bawah tanah) dalam
rencana induk yang terpadu.
Revitalisasi daerah
penampung air berupa situ/telaga (alami) dan waduk/danau (buatan) untuk
dikeruk, diperdalam, dan diperluas agar kapasitas daya tampung lebih besar.
Kawasan ditata menjadi taman situ/telaga/waduk/danau seperti di Taman Waduk
Pulit, Jakarta Utara, dan Taman Waduk Ria-Rio, Jakarta Timur. Jumlah waduk
dan situ di Jabodetabek sebesar 178 buah (2017), khusus Jakarta ada 44 waduk
dan 14 situ yang harus segera dibenahi, dan (rencana) 20 waduk baru (2030).
Pembenahan sungai secara
menyeluruh. Konsep normalisasi yang pada awalnya bertujuan ingin ‘menormalkan
kembali’ sungai yang telah rusak, justru menekankan pada aspek teknis
konstruksi beton. Betonisasi tepi sungai berdampak arus sungai lebih cepat
karena tidak ada yang meredam dan membuat daya rusak di hilir semakin besar.
Sungai lebih cepat
mendangkal karena lumpur yang terbawa cepat dan mengendap di badan sungai
sehingga pengerukan sungai harus lebih sering. Selain itu, tanaman tepian air
hilang dan ekosistem tepian sungai mati karena tidak ada tempat habitat satwa
liar hidup. Penyakit lingkungan pun akan menjadi ancaman berikutnya.
Konsep pembangunan kota
untuk kembali ke alam pun berkembang pesat sebagai upaya mengatasi pemanasan
global dan degradasi kualitas lingkungan. Salah satunya ialah pembenahan
sungai kembali ke bentuk alami (naturalisasi). Bentuk badan sungai
dikembalikan berliak-liuk bak ular (tidak ada sodetan) dan arus sungai
melambat (meresapkan air ke kiri-kanan bantaran sungai).
Bantaran sungai
dihijaukan, bebas beton, kemiringan agak landai, tanaman tepian air (habitat
satwa liar) dan pohon berakar penguat tebing (agar tidak mudah longsor
tergerus arus sungai), dilengkapi jogging track, jalur sepeda, dan taman
cantik. Kota-kota di Eropa, Singapura, dan Australia sudah melakukannya.
Pengembangan ruang terbuka
hijau (RTH) sebagai daerah resapan air berupa taman, hutan kota, kebun raya,
taman permakaman, jalur hijau (bantaran kali, tepi/median jalan, bantaran
kereta api, bawah saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet), kolong
jalan/jembatan layang). Pengembalian peruntukan RTH yang beralih fungsi,
penanaman pohon di kawasan konservasi dan lahan kosong harus dilakukan
seluruh pemda dari hulu (puncak) ke hilir (pantai).
Pemda melibatkan
masyarakat membangun sumur resapan di halaman rumah dan menyediakan kolam
penampung di bawah area parkir perkantoran, pusat perbelanjaan, hingga
halaman sekolah. Warga dan pengelola gedung dilarang memperkeras seluruh
kavling halaman, sediakan taman (RTH privat) sehingga tidak ada air hujan
yang terbuang. Semoga semangat mengatasi banjir ini tidak hilang seiring
hujan reda dan banjir surut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar