Stereotip,
Kuping Panci,
dan
Bara dalam Sekam Kebhinekaan
Arie Saptaji ; Penulis, Penerjemah,
Editor,
dan Penggemar Dawet Ayu
minum di tempat
|
DETIKNEWS,
03 November
2017
Seorang pria bersurban dan
brewokan tengah menikmati makanan di piring kecil. Seorang pria bule
mengamatinya.
"Are muslims allowed to eat that?" tanya si bule.
"Sir, I'm Sikh."
"O shit man, get well soon."
Humor di atas menggunakan
permainan kata. Sikh terdengar mirip sick
(sakit), dan si bule salah dengar sehingga responsnya melenceng.
Di tataran lain, humor itu
mewakili stereotip. Tampaknya si bule beranggapan bahwa orang yang bersurban
dan brewokan itu pasti muslim. Ketika pria Sikh itu berusaha mengoreksinya,
alih-alih memastikan pendengarannya beres, si bule bersikukuh pada prasangka
subjektifnya sehingga responsnya pun meleset. Mana tahu ia bila orang Sikh
justru dilarang menyantap daging halal? Bisa jadi ia pun tidak tahu kalau
orang Sikh itu ada.
Stereotip memang susah
ditepiskan. Hijab nyaris diidentikkan dengan busana perempuan muslim, padahal
perempuan dari berbagai tradisi iman juga terbiasa mengenakan busana tertutup
serupa. Ketika melihat pria muda bercelana cingkrang, orang bisa jadi segera
mengira ia orang muslim fanatik, tetapi siapa tahu ia fans garis keras
Michael Jakson?
Jika pelaku penembakan orang
kulit hitam atau muslim, media menyebutnya teroris; bila pelakunya orang
kulit putih, media menyebutnya penderita gangguan mental. Ketika ada orang
atau partai mendukung politisi idola kita, tak ayal kita membaptisnya sebagai
orang dan partai yang baik. Dan seterusnya. Dan sebagainya.
Ada stereotip yang nisbi tidak
berbahaya, malah bisa bermanfaat. Stereotip tertentu mungkin ada benarnya,
tetapi lebih besar kemungkinan kelirunya, dan kemudian kekeliruan ini
berkembang jadi perspektif yang picik dan tidak adil.
Saya mengamati warung makan
yang pelanggannya banyak orang Cina menunya pasti enak, dan tebakan saya 93%
benar adanya. Lain soalnya kalau kita menyebut orang Cina itu kikir. Tidak
sedikit orang Jawa yang kikir minta ampun, bahkan terhadap saudaranya
sendiri. Sebaliknya, banyak sahabat Cina saya yang amat murah hati, bahkan
ada yang ikhlas memberikan beasiswa pada anak orang Jawa yang baru
dikenalnya. Lalu, kenapa stereotip kikir tidak dilekatkan pada orang Jawa?
Stereotip adalah sebentuk
kemalasan. Kemalasan berpikir. Enggan mencari informasi lebih jauh. Tergesa
mengambil kesimpulan secara gampangan. Berangkat dari prasangka subjektif
yang cenderung keliru, kita menganggap pandangan tertentu sudah final. Tak
perlu didiskusikan lagi. Tabu meragukan dan mempertanyakannya.
Stereotip lebih suka menegakkan
tembok daripada membentangkan jembatan. Stereotip membekukan sesuatu,
seseorang, atau suatu golongan dalam label yang seakan tak terbantahkan.
Stereotip, dengan demikian, berkawan erat dengan kepicikan. Dengan pola pikir
biner yang kolot.
Menurut Richard Rohr, pikiran
yang dualistis membaca dunia dalam oposisi biner yang menyederhanakan
persoalan —baik dan buruk, benar dan salah, kawan dan lawan, pribumi dan
asing— dan merasa bangga dan bijak dikarenakan berdiri teguh di salah satu
pihak. Jika terus seperti ini, kita tak bakal beranjak ke mana-mana. Ini
seperti memelihara bara dalam sekam. Seperti menimbun bom waktu.
Dalam era digital, dengan
maraknya interaksi melalui media sosial, dampak stereotip dan pola pikir
biner ini kian pelik. Salah satunya adalah merebaknya "budaya
komentar", salah satu persoalan utama bangsa ini yang disoroti Karlina
Supelli dalam Pidato Kebudayaan pada 2013 yang bertajuk Kebudayaan dan
Kegagapan Kita. Menurut Karlina, sebagian anggota masyarakat sudah merasa
hebat dengan berkomentar pendek melalui media sosial.
"Ada problem yang sangat
serius, tapi ditanggapi dengan cara yang sekadar komentar-komentar pendek,
tidak ada kedalaman," katanya. Mudah diduga, stereotip dan pola pikir
biner banyak mencuat dalam komentar-komentar pendek tersebut.
Mau tak mau, jika merindukan
kehidupan bersama yang harmonis, kita perlu mengatasi dan mengeliminasi
stereotip. Suatu langkah awal yang dapat diambil adalah mengembangkan
kebiasaan untuk mendengarkan dan berempati. Tidak terburu-buru menarik
kesimpulan. Bersedia mempertimbangkan pandangan yang berbeda, bahkan yang
berlawanan dengan pandangan pribadi kita. Dan, mengikuti siasat kebudayaan
yang ditawarkan Karlina Supelli, membangkitkan kembali kebiasaan berpikir
serius, bukan sekadar melempar komentar.
Soal mendengar ini, Y.B
Mangunwijaya dalam Ragawidya mencatat ungkapan Belanda yang bisa memerahkan
telinga, yaitu oost-indisch doof alias "tuli gaya Hindia-Timur."
Istilah ini mengacu pada "seseorang (biasanya pelayan/jongos) yang
sungguh-sungguh sadar bahwa ia dipanggil, tetapi karena segan dan tak senang
ditambahi pekerjaan atau soal, pura-pura tidak mendengar."
Ungkapan tersebut bisa jadi
stereotip, bisa pula dianggap kritik yang memang pedas, tetapi jenaka dan ada
benarnya. Karena itu, dapat disikapi sebagai ajakan untuk berinstrospeksi dan
memperbaiki diri.
Waktu kecil, salah satu nasihat
yang kerap disampaikan orangtua, "Kalau punya kuping itu mbok dipakai
untuk mendengarkan. Jangan jadi kuping panci!" Anda tentu sudah menduga
maksudnya: kuping yang menempel di kepala, tapi tak berfungsi. Apa yang masuk
lewat lubang telinga kiri, dengan leluasa lolos begitu saja dari lubang
telinga kanan. Tanpa mampir ke otak, apalagi ke dalam hati! Begitulah sikap
kita sering ketika orang lain tengah berbicara.
Tak jarang pula kita mendengar
dengan sikap memasang kuda-kuda. Alih-alih berusaha memahami maksud si lawan
bicara, pikiran kita justru disibukkan oleh apa yang akan kita lontarkan
setelah orang itu selesai berbicara. Kita cenderung defensif, berusaha
membela dan membenarkan apa yang kita rasakan atau apa yang kita pikirkan.
Kita juga tidak ingin terlihat buruk di hadapan orang lain. Atau, kita
menyiapkan serangan balik dengan menyalahkan pihak lain. Tak heran kalau
jalur komunikasi serba tumpat-padat, dan pertikaian gampang meledak.
Perlu kerendahan hati untuk
belajar mendengarkan secara sungguh-sungguh, dan menanggalkan kecenderungan
membela diri ini. Tanpa kesediaan itu, jembatan komunikasi kita jelaslah
goyah.
Sebuah kecakapan mendasar yang
mesti dikembangkan untuk dapat berkomunikasi dengan baik tidak lain adalah
empati. Kecakapan berempati adalah kemampuan untuk memahami atau paling tidak
membayangkan apa yang dikomunikasikan oleh orang lain. Acap kita terlena oleh
perasaan dan kebutuhan kita sendiri sehingga abai terhadap kebutuhan orang
lain. Untuk itu, kita perlu belajar mendengarkan orang lain, bukan secara
sambil lalu, melainkan secara sungguh-sungguh, menempatkan diri dalam posisi
lawan bicara, dan kemudian menanggapi dengan semestinya.
Dalam The Tale of Desperaux,
Kate DiCamillo menguraikan arti empati secara menarik. Empati, menurutnya,
berarti "ketika kau dibawa dengan paksa ke ruang tahanan bawah tanah,
ketika punggungmu ditodong dengan pisau besar, ketika kau berusaha bersikap
berani, kau masih mampu memikirkan sejenak orang yang memegang pisau
itu." Saat ditimpa tekanan berat, bahkan saat diserang lawan, empati
tetap perlu diberi ruang.
Jika kita sungguh-sungguh
berupaya menembus sekat-sekat stereotip dan mengembangkan empati terhadap
liyan, belajar saling menyimak dan mendengarkan, kita bisa bersama-sama
merayakan dan mendayagunakan kebhinnekaan.
Terbebas dari stereotip, kita
bakal mendapati banyak kejutan. Orang yang sekujur tubuhnya penuh dengan tato
ternyata begitu baik dan berbudi. Sebaliknya, orang yang saban Minggu rajin
beribadah di gereja, siapa menduga begitu culas dan licik?
Namun, kalau kita bersikeras
mempertahankan stereotip dan sikap kuping panci, sok tahu, lekas berkomentar,
malas bertanya, enggan berpikir kritis, kita akan terbelenggu kepicikan,
hidup dalam ketegangan dan kecurigaan satu sama lain. Ini bara dalam sekam
itu, bom waktu yang mencemaskan bagi kehidupan kita berbangsa.
Paling tidak kita akan terjebak
dalam lingkaran setan miskomunikasi konyol seperti yang dialami orang Batak
dan orang Jawa berikut ini. Siang-siang seorang mahasiswa baru melintasi
kawasan Pengok, Yogyakarta. Di kiri jalan berderet bakul "Es Dawet Ayu
Banjarnegara". Ia mampir ke salah satu bakul. Bapak yang berjualan
sedang sibuk mencuci dan membereskan gelas-gelasnya.
"Beli dawetnya, Pak," pesannya. Caranya mengucapkan "dawet" segera
menunjukkan asal-usulnya.
"Wah, sampun telas, Nak," jawab bapak itu dalam bahasa Jawa halus, yang artinya sudah
habis.
"Ya, Pak, pakai gelas. Aku minum di sini saja."
"Sampun boten wonten," penjual itu menegaskan. Maksudnya, sudah tidak ada.
"Ya, Pak, santannya yang banyak!"
"Welah, rada edan cah iki!" gerutu si penjual, mengira pemuda itu agak kurang waras.
"Hah, tahu pula Bapak ini kalau aku dari Medan?!" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar