Riwayat
Kelahiran Istilah Pribumi
Nasihin Masha ; Pemimpin Redaksi
Republika
|
REPUBLIKA,
03 November
2017
Sejak kapan kata pribumi hadir?
Belum ada riset khusus. Lalu apa makna pribumi? Ada yang mengulasnya dari
perspektif genetik, ada pula yang mengulasnya dalam pengertian sosial. Namun,
kata pribumi adalah pergeseran dari kata bumiputera dan memiliki makna sama.
Tulisan ini tak hendak
mengulasnya dari perspektif genetik, tapi dari perspektif sosial. Sosial di
sini mencakup pula aspek budaya, hukum, politik, bahkan ekonomi. Ini sesuai
genealogi kelahiran istilah ini.
Kata pribumi marak digunakan
pada masa Orde Baru, menggantikan kata bumiputera yang digunakan sebelumnya.
Asal usul istilah ini berasal dari penyematan oleh kolonial Belanda. Saat
itu, mereka menyebut penduduk setempat dengan sebutan “inlander”.
Sebutan itu bermakna peyoratif,
merendahkan, lengkap dengan sifat-sifat buruk yang disematkan. Namun, para
founding fathers tak kalah akal. Mereka mencari padanannya. Inlander
dipadankan dengan bumiputera, dengan makna amelioratif, meninggikan.
Bumiputera menjadi sebuah
konsep perjuangan yang menyatukan dan membangkitkan semangat dan kepercayaan
pada diri sendiri. Melalui diksi bumiputera, para pejuang kebangsaan berdiri
melawan kolonialisme Belanda. Hal ini bisa dilihat pada tulisan-tulisan dan
pidato-pidato para Bapak Bangsa. Hal itu bisa dilacak pada pidato dan tulisan
HOS Tjokroaminoto (pendiri organisasi pergerakan kebangsaan terbesar di
masanya, Sarekat Islam).
Juga bisa dilihat pada tulisan
Dokter Soetomo, salah satu pendiri Budi Utomo. Dengan semangat bumiputera ini
sejarah nasional disusun. Misalnya, mengapa sejarah pers nasional dimulai
dari Medan Prijaji dan bukan dari yang lain. Mari kita susuri soal ini. Pers
pertama di Nusantara adalah Bataviasche Nouvelles (1744-1746). Terbit di
Jakarta dan berbahasa Belanda. Pers berbahasa Melayu pertama adalah Soerat
Kabar Bahasa Melaijoe (1856) dan terbit di Surabaya.
Ada pula pers pertama dalam
bahasa Jawa, yaitu Bromartani (1855-1857) dan terbit di Surakarta. Ada pula
pers pertama berbahasa Melayu-Tionghoa, yaitu Li Po (1901-1907), terbit di
Sukabumi. Namun, pers nasional justru dinisbahkan pada Medan Prijaji
(1907-1912), terbit di Bandung, yang hadir kemudian. Pergerakan kebangsaan
menjadi identik dengan bumiputera atau kebumiputeraan.
Medan Prijaji adalah pers
pertama yang dimiliki dan dikelola kaum bumiputera serta ditujukan bagi
pergerakan kebangsaan. Itulah yang membedakan Medan Prijaji dengan pers lain
yang lahir lebih dulu. Pers lain berorientasi pada Belanda atau kesukuan dan
asal usulnya. Semua ini memang berawal dari kolonialisme, penjajahan. Ada
penjajah, ada yang dijajah. Harus ada batas dan pertanda sebagai simbol
superioritas tersebut. Sebutan inlander itu salah satu simbolnya.
Namun, tak berhenti sampai di
tingkat sebutan, dalam pergaulan, juga dikukuhkan dalam peraturan. Kita bisa
melihatnya pada undang-undang kolonial Belanda. Hal ini, misalnya, bisa dilihat
pada Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan Umum Undang-Undang) atau
dikenal sebagai AB yang lahir pada 1847.
Pada Pasal 4 dan Pasal 5 AB
membagi penduduk dalam dua golongan: Eropa dan Bumiputera, lalu ada yang
dipersamakan dengan Eropa dan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Agama
menjadi penentunya. Golongan yang bukan Eropa, tapi memeluk Kristen akan
dipersamakan dengan golongan Eropa.
Namun, ada kewenangan gubernur
jenderal untuk menentukan tetap disamakan dengan bumiputera. Golongan yang
bukan bumiputera dan bukan golongan Eropa yang tak beragama Kristen
dipersamakan dengan golongan bumiputera.
Pasal 9 mengatur KUH Perdata
dan Pidana untuk golongan Eropa. Sedangkan pasal 11 mengatur berlakunya hukum
agama, adat, dan lain-lain untuk mengatur golongan bumiputera.
Pada 1854 lahir Regerings
Reglement (Peraturan Pemerintah) atau RR yang membagi golongan penduduk,
seperti yang diatur dalam AB. Tak ada lagi pengecualian soal agama. Hanya
saja, yang sudah dipersamakan tetap berlaku.
Pada 1920 lahir RR baru yang
membagi golongan penduduk ke dalam tiga golongan: Eropa, Bumiputera, dan
Timur Asing (Cina, Arab, India). Pada RR lama tidak ada Timur Asing karena
mereka dipersamakan dengan bumiputera.
Akhirnya, pada 1926 lahir
Indische Staatsregeling (Peraturan Kenegaraan Hindia) atau IS. Pasal 161
mengatur pembagian tiga golongan penduduk yang mengukuhkan RR baru.
Sedangkan, pasal 131 mengatur hukum yang berlaku pada tiga golongan penduduk
tersebut.
Pasal 131 juga mengatur
memungkinkan bagi golongan Timur Asing dan bumiputera mengikut ke hukum
Eropa. Pembagian golongan penduduk ini bukan sekadar kategorisasi, tapi
memiliki dampak di bidang hukum, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan,
bahkan permukiman.
Konsep bumiputera atau pribumi
itu memiliki posisi tersendiri bagi tumbuhnya kesadaran nasional. Sutan
Takdir Alisjahbana, dalam Polemik Kebudayaan pada 1935, menerangkan:
“Sekarang perkataan itu (Indonesia--ed) boleh kita katakan mengganti
perkataan bumiputera sebagai lawan asing”.
Bung Hatta, dalam tulisannya di
buletin Indonesia Merdeka pada 1929, juga mengemukakan hal sama. Kata
“orang-orang Indonesia” dan “Indonesia” telah menggantikan bumiputera dan
Hindia Belanda.
Ya, istilah Indonesia sebagai
sebutan politik mulai menggantikan kata bumiputera, dimulai dengan perubahan
Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging pada 1919, lalu menjadi
Perhimpunan Indonesia pada 1922.
Dan, makin umum setelah Sumpah
Pemuda 1928. Karena itu, bumiputera adalah kata pertama yang menyatukan
rakyat nusantara--yang sebelumnya terikat pada kesadaran kedaerahan,
kesukuan, golongan, bahkan kerajaan sendiri-sendiri.
Bumiputera adalah konsep
pertama yang membangunkan kesadaran tentang persamaan nasib. Ini mengingatkan
pepatah Latin “nomen omen est”. Nama itu mengandung alamat.
Bumiputera adalah pembentuk
kesadaran pertama yang bersifat menyatukan dalam perjuangan pergerakan
kebangsaan dalam melawan kolonialisme. Karena itu, bumiputera atau pribumi
adalah konsep perjuangan yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan bangsa dan
negara Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar