Sekolah
Islami, Perumahan Islami, Daycare Islami
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan
menerjemah; Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional
Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi
dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
03 November
2017
Kata siapa umat Islam miskin
dan terzalimi? Coba, mari kita cek papan-papan iklan yang menghiasi jalan
raya perkotaan. Pada sebuah perempatan utama di kota Yogyakarta, papan iklan
paling besar adalah iklan pendaftaran sekolah islami. Iklan tersebut terpajang
dalam bilangan bulan lamanya, sehingga tentu bisa kita perkirakan berapa
besaran anggaran pemasaran yang dikeluarkan oleh pihak sekolah. Sebetulnya,
hal tersebut sebuah indikasi yang bagus.
Saya senang menyaksikan banyak
muslim berkelimpahan, sehingga bisa membangun sekolah dengan iklan yang
menjual keunggulan institusi pendidikan itu, mulai dari bangunan fisik yang
gagah, kualitas bersaing secara internasional, juga menggaransi moral dan
akhlak anak dengan janji pendidikan menghafal Al Quran secara kilat. Dua hal
saja yang membuat saya kurang sreg. Pertama, kalau biaya pendaftaran dan SPP
per bulan ternyata sangat mahal. Kedua, dua olahraga yang dipromosikan adalah
berkuda dan memanah, sebab katanya sesuai sunah, sedangkan hobi saya adalah
berenang, berlari dan senam zumba.
Selain iklan sekolah islami,
iklan dengan papan raksasa lain datang dari kluster-kluster perumahan islami.
Sebut saja, perumahan yang diimajinasikan itu bernama Pahala Islamic Center.
Tawaran perumahan syariah yang lebih dahulu muncul, biasanya menjanjikan
skema pembelian rumah yang secara akad muamalah dilaksanakan secara islami,
seperti menjauhi riba. Politik bahasa iklan Pahala Islamic Center lain. Kali
ini, utopia perumahan yang ditawarkan pengembang adalah sebuah wilayah yang damai
karena konon di sekitarnya akan dibangun banyak pusat belajar Islam, seperti
tempat untuk belajar Al Quran, dan banyak jadwal pengajian.
Keunggulan itu tampak dari
gambar papan iklan yang alih-alih menggambarkan situasi rumah yang
dipromosikan atau alur pembelian, namun justru memilih menggunakan gambar Al
Quran dan anak kecil. Hal ini menarik. Pengembang berpikir secara
paradigmatik di luar kotak. Ia seperti paham betul bahwa di masa depan,
situasi kehidupan konon semakin sesak, tak aman, dan penuh bahaya sebab efek
kemajuan-kemajuan zaman yang tentu akan berpengaruh kepada perkembangan
anak-anak.
Bahasa iklan tak pernah salah.
Di Ibukota di mana modernitas dan keserbapraktisan menjadi impian, ada iklan
perumahan di mana setiap hari seorang anak kecil berbisik, "Bawa aku
pergi dari sini..." agar ia dibawa pindah ke sebuah kota yang menawarkan
cara lain untuk hidup yang menawarkan keamanan, sistem transportasi yang
baik, bebas polusi, dan teknologi-teknologi yang belum ada di dunia ala fiksi
ilmiah.
Akan tetapi, menjadi aneh
ketika konon kemudian ada fit and proper test untuk dapat menjadi warga
Pahala Islamic Center tersebut. Satu yang paling penting tentunya adalah
beragama muslim. Ini bukan soal saya tidak senang berdampingan dengan sesama
muslim. Tapi, bukankah ada banyak dinamika unsur bertetangga selain agama?
Saya senang bertetangga dengan Cik Yen karena ia hobi memasak cap jay goreng
seafood pedas yang rasanya sungguh enak, dan kabar baiknya ia senang berbagi.
Saya senang bertetangga dengan Mbak
Lina yang berjualan kue, sebab ia sering sekali tiba-tiba mengirim kue donat
kentang yang empuk lagi hangat di pagi hari. Saya senang bertetangga dengan
Pak Fauzan yang sering menyelamatkan keluarga kami dari keteledoran, semacam
aliran air yang lupa kami matikan, bau masakan yang gosong dari dapur kami,
atau mengawasi keponakan balita kami yang bermain hingga jalan utama gang
yang ramai kendaraan bermotor.
Iklan islami selanjutnya yang
membuktikan pesatnya kreasi bisnis muslim adalah tren daycare islami. Sesuai
sebutannya, mungkin ia adalah tempat penitipan balita, namun islami. Saya
bayangkan, semua asisten pengasuhnya memakai jilbab, ditingkahi bacaan Al
Quran dan lagu-lagu islami sebagai latar musik di ruangannya, tetapi saya
tidak tahu bagaimana membuat permainan bola-bolaan, mobil-mobilan, atau
peralatan masak-masakan bocah agar menjadi islami.
Sejak dulu, pendidikan Islam
juga bukan barang baru di negeri kita, seperti jaringan pesantren salafiyah
tradisional di Jawa atau sekolah tawalib di Sumatera. Dua organisasi Islam
terbesar, antara lain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sejak awal abad ke 19
berkonsentrasi kepada aktivitas pengembangan institusi pendidikan, mulai
pesantren, pendidikan usia dini hingga universitas, juga pusat-pusat studi
dan jaringan beasiswa.
Inti dari pendidikan Islam
adalah bagaimana mencetak manusia yang memiliki jiwa kemanusiaan seutuhnya.
Dan, bagian paling baik dari penyediaan institusi pendidikan tentu saja
adalah biayanya yang terjangkau untuk seluruh kalangan. Eksklusivitas tidak
hanya bisa terbentuk dari keseragaman identitas, tapi juga keseragaman
kemampuan membayar. Bukankah akan lebih baik jika anak tidak hanya bergaul
dengan sesama mereka yang berkecukupan, namun juga mereka yang memerlukan
bantuan untuk belajar melihat perbedaan?
Begitu juga dengan perkara
memilih tempat tinggal. Saya tidak berkepentingan dengan agama Cik Yen, tidak
ingin bertanya apakah keuntungan berjualan kue donat Mbak Lina sudah
disedekahkan, atau tidak ingin bertanya berapa lembar Al Quran yang telah
didaras Pak Fauzan hari ini. Selain alasan pribadi bahwa saya juga tidak bisa
memastikan perkara iman akan selalu baik-baik saja, saya justru berpikir, toh
kalau suatu saat ada maling atau rampok masuk ke perumahan, mereka juga tidak
ditanya agamanya apa kan?
Tempat kita berpijak adalah
sejarah ruang panjang yang terbentuk dari bermacam pengetahuan serta
pengalaman yang kemudian melahirkan tradisi. Hal ini menjelaskan mengapa
setiap kampung dan kota unik, mulai dari asal-usul penamaannya, tokoh besar
yang dikenangnya, makanan khasnya, hingga dialek berbahasa.
Bagaimana dengan balita-balita
yang dititipkan itu? Faktor keamanan dan kebersihan sebetulnya adalah
komponen nilai jual paling penting. Bermimpi tentang keteguhan karakter dan
prestasi pendidikan pada tempat penitipan anak tentu boleh-boleh saja. Tapi,
masih banyak tempat lain untuk menitipkan harapan akan akhlak, yakni pada
pola pengasuhan orangtuanya sendiri, dan kelak perjalanan panjang pendidikan
di sekolah juga pandangan hidup bersama orang lain sebagai warga dunia.
Kecuali jika para orangtua itu
takut sejak balita bahkan bayi, anak-anak mereka akan dipropaganda hal-hal
berbahaya soal keimanan. Tapi, jelas saja, hal itu adalah ketakutan yang
berlebihan dan tidak perlu. Apa enaknya menjadi sama jika Tuhan saja sengaja
menciptakan manusia berbeda-beda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar