Kegaduhan
KPK versus Polri
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN
SINDO, 14 November 2017
KEGADUHAN sama artinya dengan
keributan, kekacauan, atau kerusuhan. Ini bukan istilah baru. Pun pula publik
sudah paham maknanya. Tak seorang pun menghendaki kegaduhan itu terjadi.
Pastilah ada upaya-upaya pencegahan maupun penyelesaian, bila kegaduhan
terjadi di luar harapannya. Suasana kehidupan damai, tenang, dan tenteram,
menjadi dambaan bersama, agar kehidupan berjalan lancar dan produktif.
Realitas empiris menunjukkan,
kegaduhan antara KPK versus Polri tidak pernah sirna. Dari satu kasus ke
kasus lainnya, kegaduhan kembali menyembul ke permukaan. Drama ”cicak versus
buaya” yang pernah menggemparkan negeri ini beberapa waktu lalu, kini
potensial terulang kembali, ketika Bareskrim Polri menerbitkan Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap dua pimpinan KPK, Agus
Rahardjo dan Saut Situmorang, terkait laporan Sandi Kurniawan. Riak-riak
kegaduhan itu sudah kasatmata.
Patut diapresiasi sikap bijak
Presiden Joko Widodo cepat merespons riak-riak kegaduhan tersebut. Beliau
meminta perkara yang menjerat Agus dan Saut dihentikan bila tidak berdasarkan
bukti. ”Jangan sampai ada tindakan-tindakan yang tidak berdasar bukti dan
fakta. Saya sudah minta dihentikan kalau hal-hal seperti itu, dihentikan,”
kata Presiden sebelum bertolak ke Vietnam di Pangkalan TNI Angkatan Udara
Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (10/11/2017).
Hikmah pelajaran macam apa yang
mesti ditarik oleh bangsa ini, mengapa ”perseteruan” antara KPK versus Polri
masih menyisakan ”titik-titik api”, yang sewaktu-waktu bisa membara kembali?
Pertama, mestinya semua pihak
sadar bahwa negeri ini berdasarkan pada hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan
semata. Indonesia yang kita cintai ini, adalah negara hukum. Secara
eksplisit, konstitusi telah menyuratkan hal tersebut. Telah jelas pula
diperoleh pemahaman tentang kaitan antara hukum dan kekuasaan. Amanat
konstitusi itu mestinya menjadi dasar dan pintu masuk penyelesaian setiap ada
kegaduhan antara KPK versus Polri. Tegasnya, kedua belah pihak diharapkan
tidak berpolemik dan berdebat soal perundang-undangan, ataupun perihal
kekuasaan masing-masing semata, tetapi berintrospeksi untuk mendudukan sikap
dan perilakunya itu sampai pada tataran konstitusi secara utuh, termasuk
kandungan nilai-nilai Pancasila yang terdapat di dalamnya.
Kedua, memahami kaitan antara
hukum dan kekuasaan, memang tidak semudah membalik tangan. Pemahaman bisa
sesat, bila diawali emosi, nafsu kekuasaan, atau kepentingan institusional.
Sikap emosional, perlu diredakan dulu, sebelum sampai pada suatu keputusan
tertentu. Kendali diri melalui pendayagunaan kalbu, pendayagunaan kecerdasan
spiritual, perlu dimaksimalkan. Amat disayangkan bila tokoh-tokoh yang diberi
amanat sebagai penegak hukum, kehilangan jati dirinya sebagai manusia
beradab, tidak berbudi luhur, tetapi mengumbar nafsu-nafsu kekuasaannya.
Jangan nodai negeri ini dengan sikap dan perilaku rasional tanpa moralitas
kebangsaan.
Ketiga, memang, kaitan antara
hukum dan kekuasaan di era modern, utamanya di era pascareformasi,
menunjukkan kompleksitas perbauran (bagai benang kusut), tidak mudah diurai.
Bahkan terkesan antara hukum dan kekuasaan saling menolak atau menihilkan.
Kajian sosiologi hukum memperlihatkan bahwa orde hukum sering gagal
mengendalikan kekuasaan. Kekuasaan secara laten dikembangkan oleh pihak-pihak
tertentu dengan ”selimut hukum”, melalui rekayasa hukum dalam bentuk
permainan-permainan bahasa (language game), permainan politik (politic game),
atau permainan citra (image game). Segala bentuk permainan itu merupakan
ekspresi dari upaya menundukkan lawan-lawannya. KPK, Polri, DPR, dan para
lawyers tampak semakin lihai berperan dalam berbagai bentuk permainan itu.
Keempat, praktik penggunaan
kekuasaan disertai kekuatan yang bertumpu pada logika linier, mekanistik, dan
positivistik, terus mencari legitimasi, betapapun tampil dalam bentuk
kekuatan kasar, banal, arogan. Sikap dan perilaku KPK, Polri, DPR, dan para
lawyers, tidak lain merupakan ekspresi dari penerjemahan kekuasaan dalam orde
hukum, agar tampil lebih halus, santun, elegan, walaupun isi dan motif
sebenarnya memaksakan kekuasaan itu sendiri.
Kelima, tidak jemu-jemunya diingatkan
perihal tesis kekuasaan dari Lord Acton bahwa ”kekuasaan itu cenderung korup
dan kekuasaan mutlak juga akan melakukan korupsi secara besar-besaran”. KPK,
Polri, DPR, dan lawyers diakui atau tidak merupakan institusi-institusi yang
kekuasaannya melimpah, sulit dikontrol pihak lain. Ini masalah tata Negara
serius. Dalam realitas demikian, kekuasaan itu tidak pernah netral, melainkan
potensial menjadi berkarakter negatif, yakni diarahkan untuk melumpuhkan
kekuasaan institusi lain. Demokrasi liberal yang didesain dengan rambu-rambu
check and balances, sering digunakan sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan
institusi lain. Nyatanya, balances itu
impian, sementara cekcok menjadi keniscayaan.
Pada akhirnya diingatkan, bahwa
kita berkeinginan membangun negeri ini sebagai negara kekeluargaan.
Nilai-nilai Pancasila dapat dirujuk sebagai dasar pijakannya. Dalam negara
kekeluargaan berdasarkan Pancasila, dipandang amat penting eksistensi, fungsi
dan posisi lembaga anti rasuah diperkuat, agar kehancuran negara karena
maraknya korupsi dapat dicegah. Semua pihak, perlu peduli agar kasus korupsi
e-KTP dan kasus-kasus korupsi lainnya, diproses hukum, tanpa pandang bulu,
siapa pun terlibat di dalamnya.
Ada pepatah, kehidupan itu
bagai roda berputar. Kegaduhan KPK versus Polri dapat diputar dan
ditransformasikan menjadi keteduhan, bila komitmen bernegara kekeluargaan
benar-benar diimplementasikan. Kita tunggu, kemampuan dan kemauan KPK, Polri,
dan para lawyers menjabarkan permintaan Presiden Joko Widodo perihal dihentikannya
kegaduhan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar