Hilangnya
Semar
Sindhunata ; Pemimpin Majalah Basis,
Yogyakarta; Kurator Bentara Budaya
|
KOMPAS,
06 November
2017
Tiga tahun pemerintahan
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dinilai telah memberikan
tingkat kepuasan yang lumayan tinggi bagi masyarakat. Namun, sukses itu
ternyata tidak serentak menghilangkan kegelisahan masyarakat. Tentu
kegelisahan itu tidak disebabkan pertama-tama karena pemerintahan Presiden Jokowi,
tetapi justru karena peluang-peluang demokrasi yang disalahgunakan secara
tidak bertanggung jawab oleh sementara kalangan.
Itulah latar belakang bagi
Bentara Budaya Yogyakarta dalam menjalankan program seni dan budayanya selama
September-Oktober 2017, menyongsong tiga tahun pemerintahan Jokowi-Kalla.
Programnya adalah pameran foto bertema Di
mana Garuda dan pameran lukisan serta pentas kesenian berjudul Hilangnya Semar. Garuda, simbol
kekayaan identitas bangsa, akhir-akhir ini seakan menghilang. Dalam pameran Di mana Garuda, para wartawan foto
yang tergabung dalam Pewarta Foto Indonesia menampilkan karya yang
menggambarkan bagaimana Garuda masih bisa ditemukan walau dalam
ketersembunyiannya yang dalam.
Hilangnya Semar memperlihatkan
keprihatinan serupa. Khusus di Jawa, Semar adalah simbol kebudayaan,
identitas, dan pamomong, yang selalu mendampingi manusia dalam suka dukanya.
Dengan Hilangnya Semar dilukiskan
bagaimana dewasa ini kebudayaan, identitas, dan pamomong itu menghilang.
Hilangnya Garuda dan Semar mengajak kita merenungkan kembali kegelisahan yang
akhir-akhir ini terjadi. Pertama-tama, kendati banyak kemajuan, dewasa ini
kita mudah merasa tidak terikat satu sama lain. Tiadanya keterikatan itu
membuat hidup jadi kurang nyaman, tidak terjamin, dan kurang bahagia.
Sebagian warga, lebih-lebih kelompok minoritas, malah merasa hidup dan
keberadaannya kurang diterima. Seakan mereka bukanlah saudara se-Tanah Air
dan sebangsa.
Sebagai tempat, Tanah Air itu
ada dan menampung kita. Namun, karena di tempat itu kita tak lagi merasakan
keintiman, keterikatan, kenyamanan, dan keamanan, kita seperti kehilangan
Tanah Air. Tanah Air itu bagaikan ibu, tempat kita ingin selalu kembali dan
rindu. Hilangnya Garuda dan Semar adalah simbolik ketika Tanah Air seperti tak
lagi bisa menjadi ibu. Sekarang, kita mudah menjadi serba gelisah. Mungkin
karena Semar sudah ditelan raksasa, seperti digambarkan dalam pameran seni di
Bentara Budaya itu. Raksasa itu adalah globalisasi yang menelan bulat-bulat hidup kita, lebih-lebih kaum kita yang
miskin dan terpinggirkan.
Bagi kaum yang terakhir ini,
globalisasi bukanlah keuntungan, melainkan kerugian. Dalam keadaan belum
siap, mereka sudah dipaksa masuk ke dalam globalisasi yang telah menjadi
sivilisasi modern. Padahal, seperti dikatakan sosiolog Zygmunt Bauman,
sivilisasi modern bukanlah jaminan manusia tak menjadi barbar, malah
sivilisasi bisa juga menyebabkan kebarbaran. Hal itu terjadi karena andalan
sivilisasi globalisasi adalah teknologi. Sementara, kata Bauman, dalam
teknologi tersembunyi risiko “adhiaphorisasi”. Maksudnya, karena teknologi,
manusia dijadikan indifferent, acuh tak acuh, tak peduli dan cuek dalam
perilaku moralnya.
Teknologi membuat semuanya jadi
netral. Akibatnya, keberadaan manusia pun bisa dianggap tak punya nilai
istimewa. Karena itu, manusia bisa begitu saja ditiadakan. Globalisasi
teknologi modern itu bisa menelan mentah-mentah
Semar sebagai simbol wong cilik. Itulah kiranya barbarisasi teknologi zaman
modern yang sedang melanda kita dewasa ini.
Teknologi yang netral terhadap
nilai hidup manusia dengan mudah memperalat manusia untuk menjadi barbar.
Tindakan barbar itu boleh kita lihat dengan paling jelas dalam kekejaman dan
kebrutalan aksi-aksi terorisme. Dalam fenomena itu tampak bagaimana teknologi
modern menggandeng fanatisme primitif untuk menjadi kekuatan superdestruktif
terhadap kemanusiaan. Kita gelisah karena barbarisme teroris ini juga sudah
mendatangi hidup kita. Dan, menyedihkan, karena lagi-lagi yang jadi alat dan
diperalat adalah kaum miskin, kurang pendidikan, dan terpinggirkan oleh arus
globalisasi.
Semar-semar palsu
Cuek dan tak peduli terhadap
kemanusiaan akibat kemajuan teknologi itu memang telah melanda Tanah Air
kita. Ibaratnya kita telah menjadi manusia batu. Hati kita membatu tak punya
perasaan. Di hadapan manusia batu ini, seorang Semar, personifikasi kearifan
dan kebijaksanaan, juga tak bisa berbuat apa-apa. Ia memberi tahu dan
menasihati, tetapi itu semua seperti angin berlalu buat manusia batu.
Akhirnya Semar pun hilang, bukan karena ia memang mau menghilang, melainkan
karena ia sudah tak lagi didengarkan dan dipedulikan. Kecuekan terhadap
kemanusiaan itu menjadi paling terwujud dalam diri politikus kita. Mereka tak
memandang rakyat dalam segala aspek manusianya yang utuh. Kemanusiaan rakyat
disempitkan hanya pada emosi, naluri primordial, dan sentimen mayoritas serta
agresi fanatisme keagamaan. Akal sehat, rasa kebersamaan, dan naluri
toleransi dikesampingkan. Ini semua dijalankan oleh politikus semata-mata
demi meraih kekuasaan, yang belum tentu membahagiakan rakyat.
Sementara rakyat sendiri memang
belum terlalu matang dalam menyadari dan mengolah kemanusiaannya secara utuh.
Maka, dengan mudah, mereka tersulut oleh provokasi politik yang membakar
emosi, naluri primordial, supremasi mayoritas, serta agresi fanatisme
keagamaannya. Kemanusiaan rakyat sungguh dimiskinkan oleh kepentingan
kekuasaan para politikus. Dan, rakyat sebagai endapan kebijaksanaan, guru
hidup berketetanggaan, gotong royong dan toleransi jadi menghilang. Itulah
tragika yang ingin digambarkan dengan hilangnya Garuda dan Semar.
Politikus-politikus mengerjakan
semuanya itu demi dan atas dasar kebebasan, yang diberikan oleh demokrasi. Namun, mereka
menyalahpahami kebebasan. Kebebasan digunakan sebagai alat kekuasaan, bukan
sebagai penyangga demokrasi. Demi alasan kebebasan, rakyat terus diprovokasi
untuk menggunakan kebebasannya, dengan melebih-lebihkan bahwa rakyat berhak
atas semuanya. Wacana kebebasan dipersempit menjadi “mana hakku” dan
“bagaimana aku memperoleh hakku”.
Itulah yang oleh filsuf Axel
Honneth disebut sebagai “patologi kebebasan”. Kebebasan demikian adalah
patologis karena berakibat menyempitkan manusia hanya sebagai “orang yang
berhak” dan melupakannya sebagai “manusia yang berkewajiban”. Memang apabila
manusia hanya disempitkan pada haknya, ia akan menjadi patologis buat
lingkungannya, tak peduli terhadap kesosialan, keterikatan, dan kewargaannya.
Situasi ini menjadi makin patologis jika wacana kebebasan dibumbui dengan
bahasa sentimen primordial yang bernada mengecualikan: “mana hakku sebagai
pribumi” dan “bagaimana aku harus meraih hakku sebagai pribumi”.
Politikus penyalah guna
kebebasan itu kini berkeliaran dalam jagat demokrasi kita. Mereka menarik
karena pandai membungkus dirinya dengan pencitraan yang mudah diterima
rakyat. Mereka memikat karena pandai menggunakan bahasa yang akrab dengan
rakyat. Mereka itulah “semar-semar palsu” yang digambarkan oleh pameran seni Hilangnya Semar. Semar memang figur
rakyat. Karena itu, dengan menjadi seperti Semar, mereka juga mudah diterima
rakyat.
Semar-semar palsu itu pandai
berkata bijak dan damai. Namun, kebijakan dan kedamaian itu hanyalah bungkus
untuk menyembunyikan tindakannya yang suka menyulut pertentangan dan
permusuhan. Mereka arif berkhotbah tentang kesederhanaan, tetapi dalam
tindakannya mereka penumpuk harta dan koruptor. Mereka itulah “Semar Mroyek”,
Semar yang bergelimangan uang karena proyek-proyeknya. Semar itu sesungguhnya
dewa rupawan bernama Ismaya. Ketika ia mroyek, Ismaya pun meninggalkan
dirinya. Semar hanya menjadi badan wadak belaka. Celakanya, kewadakan ini
justru diterima dengan mudah karena dewasa ini banyak warga masyarakat sudah
didangkalkan, diwadakkan dalam formalisme, ritualisme, dan materialisme
semata-mata.
Semar-semar palsu itu adalah
politikus-politikus bunglon. Dengan mudah mereka berganti wajah. Wajah atau
kepala mereka bisa berganti-ganti, tetapi badannya tetaplah Semar. Dengan
berbadan Semar, mereka tetap bisa diterima orang kebanyakan. Namun,
sebenarnya mereka menipu karena kepala mereka bukanlah kepala Semar. Itulah
lambang pribadi yang terbelah. Badannya proletar, tetapi kepalanya borjuis.
Badannya “kiri”, tetapi kepalanya “kanan”. Badannya “timur”, tetapi kepalanya
“barat”. Sesekali kepalanya “partai ini”, lain kali “partai itu”. Kepala kutu
loncat ini tak merasa bersalah karena mereka yakin badannya tetaplah Semar
yang merakyat. Mereka lupa rakyat lama-lama akan tahu bahwa mereka bukanlah
pribadi politik yang berintegritas.
Banyak Semar palsu sekarang
menjadi aktor politik demokrasi kita. Mereka merasa menegakkan demokrasi,
tetapi sesungguhnya mereka ancaman yang bisa meruntuhkan demokrasi. Di banyak
belahan dunia, akhir-akhir ini fakta politis memperlihatkan, demokrasi
sungguh terancam jika pemerintahan dan jabatan kenegaraan jatuh di tangan
politikus tak berintegritas yang mroyek dan korup. Parlemen juga diperlemah
apabila anggotanya terpisah dari keprihatinan dan keinginan rakyat. Seperti
yang terjadi pada kita, DPR merembuk dan memutuskan sesuatu, sementara rakyat
di tempatnya sendiri dan dengan caranya sendiri sudah memutuskan dan
menjalankan sesuatu yang berlawanan dengan rembukan dan putusan DPR. Itu
dengan mudah terbaca dalam lalu lintas media sosial yang begitu kritis dan
sinis terhadap kebijakan, langkah, dan kata-kata pejabat atau anggota DPR.
Keadaan demikian adalah tanda
bahaya bagi demokrasi, tepatnya demokrasi representatif yang kita miliki.
Soalnya, lama-lama rakyat tak percaya lagi kepada representasi
wakil-wakilnya. Mereka merasa keprihatinannya tak disalurkan dengan baik oleh
wakil-wakilnya. Kalau demikian, apa gunanya representasi mereka? Pertanyaan
ini adalah cikal bakal bagi munculnya gerakan populisme. Populisme itu mudah marak di negara-negara demokrasi yang
kuat, apalagi di negara yang baru belajar demokrasi seperti kita. Padahal,
kita tahu, populisme itu bahaya bagi demokrasi karena, bagi mereka, perantara
atau representasi sudah tidak relevan lagi. Mereka cenderung memangkas
perwakilan itu. Jelas, ini bisa berakibat pada anarki, apalagi jika dalam
situasi demikian muncul demagog-demagog populis yang pandai membakar nyala
populisme itu.
Dari hal di atas benarlah
adagium yang berkata, “demokrasi bisa mengubur dirinya sendiri”. Sebab, lawan
dari demokrasi tak datang dari “luar”, tetapi dari “dalam” dirinya sendiri.
Dan, lawan-lawan itu adalah aktor-aktor patologis demokrasi:
politikus-politikus yang tak bertanggung jawab, korup, dan tak berintegritas.
Dalam hal ini perlu kita ingat sejenak ejekan J Goebbels, demagog fasistis
rezim Nazi. Kata Goebbels, “Inilah
lelucon demokrasi: bagi musuh bebuyutannya, demokrasi menyediakan sendiri
senjata yang digunakan untuk membunuh dirinya sendiri.”
Sengkuni tobat
Menghadapi tahun politik
menjelang Pemilu dan Pilpres 2019, Presiden Jokowi kelihatannya meraba segala
kegelisahan, kekhawatiran, dan bahaya di atas. Karenanya, Presiden meminta
kita waspada dan tak membuat kegaduhan: “Masyarakat
butuh ketenangan. Masyarakat perlu kesejukan. Masyarakat memerlukan pemimpin
yang memberi semangat, syukur kalau bisa memberi inspirasi. Masyarakat perlu
itu. Bukan malah membuat masyarakat khawatir” (Kompas, 20/10/17).
Sesungguhnya, seperti ditemukan
para wartawan foto dan diungkapkan para seniman dalam pameran “Hilangnya Garuda dan Semar” itu,
kegaduhan itu tak ada di tingkat bawah. Para wartawan menunjukkan, Garuda
tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Garuda itu mewujud dalam
kegembiraan anak-anak yang bermain dan optimistis akan masa depannya, dalam
kegembiraan menyambut perayaan 17 Agustus, juga dalam perbuatan cinta kasih
dan tolong-menolong yang amat biasa dan sederhana. Sementara beberapa seniman
menggambarkan, Semar juga tidak hilang, kita bisa menemukannya asal kita
mencari dia di tengah kehidupan yang sederhana. Ia tersenyum di pasar ikan,
ia bekerja sebagai penyapu jalan, yang menyapu bukan dengan sapu lidi,
melainkan sapu persatuan.
Rakyat biasa juga bisa
mengambil hikmah justru dengan hilangnya Semar. Dalam pertunjukan wayang
kulit untuk menutup pameran di Bentara Budaya, digelar lakon Ilange Semar. Diceritakan, hilangnya
Semar membuat terang dan jelas mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia
tak bisa mengelak untuk diterangi cahaya terang itu. Bahkan, Patih Sengkuni,
tokoh culas dan provokator kerusuhan yang ulung, tak bisa tidak harus mengakui
kesalahannya. Ia tak bisa lagi menutupi kejahatannya. Ia tersiksa oleh
kejahatan itu. Maka, ia ingin bertobat. Alasan pertobatannya bukan lagi
moral, politik atau kekuasaan, melainkan kehidupan. Ia merasa sudah tua, tak
boleh lagi ia meneruskan kejahatannya. Kalau tidak, bagaimana ia
mempertanggungjawabkan semua perbuatannya ketika mati nanti.
Sengkuni akhirnya bertobat.
Mana ada Sengkuni bertobat? Ini sungguh melawan pakem wayang. Namun, malam
itu lakon wayang Ilange Semar
memang sengaja hendak dijadikan sindiran agar politikus kita juga mau
bertobat, seperti Sengkuni. Memang, seluruh perbuatan politik pun tak bisa
hanya dipertanggungjawabkan secara politik dan demi kekuasaan. Politik harus
dipertanggungjawabkan juga terhadap kehidupan, yang mau tak mau harus
berhadapan dan berakhir dengan kematian dan akhirat. Untuk itu, siapa pun
perlu bertobat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar