Alexis:
Antara Anies dan Ahok
Hersubeno Arief ; Jurnalis senior
|
REPUBLIKA,
02 November
2017
Keputusan Gubernur DKI Jakarta
Anies R Baswedan membatalkan izin hotel Alexis yang pernah disebut Ahok
sebagai “surga dunia,” membuat banyak
kalangan kaget, sekaligus kecewa.
Kaget, karena mereka tidak
menyangka Anies bakal berani melakukan sesuatu yang tidak pernah berani
dilakukan oleh Ahok apalagi Djarot.
Kecewa, karena framing yang mereka coba jejalkan melalui para pengamat dan
media bahwa Anies adalah gubernur yang
lemah, tidak tegas seperti Ahok, ternyata dengan segera, langsung
terbantahkan.
Bukan hanya Alexis yang
dibatalkan Anies. Cerita tentang pulau reklamasi tampaknya akan bernasib
sama. Lobi politik, kekuasaan dan uang, tekanan dari pemerintah pusat yang dilakukan oleh Menko
Maritim Luhut Panjaitan, dan sindiran Presiden Jokowi soal perlunya kepastian
hukum bagi dunia usaha, tidak membuat Anies-Sandi goyah.
Dua serangkai Anies-Sandi
dengan tegas menyatakan tidak akan
memberi izin Reklamasi 14 pulau yang
belum dibangun. Sementara untuk yang telah telanjur dibangun –Pulau C, D, dan
G – tetap dilanjutkan, karena tidak mungkin dibongkar, namun pemanfaatannya
bukan untuk tujuan komersial.
Alexis dan Reklamasi merupakan
pertaruhan besar bagi Anies-Sandi. Pembatalan Reklamasi bahkan termasuk
bagian dari 23 janji kampanye yang harus dipenuhi. Melihat banyaknya
kepentingan dan keterlibatan para taipan besar di Alexis dan Reklamasi,
banyak yang meragukan Anies-Sandi bakal berani mengeksekusinya. Ahok saja
tidak berani, konon pula Anies-Sandi.
Para pembenci (haters)
Anies-Sandi sejak awal menggoreng habis, Alexis dan Reklamasi. Mereka melihat
hal itu sebagai peluang besar untuk menjatuhkan kredibilitas keduanya.
Bila Anies-Sandi tidak berani mengeksekusi,
maka absahlah tudingan mereka bahwa Anies-Sandi adalah pasangan
gubernur-wakil gubernur yang lemah. Tidak seperti Ahok yang tegas dan berani
bertindak. Diferensiasi inilah yang sejak awal coba dijejalkan dalam memori
kolektif publik.
Sikap tegas Anies-Sandi yang
membatalkan Alexis dan menyusul pulau reklamasi, membuatnya semuanya menjadi
gamblang. “Nyali itu beda dengan nyaring.” Bersuara keras, berteriak dan
memaki-maki warga, tukang nantangin, kalau kata orang Betawi, bukan berarti
dia seorang pemberani yang bernyali. “Tegas, itu tidak sama dengan telengas.”
Semena-mena terhadap rakyat kecil,
tetapi lemah di hadapan para taipan,
bukanlah sifat yang tegas. Itu sifat yang telengas, kejam.
Penyesatan Informasi
Kaget, kecewa dan bahkan
bingung dengan ketegasan dan keteguhan sikap Anies-Sandi, haters ini mencoba
mengaburkan fakta, dan melakukan penyesatan informasi. Tidak diperpanjangnya
izin Alexis bukan karena ketegasan Anies-Sandi.
Di berbagai platform medsos beredar sejumlah
tulisan bahwa izin Alexis sudah tidak
diperpanjang sejak bulan September saat DKI Jakarta masih dipimpin Djarot.
Jadi Anies dianggap melakukan pembohongan publik.
Tulisan lain menyebutkan bahwa
tidak diperpanjangnya izin Alexis adalah berkat keberanian Kepala Dinas
Penanaman Modal DKI Jakarta Edy Junaedi. Menariknya figur Edy ini disebut
sebut sebagai pejabat yang dipilih, diandalkan dan mendapat pujian tinggi
dari Ahok.
Dengan begitu
kesimpulannya Alexis bisa ditutup
karena kejelian Ahok memilih seorang pejabat. Jadi semua itu adalah jasa
Ahok. Sungguh dahsyat.
Selain berupa tribute to Ahok,
tulisan tersebut juga mencoba mengadu domba Anies-Sandi dengan anak buahnya.
Sebagai kepala dinas, Edy Junaedi pasti tidak berani bertindak tanpa arahan
atau instruksi atasannya dalam hal ini Anies-Sandi. Apalagi untuk kasus
sebesar Alexis yang disebut-sebut di-backingi oleh sejumlah taipan dan
perwira tinggi.
Mereka lupa bahwa Ahok pernah
menyatakan tidak bisa menutup Alexis karena tidak ada bukti digunakan sebagai
tempat maksiat. Hal itu diperkuat oleh pernyataan seorang mantan staf Ahok
bahwa penutupan Alexis tidak disertai
bukti, dan hanya berdasarkan pemberitaan media. Sementara Anies menyatakan
mempunyai bukti-bukti lengkap. Anies bahkan mengaku punya catatan siapa saja
pelanggan Alexis, termasuk mereka yang berasal dari luar kota, lengkap dengan
nama-nama sopir taxi yang sering mengantar pelanggan kesana.
Pernyataan ini pasti membuat
ketar-ketir para pelanggan Alexis. Apalagi di medsos beredar luas nama-nama
publik figur yang selama ini
menjadi pelanggan Alexis. Mereka semua dikenal sebagai Ahokers.
Diantara nama yang disebut, ada penggiat
medsos, pengamat politik, anggota DPR, dan wartawan kawakan. Namun namanya medsos, informasi itu sangat
sulit dikonfirmasi, maupun dibuktikan kebenarannya.
Di medsos juga beredar secara
massif foto Alex Tirta yang disebut sebagai pemilik Alexis, duduk satu meja
dengan mantan Gubernur Djarot Syaiful Hidayat dan Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi
Marsudi. Foto ini agak sulit dibantah kebenarannya, hanya saja dalam konteks
dan acara apa, tidak dijelaskan.
Model penyesatan informasi, dan
membenturkan Anies-Sandi dengan berbagai pihak akan terus berlanjut.
Tujuannya jelas untuk mendiskreditkan dan men-downgrade Anies-Sandi.
Para pendukung Ahok ini
sekarang menantang Anies-Sandi untuk menutup tempat serupa dengan Alexis yang
menurut rumor –coba perhatikan diksi rumor yang mereka gunakan—banyak di
Jakarta.
Jangan Rang-Ngarang Taiye
Haters fanatik ini akan terus
bekerja mencari-cari celah kesalahan dengan target menjatuhkan Anies-Sandi di
tengah jalan. Di satu sisi mereka juga akan terus melaukan rebranding Ahok seperti terlihat pada tulisan tentang
Edy Junaedi dan Alexis.
Jangan kaget bila nanti
reklamasi 14 pulau tidak dilanjutkan, maka semua itu juga dapat terjadi
berkat keberanian Ahok, atau setidaknya karena keberanian seorang kepala
dinas pilihan Ahok.
Kalau meminjam gaya becanda
orang Madura “Gubernur DKI Jakarta itu sampai kapanpun ya tetap Ahok. Sementara Anies hanyalah
penerusnya.” Ha…ha..ha
Namanya juga penyesatan
informasi. Deception. Soal benar tidak faktanya, tidak penting. Yang penting
disebar terus secara massif, diulang-ulang, sampai orang bingung membedakan
mana yang benar, mana yang salah. Mana yang fakta, dan mana yang ilusi.
Hanya saja kalau boleh
menyampaikan saran, ada baiknya ketika membuat sebuah penyesatan informasi,
nasehat dari Sir Arthur Conan Doyle
perlu diperhatikan. Pengarang fiksi terkenal asal Inggris dan
menghasilkan serial kisah detektif Sherlock Holmes mengatakanl : “There is nothing more deceptive than an
obvious fact.” Tidak ada yang lebih menipu, daripada fakta yang jelas
nyata.
Kata orang Madura Jangan rang-ngarang, ta’iye! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar