72
Tahun Diskriminasi Kepercayaan
Sumiati Anastasia ; Lulusan University of Birmingham
|
JAWA
POS, 16 November 2017
Era jahiliyah atau kegelapan
yang penuh diskriminasi bagi segenap penganut aliran kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa negeri ini resmi diakhiri oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kita
sungguh gembira menyambut keputusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi
Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU
tentang Administrasi Kependudukan. Ini terkait aturan pengosongan kolom agama
pada kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP) para penganut aliran
kepercayaan.
Majelis hakim MK mengabulkan
seluruh permohonan. MK menyatakan kata “agama” dalam pasal tadi bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat
sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan. Dengan keputusan MK tersebut,
penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum sama dengan pemeluk enam
agama yang diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi
kependudukan.
Diskriminasi terhadap penganut
aliran kepercayaan selama 72 tahun usia negeri ini resmi tamat. Siapa pun
yang menjunjung tinggi demokrasi dan kesataraan, keputusan MK itu sungguh
sangat fenomenal. Bayangkan, selama ini negara tidak pernah sekalipun
mengakomodasi kepentingan penganut aliran kepercayaan. Ini mulai dari
pembuatan akte kelahiran, pernikahan, sampai saat maut menjemput.
Kedua pasal tadi, misalnya,
telah menyengsarakan penganut aliran kepercayaan yang melawan jadi calon
pegawai negeri atau polisi. Mereka terpaksa mengisi kolom agama dengan agama
yang tidak mereka yakini, sehingga ketika akhirnya diverifikasi, ada
ketidaksesuaian.
Praktik diskriminasi tersebut
jelas merupakan sebuah ironi tersendiri. Ketua MK, Arief Hidayat, sampai
mengungkapkan, “Agama impor kita akui. Masa agama para leluhur tidak kita
akui?”
Diskriminasi oleh pemerintah
dan negara pada para penganut aliran kepercayaan selama ini jelas merupakan
kekeliruan besar. Pihak-pihak yang ingin mempertahankan kekliruan itu, sama
saja hendak memutar jarum jam ke zaman batu. Seharusnya, sejak negeri ini
merdeka, perlakuan negara pada setiap penganut agama dan aliran kepercayaan
setara, bukan malah pilih kasih. Kita bersyukur kekeliruan itu sudah
diluruskan kembali oleh MK di era Presiden Jokowi.
Jika dikaji, sebenarnya
diskriminasi bagi penganut aliran kepercayaan berasal dari teks UU No 1 Tahun
1965. Di situ disebutkan, hanya 6 agama yang “resmi” diakui negara. Dalam
penjelasannya, disebutkan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Konghucu adalah agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia... .”
Belum Diakui
Negara belum mengakui secara
resmi agama-agama asli Nusantara seperti Parmalim (agama asli Batak), Sunda
Wiwitan (agama asli Sunda) atau Ilmu Sejati dan Pangestu (dua aliran
penghayat terbesar di Jateng dan Jatim) dengan sekitar 12 juta penganut.
Selama ini, aliran kepercayaan
tidak diakui negara karena tidak memenuhi kriteria sebagai agama sesuai
dengan definisi dalam UU No 1 Tahun 1965. Dalam regulisasi itu disebutkan,
agama diakui negara karena memiliki nabi, kitab suci, dan Tuhan definitif.
Definisi seperti itu, sebenarnya tidak diakui para pemikir seperti Emile
Durkheim. Dalam bukunya The Elementary Forms of the Religious Life (1912),
Emile menyebutkan bahwa agama adalah sebuah sistem terpadu yang terdiri dari
kepercayaan dan praktik ritual atau peribadatan yang menyatukan para
penganutnya dalam komunitas.
Sebagai anggota PBB dan
masyarakat dunia, diskriminasi pada para penganut aliran kepercayaan oleh
pemerintah jelas bertentangan dengan produk hukum yang telah disepakai
masyarakat internasional maupun perundangan lain negeri ini. PBB lewat
Resolusi GA 36/55 telah menetapkan sebuah deklarasi tentang Penghapusan Semua
Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan.
Lewat resolusi ini, tidak
seorang pun boleh dijadikan objek pemaksaan. Kebebasan setiap warga negara
untuk meyakini satu agama atau kepercayaan tidak boleh menimbulkan kerugian
atau diskriminasi baik dilakukan negara, lembaga, kelompok, atau individu
karena agama atau kepercayaannya.
Resolusi itu tentu senada
dengan amanah konstitusi. Dalam UUD 45 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.” Dalam Pasal 28E
tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya... (2) Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Selama 72 tahun, para penghayat
menanggung diskriminasi negara dengan diam dalam kegetiran dan kepasrahan.
Apalagi mayoritas penganut aliran kepercayaan memang tidak pernah reaktif
dalam menyikapi setiap bentuk tekanan atau perlakukan diskriminatif. Mereka
sungguh cinta damai dan amat toleran. Bahkan leluhur mereka membiarkan setiap
agama dari luar bisa tumbuh subur di sini.
Keputusan MK jelas fenomenal
karena sesuai dengan cita-cita demokrasi yang hendak dibangun bersama, yakni
menjunjung kebebasan sipil dan tidak ada satu kelompok pun dipinggirkan,
apalagi didiskriminasi. Aneh sekali, selama 72 tahun lebih, kita malah
mendiskriminasi kelompok penganut aliran kepercayaan. Ini jelas sebuah
kontradiksi.
Fareed Zakaria, dalam The
Future of Freedom (2004) menyebutkan, pemerintahan yang dipilih secara
demokratis, sudah seharusnya menjamin tegaknya kebebasan sipil. Ini terutama
kebebasan beragama dan tidak beragama. Andai ada penyimpangan, menjadi tugas
moral setiap pejuang demokrasi dan kebebasan sipil untuk bersuara. Dalam
konteks ini, kita harus mengapresiasi perjuangan panjang Nggay Mehang Tana,
Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim yang menggugat dua pasal tadi
ke MK.
Semoga pascakeputusan MK ini,
tidak ada lagi diskriminasi, khususnya terkait administrasi kependudukan.
Kiranya pihak-pihak yang keberatan atas langkah MK, tidak akan menghidupkan
lagi diskriminasi bagi penganut aliran kepercayaan. Jangan lupa, agama atau
kepercayaan adalah bagian utuh dari hak asasi manusia.
Kita hargai pemerintah yang
tunduk dan siap menindaklanjuti keputusan MK. Negara wajib melindungi hak
setiap penganut agama atau aliran kepercayaan, bukan malah terus
mendiskriminasi dan memarjinalisasi. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi
rumah yang ramah bagi setiap warganya. Tidak ada lagi rakyat terdiskriminasi
gara-gara menganut agama atau aliran kepercayaan tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar