Kejahatan
Akademis
Saifur Rohman ; Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS,
12 Oktober
2017
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda,
akhirnya mencabut penghargaan kepada seorang WNI kandidat doktor (5/10/2017).
Sebagaimana dituangkan dalam SK/029/KEPPRI/IX/2017, KBRI
menarik kembali penghargaan intelektual karena terjadi ”dinamika di luar
praduga dan itikad baik”. Sebelumnya, anugerah diberikan karena pelaku
dianggap memiliki prestasi menakjubkan dalam temuan ilmiah dan teknologi
antariksa.
Kasus ini menambah panjang daftar kejahatan di bidang
akademis. Dimulai dari karya tulis pesanan, gelar akademik abal-abal,
malapraktik pembelajaran, rekayasa teori dan data, demam jurnal
internasional, kuliah instan, penjiplakan, dagangan seminar, hingga isu gelar
profesor jalan pintas. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam dunia akademis
kita? Bagaimana penanganan ke depan dalam kerangka pengembangan nilai-nilai
ilmiah berkarakter di Indonesia?
Akademisi prosedural
Dalam etika akademis, kesalahan di dunia ilmiah bukan hal
tabu. Namun, itu bukan berarti sama dengan kebohongan. Apabila kesalahan itu
mengacu pada pernyataan yang tidak sesuai prosedur, kebohongan mengacu pada
pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta. Itulah kenapa ”kesalahan karena
alasan ilmiah” cukup mengacu pada
kesalahan pembuktian dan kesalahan penafsiran. Misalnya bukti tidak cukup
sehingga salah menyusun simpulan atau referensi kurang sehingga salah teori.
Sementara itu, berbohong secara ilmiah mengacu pada
”kesalahan yang disengaja” terhadap bukti dan teori. Bukan karena tidak ada
bukti dan teori, melainkan memang sengaja ditutupi. Contoh, dalam kegiatan
survei publik, institusi penelitian sengaja menghilangkan data tertentu untuk
memenuhi simpulan yang terlanjur dibuat. Atau sebaliknya, peneliti tidak
menggunakan teori yang tepat sehingga menghasilkan pernyataan hanya untuk
memenuhi kepentingan individu atau kelompok.
Sebetulnya rekayasa teori dan data tidak sepenuhnya
bohong. Sebab, peneliti membuat pernyataan yang didukung sebagian fakta.
Meski begitu, tindakan itu tak hanya
salah, tetapi juga merupakan praktik
kejahatan dalam dunia ilmiah. Jika direfleksikan terhadap fakta yang berkembang
akhir-akhir ini, kejahatan yang serius dalam dunia akademik tidak mendapatkan
penanganan yang memadai. Hal itu sekurang-kurang karena empat hal.
Pertama, sanksi atas kejahatan akademik tidak memberikan
efek jera. Suka atau tidak, penanganan atas kasus itu cukuplah melalui sanksi
administratif. Dalam banyak kasus, seorang profesor yang terbukti menjiplak
karya orang lain hanya ”pindah kerja” ke satuan pendidikan lainnya. Sementara
gelar tertinggi dalam dunia akademik itu masih tetap disematkan di depan
namanya.
Kedua, kaum akademisi cenderung membela institusinya
sebagai penyelenggara pendidikan yang memiliki integritas terhadap aktivitas
ilmiah. Tanpa ada upaya introspeksi, kaum akademisi cenderung menanggapi
dengan membangkitkan semangat sektarian yang diawali dengan kalimat ”aku
bangga menjadi alumnus Z”. Sebagai contoh, kasus penangkapan dosen makelar
skripsi oleh aparat di sebuah universitas telah ditanggapi oleh birokrat
kampus sebagai ”kesalahan prosedur fotokopi”. Untuk menjamin integritas dan
citra, mereka berbalik menuntut verifikasi terhadap aparat.
Ketiga, dunia akademik masa kini ditandai dengan prosedur
administratif atas nama penjaminan mutu perguruan tinggi. Hasilnya, nilai
baik untuk perguruan tinggi ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas
lulusan. Gelar akademik jatuh pada persoalan prosedur. Sekurang-kurangnya
prosedur itu tampak dalam proses, hasil, dan bukti ilmiah. Dalam proses
pembelajaran, misalnya, setiap satuan kerja institusional dituntut menyusun
mekanisme pembelajaran yang didasarkan target course learning outcome (CLO).
Dalam profil lulusan, pemerintah telah menetapkan standar
lulusan berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) melalui
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang KKNI. Dalam praktik penulisan
karya ilmiah, setiap institusi memanfaatkan perangkat pemrograman tertentu
untuk mengecek dugaan penjiplakan. Fakta itu membawa iklim akademis pada
dunia prosedural. Pendeknya, dunia akademik
hanya ditunjukkan oleh nama institusi pendidikan tinggi dengan
akreditasi A, pejabat kampus berpangkat profesor, dan setumpuk dokumen yang
disebut karya tulis lolos program jiplakan di perpustakaan.
Kebanggaan semu
Keempat, prosedur itu semakin menunjukkan bahwa pemerintah
tidak paham hakikat keilmiahan sebagai pilar kebenaran dalam pengembangan
nilai-nilai kebudayaan. Pencabutan penghargaan yang telanjur diberikan adalah
bukti sikap yang terburuburu terhadap ”pencapaian akademis” seseorang tanpa
penelusuran yang memadai.
Padahal, jiak dilihat kronologinya, pelaku mengumumkan
”prestasinya” dalam akun media sosialnya tentang hadiah 15.000 euro (sekitar
Rp 238 juta) dari lomba-lomba riset teknologi mt&v-space agency dunia di
Jerman pada 2017. Hal itu dibuktikan dengan foto dirinya yang memegang poster
berukuran 75 cm x 40 cm.
Dalam poster tertulis namanya dan jumlah hadiah yang
diperoleh. Melalui sejumlah wawancara, dia juga mengaku sedang mengerjakan
wahana peluncur satelit (satellite launch vehicle/SLV). Selain itu, dia
juga sedang mengembangkan teknologi
pesawat tempur generasi keenam, yakni Euro Typhoon di Airbus Space and
Defence menjadi Euro Typhoon N. Prestasinya ditopang oleh latar pendidikan
sarjana di Tokyo dan pendidikan pascasarjana di Belanda. Informasi tersebut
sempat disiarkan dalam program Mata Najwa di sebuah televisi swasta.
Belakangan diketahui, pada 7 Oktober 2017 dinyatakan bahwa
semua informasi tersebut dinyatakan palsu oleh pelaku. Atas desakan lembaga
swadaya masyarakat, dalam surat permohonan maafnya, dia menyatakan telah membuat
pernyataan melebih-lebihkan di luar kompetensinya. Dia sendiri lulusan
sarjana dari perguruan tinggi swasta di Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan
ke Belanda atas program pemerintah. Adapun bidang studi yang ditekuni bukan
teknologi satelit dan pengembangan roket, melainkan interactive intelligent
di Technische Universiteit, Delft, Belanda. Poster hadiah adalah rekayasa
gambar tempel dan manipulasi wajah bahagia.
Faktor-faktor di atas menunjukkan adanya kesalahpahaman
pemerintah terhadap strategi memajukan kultur akademik di Indonesia.
Pemberian penghargaan itu bisa dibaca secara terbalik melalui sikap
pemerintah terhadap hukuman. Artinya, sepanjang kejahatan ilmiah hanya
melihat sebagai kesalahan prosedur maka sebetulnya pemerintah tidak pernah paham
cara menghargai intelektual dengan semestinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar