Analogi,
OTT, dan Fungsi KPK
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Universitas
Padjadjaran (Unpad); Expert UNODC untuk UNCAC 2003
|
KORAN
SINDO, 11 Oktober 2017
Artikel Prof Edward OS Hiariej (Prof Eddy) sebagai respons
artikel saya di KORAN SINDO 5 Oktober 2017 mencantumkan empat variabel.
Pertama, tertangkap tangan dibedakan dengan penjebakan.
Kedua, percobaan dalam konteks hasil dari OTT.
Ketiga, analogi merupakan cara yang bersangkutan membaca
peristiwa hasil OTT.
Keempat, dengan percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal
53 KUHP.
Mengenai larangan analogi, saya tidak akan kupas lebih
jauh karena dalam buku Prof Eddy sen diri sudah cukup jelas terdapat tiga
golongan pendapat, dan pendapat yang menolak (Moeljatno, Simons, Van Hamel,
Van Bemmelen, Van Hattum, dan Remmelink) lebih banyak dari yang menerima
analogi (Rolling, Pompe, dan Jonkers), dan golongan yang tidak jelas
(Hazewinkel Suringa dan Vos).
Intinya tentang analogi jika dalam penerapan hukum
(undang-undang) dilarang, sedangkan dalam penjelasan undang-undang boleh
saja. Namun, fokus diskusi saya dan Prof Eddy tentang penerapan UU KPK 2002
bukan penjelasan ketentuan UU KPK terkait pelaksanaan OTT dalam konteks
penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU KPK.
Prof Eddy menyatakan dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum
Pidana (hlm 120):
Pertama, dalam konteks hukum pidana nasional, penerapan
analogi hanya di perbolehkan dalam rangka menjelaskan undangundang.
Kedua, masih dalam konteks hukum pidana nasional, analogi
hukum tidak diperkenankan karena akan menimbulkan perbuatan pidana baru yang
jelas bertentangan dengan asas legalitas.
Ketiga, dalam konteks penegakan hukum, analogi untuk
menjelaskan undang-undang ataupun menimbulkan perbuatan pidana, baru
diperbolehkan.
Prof Eddy sendiri tidak berpendapat atau tidak mempunyai
pendapat sendiri tentang analogi; apakah menerima atau menolak. OTT sebagai
bagian pelaksanaan penyelidikan-jelas merupakan penerapan UU KPK, telah
ditafsirkan Prof Eddy sebagai bentuk percobaan ketika peristiwa tidak terjadi
karena “digagalkan dengan penjebakan” oleh KPK sehingga je las merugikan
calon tersangka/terdakwa.
Penerapan analogi sejujurnya harus tidak merugikan
tersangka/terdakwa. Moeljatno se pendapat dengan Van Bemmelen dan Van Hattum
membolehkan analogi terhadap ketentuan pidana tertulis yang tidak didasarkan
pada suatu kaidah yang menentukan dapat tidak dipidananya seorang pelaku
pelanggaran (Prof Eddy, ha laman 112).
Penafsiran Prof Eddy perihal OTT KPK dan hasilnya
merupakan delik percobaan (Pasal 53KUHP) atau merupakan perbuatan pelaksanaan
yang digagalkan KPK dengan sengaja dan direncanakan terlebih dulu sehingga
perbuatan permulaan pelaksanaan oleh calon tersangka jelas diarahkan
(digiring) sehingga merupakan tindak pidana terlepas dari gagalnya tindak
pidana tersebut karena memang sengaja digagalkan OTT KPK.
Selain itu, menurut Prof Eddy, peristiwa penangkapan dalam
OTT membuktikan telah terjadi percobaan tindak pidana dan merupakan delik
selesai sesuai UU Tipikor. Pendapat saya bukan pada peristiwa tindak pidana,
melainkan pada alas hukum dan cara OTT KPK selama ini. Prof Eddy memasukkan
OTT sebagai bagian dari penyelidikan didahului dengan pengintaian yang dia
namakan peker jaan intelijen, dan sejalan dengan asas legalitas penulis
tegaskan bahwa penafsiran tersebut keliru karena UU KPK tidak membolehkan
kegiatan intelijen kecuali untuk tindak pidana narkotika (BNN) dan terorisme
(BNPT-Densus Antiterorisme).
Jika tafsir Prof Eddy tentang OTT dijadikan rujukan maka
secara jelas dan transparan Prof Eddy berada pada golongan yang menerima
analogi dalam sistem hukum pidana Indonesia, sekalipun posisi Prof Eddy dalam
konteks analogi tidak jelas.
Apakah pro atau kontra, tetapi demi untuk kepentingan, KPK
“mendadak” menerima ana logi untuk menjelaskan undang-undang (halaman 120
buku Prinsip- Prinsip Hukum Pidana)? *** Fokus diskusi sampai dengan hari ini
pada penerapan Undang-Undang KPK (hukum pidana formil) cc OTT yang menurut
penulis tindakan KPK tidak sah dan cacat hukum.
Penulis yakin dan percaya pada integritas keilmuan seorang
almarhum Prof Moeljatno yang secara tegas dan jelas menempatkan
dirinya—menurut Prof Eddy (murid almarhum) sendiri— berada pada posisi
menolak analogi. Penulis sependapat dengan enam ahli hukum pidana termasuk
pendapat almarhum Prof Moeljatno bahwa analogi dalam penegakan hukum dapat
merugikan kepentingan seseorang calon tersangka.
Padahal, kepentingan ini seharusnya wajib dilindungi
sesuai amanat Bab XA Konstitusi UUD 1945, da ripada sebaliknya
mengkriminalisasi hak hidup dan kemerdekaan bergeraknya yang dilakukan tanpa
ada risih, malu, dan bahkan bangga telah melanggar hak asasi seorang warga
negara Indonesia, bahkan seorang pejabat tinggi negara.
Apakah enam kali pembatalan status tersangka KPK dalam
perkara praperadilan oleh PN Jaksel belum cukup bukti yang menunjukkan bahwa
sekaliber KPK, termasuk pimpinan dan penyidik KPK yang katanya “independen
segala-galanya” (tafsir keliru dan sesat), bisa berbuat salah yang
mengakibatkan nasib dan kehidupan seseorang telah”dirampas” selama kurang
lebih 2-5 bulan, bahkan ada yang lebih dari satu tahun berada dalam
“cengkeraman kuku” KPK? Bagaimana pertanggung jawaban publik yang wajib
disampaikan KPK sesuai dengan Pasal 20 UU KPK dengan lima asas kepemimpinan
KPK (Pasal 5 UUKPK) lebih khusus per tang gungjawaban KPK terha dap istri,
anak-anak, dan keluarga calon tersangka/tersangka/terdakwa? Masalah ini di
perparah lagi dengan temuan Pansus Angket KPK yang telah dibuka kepada
publik, dan penulis percaya keterangan saksi-saksi di Pansus Angket KPK.
Penulis tidak pernah merasa dan bahkan menyebutnya
analisis parsprototo; persepsi Prof Eddy saja karena penulis memahami bahwa
tafsir tersebut bukan tafsir hukum (hukum pidana), melainkan tafsir
sosiologis.
Terkait generalisasi, penulis menyampaikan contoh bahwa
praktik penjebakan bukan hanya terjadi pada KPK Jilid IV, melainkan juga
sejak KPK Jilid I alias telah dijadikan preseden yang dianggap benar,
walaupun tidak benar secara hukum formal.
Soal tertangkap tangan, Prof Eddy menjelaskan sebagaimana
telah dicantumkan dalam Pasal 1 angka 19, dan telah memenuhi asas lex certa
dan memang seharusnya dibaca seperti apa yang dituliskan di dalam ketentuan
tersebut, tidak boleh dilebihkan ataupun dikurangi.
Prof Eddy telah menguraikan unsurunsur dari perbuatan
tertangkap tangan, dihubungkan dengan mengutip putusan MA AS 1932, dalam
kalimat, “sesuatu dianggap penjebakan bila ada tindakan aktif dari penyidik
untuk membuat seseorang melakukan kejahatan”; a law enforcement officer’s inducement of a person to commit a crime,
for the purpose of prosecution (Black’s law dictionary, 1996, page 225).
Ternyata terdapat empat kasus terkenal di dalam praktik
yurisprudensi MA AS, dan dari keempat perkara terkemuka ter sebut sebagian
terbesar berpihak pada pendekatan objektif (objective approach) yang melarang tindakan petugas (polisi)
melakukan pembujukan yang berlebihan (overreaching
inducement) terlepas dari apakah pelaku sesungguhnya terindikasi
melakukan kejahatan.
Pendekatan objektif mencegah seseorang warga yang baik,
dengan tindakan petugas tersebut yang melakukan pembujukan berlebihan,
menjadi pelaku kejahatan. Jika calon tersangka dapat membuktikan sebaliknya
dari tuduhan maka yang bersangkutan harus dibebaskan terlepas dari apakah
yang bersangkutan sedang mempersiapkan atau hendak melakukan kejahatan (Encyclopedia of Criminal Justice, 1983).
Penulis sependapat dengan pendekatan objektif karena
penyadapan merupakan “the intrusion of
the right to privacy“ yang dilindungi penuh baik di dalam Konstitusi AS
maupun UUD 1945. Penulis berpendapat bahwa KPK telah mempraktikkan
serangkaian proses mulai penyadapan, pengintaian (ontel, bahasa KPK),
penggiringan seseorang menjadi calon tersangka, termasuk opini publik,
kemudian dilakukan penangkapan termasuk penjebakan yang diharamkan.
Cara tersebut telah dilakukan dalam kasus suap
Probosutedjo, MWK, Wali Kota Batu ER, oknum kajari Pamekasan, dll. Apalagi UU
KPK 2002 tidak mengatur secara eksplisit pengintaian (interdiction).
Dalam konteks ini, Prof Eddy mengemukakan pertanyaan
apakah sesuatu yang tidak diatur secara mutatis mutandis dilarang atau
ilegal? Pertanyaan Prof Eddy mengingatkan penulis pada penegakan hukum masa
Orde Baru di mana seorang pejabat tinggi hukum mengajukan pertanyaan yang
sama untuk membenarkan tindakan aparaturnya yang tidak berdasarkan ketentuan
UU (abuse of power) semata-mata demi pemegang kekuasaan bukan demi melindungi
hak asasi anggota masyarakat.
Prof Eddy dalam kaitan ini juga menyatakan antara lain,
“harap diingat bahwa penegak hukum yang melakukan penyelidikan/penyidikan,
pada hakikatnya juga melaksanakan fungsi intelijen dalam penanganan suatu
kasus” dengan mengambil contoh, kepolisian dan kejaksaan; akan tetapi, tidak
mengambil contoh UU KPK yang menjadi fokus diskusi dengan penulis.
Menutup soal pengintaian, Prof Eddy menyatakan pengintaian
oleh KPK dimasukkan dalam monitoring dan hal yang wajar dilakukan dalam
proses penyelidikan/ penyidikan. Prof Eddy lupa menyebutkan pasal dalam UU
KPK yang mengaturnya jika masih berpegang pada asas legalitas.
Lagi pula, fungsi intelijen telah diatur dalam UU
Intelijen yang hanya berlaku untuk kepolisian, kejaksaan, BIN, BAIS, BNN, dan
BNPT; tidak untuk KPK. KPK lembaga penegak hukum independen bukan lembaga
intelijen jelas beda besaran tara kedua lembaga tersebut.
Prof Eddy menyinggung RKUHAP, hal tersebut masalah lain
dan bukan fokus diskusi, dan juga belum diberlakukan sampai saat ini. Putusan
MK RI sudah jelas dan tegas bahwa penyadapan harus dilakukan dengan dasar
suatu UU bukan PP, perpres atau bahkan standard and operating procedure (SOP)
yang diterbitkan dengan peraturan pimpinan KPK dengan pertimbangan bahwa
penyadapan terkait the right to privacy yang dilindungi UUD 1945 (pasal 28 g
ayat (1)).
Fokus diskusi penulis dan Prof Eddy tentang penerapan UU
KPK dalam hubungannya UU Tipikor dan KUHAP. Sesungguhnya ada masalah besar
yang belum disentuh dalam diskusi dan penting serta perlu dipahami baik oleh
ahli hukum pidana dan praktisi hukum, terutama pimpinan/pegawai KPK.
Bahwa UU KPK telah memberikan mandat lebih kepada pimpinan
KPK berbeda dengan Polri dan kejaksaan; kelebihannya adalah tugas dan
wewenang KPK selain penindakan juga koordinasi dan supervisi, pencegahan,
monitoring, dan evaluasi terhadap kementerian/ lembaga (K/L).
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU KPK dinyatakan bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,
supervisi, monitoring, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat ber dasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal aquo mempertegas dan mengingatkan KPK bahwa tugas
penindakan hanya salah satu dari sekian tugas KPK berdasarkan UU KPK. Dalam
Penjelasan Umum UU KPK telah ditegaskan KPK memiliki fungsi “trigger
mechanism“ yang menempatkan KPK adalah counter-partner kepolisian dan
kejaksaan.
Namun yang terjadi adalah, KPK telah menempatkan dirinya
sebagai kompetitor terhadap kepolisian dan kejaksaan di mana sering kasus
dengan nilai kerugian negara jauh di bawah satu miliar rupiah. Begitu juga
pihak swasta telah ditetapkan tersangka tanpa melibatkan penyelenggara
negara; terjadi dalam praktik KPK.
Penjelasan umum UU KPK juga menegaskan bahwa KPK tidak
memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Pertanyaan saya adalah:
Pertama, mengapa KPK tidak menerapkan tugas dan wewenang
(prioritas) sesuai Pasal 6 UU KPK, yaitu koordinasi dan supervisi serta
pencegahan? Mengapa ditunggu sampai terjadinya suatu tindak pidana? Hal ini
disebabkan di dalam UU KPK, tugas pencegahan dan penindakan berhubungan satu
sama lain yang diatur dalam satu pasal saja; tidak dalam dua pasal terpisah
dan tugas korsup, bukan juga alternatif penindakan.
Kedua, apakah yang menjadi dasar KPK melakukan penangkapan
melalui OTT; sprint lid, sprint dik atau surat tugas pimpinan KPK; dan dapat
dipastikan ketika terjadi penangkapan dalam OTT KPK, KPK belum memiliki
sekurang-kurangnya dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan
tersangka, dan satu hari kemudian yang bersangkutan ditetapkan sebagai
tersangka dan dilakukan penahanan.
Bagaimana dengan tenggat waktu antara sprint lid ke sprint
dik, yang memerlukan tenggat waktu tujuh hari, termasuk gelar perkara oleh
pimpinan KPK sampai diterbitkan SPDP? Ketiga, jika KPK tidak dapat
menjelaskan dari aspek hukum pidana tindakan tersebut, tentu ada masalah
mengenai “perampasan kemerdekaan bergerak” atas orang yang terhadapnya
dilakukan penangkapan.
Dalam konteks ini, KPK selalu berdalih telah ada SOP
internal untuk melaksanakan tindakan tersebut. Akan tetapi dalam kasus
praperadilan SN, terbukti hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan hukum
hakim Cepi membatalkan penetapan status tersangka SN.
Dalam kasus praperadilan atas nama SN, bahkan SOP pimpinan
KPK sendiri No 01/23/ 2008, juga telah dilanggar pimpinan KPK. Penulis
berpendapat SOP internal KPK sesuai dengan kewajiban KPK bertanggung jawab
kepada publik. Selama ini dalam praktik, KPK selalu “menyembunyikan” SOP ter
sebut dengan alasan “kerahasiaan” dan penulis ber pendapat tidak dapat
dibenarkan karena terkait hak asasi tersangka.
Merunut uraian penulis di atas, tampak bahwa kisah OTT KPK
telah menimbulkan banyak masalah yang mendasar, (pertama) yaitu soal ketidak
wenangan KPK melaksanakan “inter diction“ dan “entrapment“.
Kedua, dasar hukum “penangkapan disertai penetapan
tersangka dan penahanan” selama dan pasca OTT.
Ketiga, bukti permulaan yang cukup ketika akan, sedang,
dan pasca penetapan tersangka dalam proses “OTT”.
KPK sebagai lembaga pe negak hukum masih terikat
prinsipprinsip hukum pidana universal, “due process of law“, “presumption of
innocence“, dan “evidentiary rules“ termasuk “ex clusionary rules of
evidence“, KPK berbeda dengan lembaga inteli jen sehingga tidak ada sekecil
apapun tindakan KPK yang boleh disembunyikan dari pengawasan publik, dan cara
tersebut merupakan langkah pem benaran pelanggaran hu kum dengan menyesatkan
masyarakat.
Di sinilah fungsi pen awasan DPR RI melalui Pansus Angket
KPK menjadi sangat penting dan strategis. Jika UNODC mengetahui fakta KPK
telah melanggar prinsip-prinsip universal tersebut di atas, penulis yakin
bahwa gelar “best practices“ KPK
akan di cabut.
Karena di dalam UNCAC 2003 yang diratifikasi UU RI No mor
7 Tahun 2006 telah ditegaskan antara lain, “acknowledging the fundamental principles of due pro cess of law in
criminal pro ceed ings and in civil or administrative pro ceedings to
adjudicate property rights“.
Hal ini berarti pemberantasan korupsi harus sesuai standar
internasional dan ha rus mematuhi standar perlakuan berdasarkan perlindungan
hak asasi tersangka yang diakui universal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar