Selasa, 11 April 2017

JKN Mematikan Swasta

JKN Mematikan Swasta
Hasbullah Thabrany  ;   Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (CSSUI); Konsultan Dewan Jaminan Sosial Nasional–Pandangan Pribadi
                                                        KOMPAS, 08 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memasuki tahun keempat dengan gonjang-ganjing kebangkrutan BPJS Kesehatan dan matinya JKN. Selama tiga tahun BPJS Kesehatan defisit lebih dari Rp 18 triliun.

Manajemen buruk, kecurangan dokter dan rumah sakit (RS), kecurangan peserta, dan sebagainya sering menjadi tudingan. Ketidakterbukaan BPJS menambah kecurigaan banyak pihak. Padahal, sebagai badan hukum publik, BPJS harus transparan. Manajemen BPJS pun kalap dengan membuat aturan waktu tunggu, denda pelayanan, dan upaya lain untuk mengurangi defisit. Upaya-upaya yang tak sesuai dengan tujuan utama JKN.

Kabinet Kerja mendapat berkah dari JKN. Kepuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah dalam bidang kesehatan di atas 65 persen. Kini, 175 juta orang telah menjadi peserta JKN. Namun, sekitar separuhnya tak menggunakan haknya ketika perlu rawat jalan RS. Penduduk kelas menengah atas dan banyak pegawai negeri, pejabat yang membuat aturan JKN, tak menggunakan JKN. Mereka lebih memilih membayar sendiri atau membeli asuransi kesehatan tambahan untuk mereka gunakan.

Bahkan, BPJS Kesehatan pun membeli asuransi tambahan swasta untuk pegawainya. Hal itu merupakan indikasi layanan JKN tak memuaskan. Namun, BPJS Kesehatan mengklaim kepuasan peserta lebih dari 75 persen. Klaim yang bias karena sampel survei hanya dilakukan pada peserta yang pernah menggunakan.

Meskipun lebih dari 1.000 RS swasta telah bekerja sama dengan BPJS, pemantauan dan laporan publik menunjukkan banyak akal-akalan RS. Pasien peserta JKN mendapat diskriminasi, bahkan di RS milik pemerintah. Banyak indikasi yang menunjukkan bahwa sebenarnya RS setengah hati melayani peserta JKN.

Waktu kunjungan yang dibatasi pagi dan hari kerja saja, pembatasan kuota pasien JKN, dan pelayanan lab/radiologi pasien JKN sebagian per hari, memaksa pasien JKN bolak-balik menghabiskan waktu dan biaya transpor. Semua itu dilakukan fasilitas kesehatan karena bayaran BPJS di bawah harga keekonomian. Selain itu, terdapat diskriminasi besaran bayaran antara fasilitas kesehatan milik pemerintah dan milik swasta.

Bayaran fasilitas kesehatan

Diskriminasi bayaran kapitasi dan CBG (casemix based groups) terjadi sejak 2014. Bayaran kapitasi adalah pembayaran borongan untuk layanan dokter umum yang mencakup konsultasi, pemeriksaan lab, dan obat. Sejak 2014, besaran kapitasi kepada dokter umum/klinik swasta tidak berubah, yaitu Rp 8.000 per orang per bulan (POPB). Sementara inflasi selama empat tahun sudah hampir 20 persen.

Bidan praktik swasta juga dibayar hanya sekitar separuh dari tarif persalinan rata-rata pada 2013 sampai sekarang. Di tengah jalan, pemerintah dan BPJS menambah layanan yang harus ditanggung dokter dan klinik. Jumlah peserta kapitasi di dokter umum atau klinik swasta relatif jauh lebih sedikit.

Bayaran kapitasi ke puskesmas hanya beda sedikit, Rp 6.000 POPB, tetapi jumlah peserta yang diberikan ke puskesmas luar biasa banyak. Di Jakarta ada puskesmas mendapat 160.000 peserta, menghasilkan bayaran kapitasi sekitar Rp 1 miliar per bulan.

Di luar bayaran kapitasi, puskesmas masih dapat kucuran dana APBN dan APBD yang setiap tahun bisa dinaikkan. Alhasil, puskesmas mendapat bayaran hampir dua kali lipat. Namun, dari berbagai pemantauan dan evaluasi, kinerja layanan puskesmas lebih jelek dibandingkan dengan kinerja klinik swasta.

Bayaran CBG juga diskriminatif terhadap RS swasta. Bayaran CBG yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai konsep pembayaran borongan berbasis risiko. Seharusnya bayaran CBG sama besar antar-kelas RS dan memperhitungkan dana APBN/APBD yang masuk ke RS pemerintah. Namun, sejak 2014, RS kelas C dan D dibayar sekitar sepertiga untuk kasus dan tingkat kesulitan yang sama.

Teori ekonomi, untuk mendorong persaingan sehat dan efisiensi, RS harus dibayar sama untuk kasus dan tingkat kesulitan yang sama. Lagi pula, kebanyakan RS swasta dikategorikan kelas C dan D oleh pemerintah. Maka, jadilah bayaran ke RS milik pemerintah yang umumnya masuk kelas B, A, dan kelas khusus, 2-3 kali lebih besar. Padahal, RS milik pemerintah masih dapat kucuran dana APBN dan APBD. Keluhan pimpinan RS swasta yang begitu banyak tampaknya tidak berefek. Tidak mengherankan jika RS swasta mematok kuota bagi pasien JKN dan sering memaksa pasien mambayar sendiri layanan yang diterimanya, tidak menggunakan hak JKN.

Dengan bayaran yang di bawah harga keekonomian dan tidak disesuaikan dengan inflasi, fasilitas kesehatan swasta dibayar semakin kecil. Padahal, bayaran awal pun sudah di bawah harga keekonomian. Kabarnya, Kementerian Keuangan-lah yang mematok kenaikan bayaran CBG tidak lebih dari 6 persen per tiga tahun. Kebijakan ini sama sekali tidak masuk akal sehat dan akan mematikan swasta.

Ketika Indonesia masuk era reformasi, tarif telepon dinaikkan agar swasta berminat investasi. Namun, di era JKN, tarif JKN malah ditekan jauh di bawah harga keekonomian. Tender obat pun ditekan pada harga terendah, menimbulkan spekulan yang ikut tender. Industri farmasi besar yang ikut tender e-catalogue tidak memadai jumlahnya. ”Jangankan ada ruang pengembangan, biaya produksi untuk kualitas yang bagus saja sulit dicapai,” begitu ucap seorang pengusaha farmasi.

Iuran-biang keladi

Dalam policy paper yang diluncurkan Oktober 2016, Bank Dunia mengimbau Indonesia untuk memperbesar belanja kesehatan. Tentu termasuk iuran JKN. Mengapa? Karena sejak 40 tahun lalu, belanja kesehatan Indonesia terendah di dunia untuk kelas ekonomi yang sama. Belanja JKN 2016 hanya sekitar Rp 35.000 POPB. Iuran rata-rata yang diterima BPJS Kesehatan sekitar Rp 34.000 POPB. Iuran Penerima Bantuan Iuran yang dibayar dari dana APBN hanya Rp 23.000 POPB.

Sangat kontras dengan premi jaminan kesehatan pejabat tinggi yang dibayar dari APBN yang mencapai Rp 2 juta POPB. Namun, jaminan kesehatan pejabat itu ke perusahaan asuransi, bukan ke BPJS Kesehatan. Belanja kesehatan rata-rata penduduk Indonesia pada 2013, sebelum JKN, sudah mencapai Rp 136.000 POPB. Jelas, iuran yang ditetapkan pemerintah jauh di bawah harga keekonomian yang memungkinkan layanan kesehatan berkembang.

Akankah Indonesia keluar dari buruknya layanan kesehatan? Keberanian dan konsistensi Presiden Jokowi dengan Nawacita 5, peningkatan kualitas bangsa, bisa mengubah. Namun, pejabat Indonesia harus berani keluar dari belenggu ”tidak ada fiskal”, lagu lama yang selalu diputar. Nawacita belum diikuti kebijakan operasional yang konsisten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar