Minggu, 16 April 2017

Reformasi Jilid II?

Reformasi Jilid II?
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 15 April 2017


                                                                                                                                                           

Tjipto Mangunkusumo (1886-1943) diasingkan ke Pulau Banda tahun 1927. Ia adalah pemimpin rakyat dan pendiri bangsa pertama yang dibuang ke Banda sebelum bergabung pula Iwa Kusumasumantri, Moh Hatta, dan Sutan Syahrir. Menjelang menjalani hukuman pengasingan itu, Tjipto berkirim surat kepada sahabat-sahabatnya, tokoh-tokoh pergerakan. Salah satunya surat untuk Soekarno.

”Janganlah kita menangis dan dengan mata kering (gembira) kita terima itu, layak ataupun tidak. Riwayat Tanah Air kita meneruskan perjalanannya. Jika riwayat tersebut menghendaki untuk memperoleh korban-korban seberapa yang diminta, kita harus berikan pengorbanan itu dengan gembira. Saya tidak mengerti kenapa saya tidak diperkenankan menjadi korban. Lebih-lebih lagi saya cemburu terhadap mereka yang dibolehkan menjadi korban, kalau saya hanya ditetapkan untuk melihat-lihat saja.”

Tjipto adalah pemimpin luar biasa. Berulang kali ia jadi korban pemerintah kolonial Belanda. Pada 1920-an, ia dilarang tinggal di daerah berbahasa Jawa karena pengaruhnya kuat sekali terhadap rakyat. Belanda menghukumnya dengan pembatasan hidup di Bandung, daerah berbahasa Sunda. Meskipun perjalanan hidupnya berulang kali dihukum di pengasingan, tetap saja buatnya ”belum berarti apa-apa”. Ia belum merasa menjadi ”korban” untuk bangsa dan negeri ini. Inilah keteladanan para pendiri bangsa yang memiliki jiwa besar. Tipikal para pemimpin rakyat masa lalu selalu rame ing gawe sepi ing pamrih.

Pekan lalu, saat ikut membedah buku Nilai Keindonesiaan (2017), di Ruang Apung, Universitas Indonesia, saya menyimak sejarawan Profesor Susanto Zuhdi yang menceritakan sosok A Rivai (1871-1933). Rivai adalah dokter pertama sekaligus penerima gelar pahlawan pertama. Dialah lulusan ”dokter Jawa” yang menembus jagat Eropa. Hatinya keras dan kemauannya kuat. Tidak sudi direndahkan bangsa lain. Ia pun membuktikan diri bahwa orang jajahan (inlander) bisa sejajar dengan orang-orang Belanda, bahkan Eropa. Rivai yang beberapa kali menjadi anggota Volksraad juga seorang wartawan yang tulisannya sangat tajam, terutama dalam mengangkat martabat bangsanya.

Sosok para pemimpin yang membangun negeri ini bisa jadi ”manusia langka”. Rasanya sulit ditemukan di era sekarang. Di masa silam, para pemimpin rakyat berlomba-lomba berkorban untuk bangsa. Sekarang ini, sebaliknya, para pemimpin justru berlomba-lomba mengeruk keuntungan dari jabatan dan wewenang yang dipegangnya. Kegaduhan bangsa sekarang ini selalu berputar-putar di sekitaran para pemimpinnya.

Kasus megakorupsi KTP elektronik (KTP-el) semakin membuka mata bahwa para pemimpin (pejabat) kita, tidak hanya tidak berubah baik (watak dan perilakunya), tetapi juga semakin menjadi-jadi mengkhianati rakyat. Bayangkan, di rumah rakyat pun mereka bersekongkol merencanakan korupsi.

Begitulah ”nama-nama besar” sekarang. Ada yang bikin heboh juga ketika Ketua DPR Setya Novanto—saksi kasus KTP-el—dicegah ke luar negeri. DPR ”melawan”, mengajukan nota keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Apa tidak paham, ya, kalau KPK itu lembaga independen?

Ada yang berkoar kencang bahwa anggota DPR memiliki hak imunitas dalam menjalankan tugas. Namun, tafsir hak kekebalan itu terbantahkan. Hak imunitas itu adalah hak kekebalan saat anggota DPR menyampaikan pendapatnya dalam rapat-rapat atau kegiatan DPR.

Aneh, ya, sudah masuk dalam daftar lembaga terkorup, mau meminta kekebalan hukum pula. Baiknya, sih, tanya dulu pakar hukum tata negara sebelum berkoar kencang. ”Dia tidak tahu apa-apa, tetapi dia pikir tahu segalanya. Itulah politikus,” kata dramawan dan penulis George Bernard Shaw (1856-1950).

Dalam situasi sekarang ini, pantas-pantasnya DPR memberikan empati dan simpati kepada KPK secara serius ketika penyidik senior KPK, Novel Baswedan, menjadi korban penyiraman air keras. Peristiwa tersebut adalah bentuk teror terhadap KPK dan agenda pemberantasan korupsi secara umum.

Karena itu, jika gagal memburu pelaku tindakan keji itu, ancaman terhadap KPK akan semakin nyata. Namun, jangan khawatir, rakyat bisa bergerak cepat mendukung KPK.

Sudah hampir 20 tahun reformasi, tetapi benang kusut bangsa ini nyaris tak rampung terurai: korupsi merajalela, arogansi kekuasaan melemahkan demokrasi, politikus cakar-cakaran terus, seperti anggota DPD rebutan kekuasaan, hingga mengancam kebinekaan gara-gara isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), seperti Pilkada DKI Jakarta. Persoalannya memang masih lebih banyak pemimpin yang rame ing pamrih sepi ing gawe.

Jauh sekali jika disandingkan dengan Tjipto atau Rivai. ”Serahkan segenap jiwa ragamu kepada ikhtiar menyelamatkan hari kemudian anak cucu kita itu. Agar supaya turunanmu takkan dapat mengatakan, ’bahwa hidupmu ialah hidup sia-sia’,” tulis Tjipto dalam satu surat kepada sahabat-sahabatnya itu.

Sekarang mana ada pemimpin visioner berpikir jauh ke depan seperti itu. Tahun depan sudah 20 tahun reformasi. Sejarah kerap mencatat siklus perubahan politik sekitar 20 tahunan. Kalau situasi begini terus, apakah sudah saatnya reformasi jilid II mengganti tatanan yang awut-awutan? Menurut Anda, bagaimana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar