Jaminan
Keamanan bagi Penegak Hukum
Fachrizal Afandi ; Pengajar Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang; PhD
candidate Faculteit der Rechtsgeleerdheid Universiteit Leiden, Belanda
|
JAWA
POS, 15
April 2017
Penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengalami luka di wajah dan mata
setelah orang tak dikenal menyiramnya dengan air keras sepulang dari masjid
sesudah menunaikan salat Subuh berjamaah dengan warga di sekitar kediamannya
(Jawa Pos, 11/4). Kuat dugaan bahwa teror penyerangan itu buntut dari tugas
Novel sebagai salah seorang penyidik andalan KPK saat menangani kasus-kasus
besar. Bukan sekali ini saja dia mengalami serangan dari pihak yang tidak
suka dengan kinerjanya sebagai penyidik kasus korupsi. Serangkaian ancaman
fisik dan nonfisik juga sering diterima mantan perwira polisi tersebut.
Tragedi
serupa sesungguhnya juga sering mewarnai proses penegakan hukum bahkan sejak
awal kemerdekaan. Sebagaimana diceritakan Adnan Buyung Nasution (Isnaeni:
2017), orang sekelas jaksa agung seperti Gatot Taroenamihardja juga tak luput
dari teror. Ditabrak hingga kakinya mengalami kebuntungan saat berusaha
memberantas penyelundupan di kalangan militer pada 1950-an. Belum lagi kasus
hakim agung Syafiuddin Kartasasmita yang dibunuh pada 2001 karena
keberaniannya menjatuhkan pidana penjara kepada putra mantan Presiden
Soeharto, Tommy Soeharto, dalam kasus korupsi tukar guling (ruilslag) tanah
milik Bulog.
Jika
dirunut lebih dalam, barangkali tragedi semacam itu juga menimpa puluhan atau
mungkin ratusan aparat penegak hukum kita saat menangani kasus kelas kakap
yang berisiko tinggi. Namun sayang, sebagaimana dilansir Institute for
Criminal Justice Reform (2017), pengaturan perlindungan bagi aparat penegak
hukum saat ini hanya dapat ditemukan dalam perkara tindak pidana terorisme.
Selain itu, jaminan keamanan yang ada saat ini masih terkesan parsial, mirip
pemadam kebakaran yang baru bekerja setelah timbul kejadian.
Pendekatan
yang tidak sistematis dan terstruktur seperti itulah yang mengakibatkan
rentannya posisi aparat penegak hukum. Bukan hanya penyidik KPK, tapi juga
jaksa penuntut umum dan hakim saat menangani segala jenis kasus pidana yang
berisiko tinggi. Akibatnya dapat dilihat dari rendahnya penanganan kasus
terorganisasi yang cenderung memiliki risiko tinggi dan dominannya penanganan
kejahatan kelas ringan dalam angka statistik kriminalitas di Indonesia.
Kebutuhan Dasar
Lebih
dari setengah abad lalu, Abraham Maslow (1943), tokoh psikologi humanistik,
menyatakan bahwa kebutuhan akan rasa aman adalah salah satu kebutuhan dasar
manusia yang berpengaruh pada proses aktualisasi diri mereka. Selain empat
kebutuhan lain, yaitu kebutuhan terendah (pemenuhan fisiologis), dilanjutkan
kebutuhan akan rasa sayang, kebutuhan untuk dihargai, dan kebutuhan untuk
beraktualisasi.
Sayangnya,
jika dirunut dari program reformasi peradilan pidana, pemenuhan kebutuhan
fisiologis yang merupakan kebutuhan dasar bahkan belum terselesaikan
masalahnya.
Hal
itu seharusnya menjadi perhatian serius semua pemangku kepentingan untuk
membangun sistem perlindungan yang baik bagi aparat penegak hukum yang
memiliki dedikasi tinggi pada pekerjaannya. Sudah banyak instrumen
internasional yang dapat dijadikan acuan dalam membangun sistem perlindungan
aparat penegak hukum yang baik. Beberapa di antaranya dapat dilihat,
misalnya, dalam Mount Scopus International Standards of Judicial Independence
(2008), Declaration on Minimum Standards Concerning the Security &
Protection of Public Prosecutors & Their Families (2008), dan Guidelines
on the Role of Prosecutors (1999) yang semuanya mengatur perlindungan dan
jaminan keamanan terhadap aparat penegak hukum, termasuk keluarganya, saat
menangani perkara berisiko tinggi.
Jika
pemerintah menganggap teror terhadap Novel Baswedan sebagai persoalan yang
serius, sudah seharusnya mulai dipikirkan membangun model perlindungan aparat
penegak hukum yang lebih terstruktur dan sistematis. Tidak ada salahnya juga
jika pemerintah mengadopsi model perlindungan aparat penegak hukum yang sudah
terbukti berhasil di negara lain. Misalnya model pelembagaan Judicial Security Division US
Marshals di Amerika Serikat (AS) yang didirikan khusus sejak 1789 untuk
melindungi proses peradilan dengan memastikan jaminan keamanan aparatur
penegak hukum yang terlibat dalam penanganan perkara.
Tentu,
jika membuat lembaga baru dianggap sebagai sesuatu yang berbiaya tinggi,
pemerintah dapat memaksimalkan peran lembaga yang sudah ada dengan
mereformulasi peran mereka khusus mengamankan proses peradilan dari hulu
hingga hilir. Sehingga pada masa depan teror kepada aparat penegak hukum bisa
diminimalkan dan kian tumbuh keberanian pada aparat penegak hukum untuk
mengungkap kasus-kasus kakap yang terorganisasi dan memiliki tingkat ancaman
tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar