Minggu, 16 April 2017

Mengusut Pengemplang Pajak

Mengusut Pengemplang Pajak
Andreas Lako  ;   Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unika Soegijapranata, Semarang
                                                        KOMPAS, 15 April 2017


                                                                                                                                                           

Keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan program amnesti pajak yang mampu memikat 965.983 peserta wajib pajak dan menghasilkan Rp 4.866 triliun harta yang dideklarasikan, serta pemasukan negara Rp 135 triliun dari hasil tebusan pajak dan lainnya, patut diapresiasi.

Meski masih jauh dari target, pencapaian tersebut merupakan prestasi luar biasa dari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Pertanyaan krusialnya, apa agenda prioritas yang perlu dilakukan pemerintah pasca-amnesti pajak? Sejumlah pihak menyarankan agar menteri keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, fokus mengolah dan memperkuat pangkalan data hasil amnesti pajak agar bisa digunakan untuk melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh.

Sementara dalam Tajuk Rencana ”Mengevaluasi Amnesti Pajak”, Kompas (1/4/2017) menyarankan agar Ditjen Pajak fokus pada penegakan hukum bagi pengemplang pajak dan mengawasi komitmen peserta pajak. Pemerintah juga diharapkan menciptakan iklim kondusif bagi investasi dan penempatan dana untuk menarik kembali aset WNI di luar negeri.

Mengusut pengemplang pajak

Secara umum, saya mendukung sejumlah usulan tersebut. Namun, saya mengusulkan agar prioritasnya diarahkan untuk mengusut para pengemplang dan penggelap pajak. Tulisan ini memfokuskan pada pengemplang pajak yang menyembunyikan asetnya di luar negeri dan penggelapan pajak oleh korporasi PMA (penanaman modal asing). Keberhasilan menuntaskan dua agenda tersebut bakal menghasilkan ribuan triliun rupiah untuk pendapatan negara.

Prioritas mengusut pengemplang pajak yang tidak berpartisipasi dalam amnesti pajak pada periode I, II, dan III sangat penting karena terkait aspek keadilan pajak dan kepatuhan wajib pajak (WP) sebagai warga negara. Data amnesti pajak yang dirilis Ditjen Pajak menunjukkan partisipasi WP besar yang selama ini memarkirkan asetnya di sejumlah negara surga pajak (tax haven), seperti Singapura, Hongkong, Kepulauan Cayman, Kepulauan Virgin, China, dan Australia, sangat rendah.

Misalnya, dari total deklarasi harta di luar negeri Rp 1.028 triliun dan repatriasi Rp 146 triliun (per 30 Maret 2017), sebanyak Rp 836 triliun (71,21 persen) berasal dari Singapura. Padahal, pada September 2016, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengklaim bahwa aset WP Indonesia di Singapura mencapai Rp 2.600 triliun. Ini berarti, partisipasi WP yang menyembunyikan asetnya di Singapura dalam amnesti pajak hanya 32,15 persen.

Saya yakin, partisipasi wajib pajak yang selama ini menyembunyikan asetnya di negara lain juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan Singapura.

Selain itu, data yang dirilis Ditjen Pajak juga tidak menyebutkan berapa banyak WP yang selama ini menyembunyikan asetnya di negara surga pajak primadona, seperti Swiss, Amerika Serikat, Luksemburg, Bahrain, Dubai, Panama, Bermuda, Selandia Baru, dan Makau, telah berpartisipasi dalam amnesti pajak. Padahal, negara-negara tersebut juga menjadi tempat primadona yang aman bagi para WP besar Indonesia dalam menyembunyikan aset.

Hal lain yang juga mengherankan adalah Ditjen Pajak tidak mengungkap berapa jumlah WP yang namanya tercatat dalam Dokumen Panama yang ikut amnesti pajak. Padahal, ketika dokumen tersebut bocor ke publik pada awal April 2016, ada 2.961 nama WP Indonesia dalam dokumen tersebut. Nilai aset yang disembunyikan ditaksir di atas Rp 1.600 triliun.

Secara keseluruhan, efektivitas program amnesti pajak memikat para pengemplang pajak yang menyembunyikan asetnya di luar negeri sangat rendah. Apabila klaim pemerintah pada April 2016 bahwa ada Rp 11.200 triliun aset WNI diparkir di luar negeri benar adanya, maka tingkat keberhasilan amnesti pajak hanya mencapai 10,52 persen. Karena itu, agenda mendesak yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengusut tuntas para WP kelas kakap bandel tersebut. Mereka harus dipaksa mendeklarasikan atau merepatriasi asetnya dengan tarif tebusan yang tinggi.

Hal itu untuk memberikan rasa keadilan kepada para WP patuh dan sekaligus meningkatkan kewibawaan pemerintah.

Mengusut korporasi PMA

Agenda prioritas kedua adalah mengusut dugaan penggelapan pajak oleh korporasi PMA. Seperti diketahui, dugaan penggelapan pajak oleh ribuan PMA sudah sering diungkap Kementerian Keuangan. Namun, tidak lanjut pengusutannya tidak jelas. Pada November 2005, Menkeu Jusuf Anwar pernah melaporkan ke DPR tentang dugaan penggelapan pajak oleh 750 PMA yang merugikan negara sekitar Rp 250 triliun dengan cara melaporkan rugi selama lima tahun.

Laporan tersebut bukannya ditindaklanjuti, tetapi justru menjadi bumerang bagi Jusuf Anwar karena Ia langsung digantikan oleh Sri Mulyani.

Pada November 2013, Dirjen Pajak Fuad Rahmani juga mengungkapkan ada 4.000 perusahaan dari 7.000 PMA yang terindikasi melakukan penggelapan pajak dengan cara melaporkan rugi dari tahun ke tahun (Kompas, 25/11/2014). Dugaan itu juga tidak ditindaklanjuti dengan alasan jumlah aparat pemeriksa pajak sangat terbatas.

Terakhir, pada Maret-Juni 2016, Menkeu Bambang Brodjonegoro gencar mengungkap ada 2.000 PMA yang diduga melakukan penggelapan pajak dengan cara melaporkan rugi selama10 tahun berturut-turut sehingga negara dirugikan Rp 500 triliun. Dugaan tersebut juga tidak ditindaklanjuti karena posisi Bambang juga digantikan oleh Sri Mulyani. Sri Mulyani tidak tertarik mengusutnya.

Dari catatan itu, tampak penggelapan pajak oleh ribuan PMA dengan menggunakan teknik income decreasing (melaporkan rugi) sangat sistematis, masif, dan berkelanjutan.

Saya menduga, selain ribuan PMA yang terindikasi menggunakan teknik income decreasing agar bisa melaporkan rugi terus-menerus, masih ada ribuan PMA yang juga turut menggelapkan pajak dengan menggunakan teknik income smoothing. Teknik ini banyak digunakan korporasi karenalebih soft dalam memanipulasi laba dengan besaran nilai yang relatif merata dari tahun ke tahun. Tujuannya agar tidak menjadi incaran otoritas perpajakan.

Jika dugaan tersebut benar, kerugian negara akibat penggelapan pajakkorporasi PMA dalam 20 tahun terakhir bisa mencapai ribuan triliun rupiah. Selama periode amnesti pajak, Ditjen Pajak juga tidak pernah mengungkap partisipasi korporasi PMA. Tampaknya, tak ada PMA yang turut berpartisipasi.

Karena itu, saya mengusulkan agar pasca-amnesti pajak, pemerintah juga fokus mengusut dugaan penggelapan pajak oleh ribuan PMA. Pemerintah perlu membentuk tim auditorkompeten khusus untuk melakukan audit investigasi atau audit forensik terhadap laporan keuangan dari semua korporasi PMA. Apabila ditemukan ada tindakan rekayasa keuangan untuk menggelapkan pajak, mereka harus diberi sanksi berat. Mereka juga harus membayar kerugian negara secara utuh.

Saya yakin, apabila pemerintah serius mengusut tuntas dua agenda prioritas itu, ribuan triliun rupiah bakal masuk ke kas negara. Keseriusan tersebut juga akan berimplikasi positif terhadap kepatuhan wajib pajak dan penerimaan pajak, peningkatan kinerja ekonomi dan kemajuan pembangunan, serta peningkatan kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar