Cedera
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 17 April 2017
Kita
sering melihat adegan ini: di dalam bus kota, orang-orang duduk dengan ponsel
masing-masing. Mereka asyik bermain game atau entah apa lagi. Mereka tak
merasa berada bersama orang lain di dalam ruang yang sesak itu.
Di
bus itu, ponsel menghadirkan paradoks teknologi. Saya teringat bagaimana
teknologi disambut dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia:
Ilmu
pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Dongengan leluhur sampai
malu tersipu. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan
seseorang di seberang lautan. Orang Jerman telah memasang kawat laut dari
Inggris sampai India! Dan kawat semacam itu membiak berjuluran ke seluruh
permukaan bumi.
Ilmu
memang bisa membangun sarana komunikasi yang efektif, tapi-dan ini yang
diabaikan Pramoedya dalam novel itu-teknologi juga membuat jarak. Jarak itu
berbeda dan lebih dalam.
Dari
sebuah pondok di Hutan Hitam yang senyap di dekat Freiburg, Jerman, di tahun
1930-an, Heidegger memandang "keajaiban" teknologi dengan berbeda.
Teknologi, katanya, telah membuat "semua jarak mengecil, baik dalam
waktu maupun ruang". Tapi, "Semua jarak yang dengan tergesa-gesa
disisihkan itu [justru] tidak mendatangkan kedekatan."
"Kedekatan",
Nähe, tak dihitung dengan senti dan detik. Kedekatan, dalam hal ini, bisa
lebih disebut sebagai "empati", "keakraban", atau
"kemesraan".
Lihat
di Gunung Kendeng, Jawa Tengah. Orang hendak mendirikan pabrik semen. Mereka
ukur dan rancang wilayah itu. Dengan mobil atau helikopter, dalam belasan
menit para insinyur dan manajer tiba di sana; jarak mengecil, waktu lebih
cepat. Tapi saat itu orang-orang itu sebenarnya tak lagi "dekat"
dengan alam yang terhampar. Bumi telah mereka reduksi hanya jadi sarana.
Teknologi menjangkaunya, tapi seperti menyentuh mayat di meja anatomi.
Ditelaah, diurai, kalau perlu disayat-sayat. Tanpa empati. Pengetahuan
diperoleh, tentu, tapi "mengetahui" di depan kadaver itu berarti
"menguasai".
Di
masa lalu, para penggerak modernisasi memujikan kapasitas manusia untuk
"mengetahui" yang sebenarnya "menguasai" itu. Di tahun
1930-an, misalnya, S. Takdir Alisjahbana menganjurkan: "Bangsa kita
harus mengambil sikap hidup baru: menguasai alam, berjuang melawan
alam."
Tapi
seperti yang terjadi di Gunung Kendeng, ada kerusakan terjadi ketika kita
melawan alam-kerusakan yang tidak hanya pada bumi, gunung kapur, sungai di
dasar tanah, mungkin hutan di sekitar, tapi juga kerusakan pada perspektif
kita. Kita sangka dengan akalnya manusia berhasil membuka banyak teka-teki,
memecahkan problem, menyiapkan alat, memprediksi masa depan, dan dengan itu
jadi penguasa bumi. Tapi bumi di bawah kakinya tak lagi perawan, dan manusia,
di takhta tinggi, sendirian, terasing. Semesta jadi jajahan. Bukan sahabat.
Dalam
Minima Moralia, Adorno, filosof Jerman yang mengungsi ke Amerika itu,
menggambarkan keadaan itu sebagai "hidup yang cedera"-yang tampak
di Eropa sejak dua perang dunia, di zaman yang didominasi modal,
komersialisasi, dan hasrat penaklukan wilayah. Konflik yang membunuh jutaan
orang itu menunjukkan betapa mengerikannya teknologi ketika bertaut dengan
keserakahan modern.
Di
awal abad ke-20, tokoh Bumi Manusia belum melihat kemungkinan itu. Ia masih mengelu-elukan
datangnya zaman modern. Ia masih mengejek "dongengan leluhur" yang
"malu tersipu" karena tak sanggup lagi menyajikan keajaiban. Ilmu
pengetahuan itulah yang mampu....
Ini,
tentu saja, penerus pandangan positivis abad ke-19 Eropa, yang menganggap
ilmu-ilmu sebagai juru selamat dan mithologi bagian yang niscaya musnah. Tapi
kini, dalam "hidup yang cedera", soalnya lain: kita justru butuh
"dongengan leluhur". Sebagai imajinasi alternatif.
Dalam
Mahabharata, setelah perang Bharatayudha, setelah satu generasi saling
membunuh, orang-orang tua menyingkir ke dalam rimba. Akhirnya mereka tewas
ketika hutan terbakar-seakan-akan alam memperabukan mereka.
Bagi
saya, mereka menyatukan diri kembali dengan hewan dan pepohonan, tanah dan
cuaca, setelah capek dan kecewa menyaksikan anak-anak mereka, diri mereka
sendiri, makhluk yang cerdik dan terampil itu, tak henti-hentinya
mempersiapkan kemenangan. Kunthi, Gandari, dan Destarastra menyaksikan
tragedi keluarga Bharata dan memutuskan menjauh dari kekuasaan, juga
sisa-sisanya. Mereka masuk ke kehidupan yang tak tepermanai, bebas dari
kolonisasi manusia.
Di
sana hening akrab-sesuatu yang hilang sekarang, di zaman media sosial, ketika
orang saling sapa saling cerca tiap detik, dan mabuk dalam keributan, ketika
orang tak punya tempat, tak punya waktu, untuk berkelana seperti yang
dipujikan puisi Wedhatama di Jawa abad ke-19: lelana leladan sepi.
Tentu
saja sepi, hening, dan rimba itu bisa sebagai kiasan: mengambil jarak dan
memandang dengan kritis dunia yang kini ribut, rakus, dan tak tahu kapan
berhenti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar