Dirgahayu
Angkatan Udara 2017
Chappy Hakim ; Marsekal Purn, KSAU RI 2002-2005
|
KOMPAS, 08 April 2017
Presiden Joko Widodo menegaskan
akan mengambil alih pelayanan ruang udara atau flight information region
(FIR) yang selama ini dikuasai Pemerintah Singapura. Hal itu diungkapkan
Presiden Jokowi saat menerima kunjungan kehormatan Wakil Perdana Menteri
merangkap Menteri Koordinator Keamanan Nasional Republik Singapura Teo Chee
Hean, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa. (Kompas.com, 24/11/2015). Instruksi
Presiden tersebut telah disampaikan kepada para pejabat terkait sejak
September 2015.
Instruksi yang merefleksikan
dengan nyata "visi" seorang presiden yang memimpin sebuah negara
besar. Hingga kini, April 2017, belum terdengar lagi bagaimana perkembangan
dari instruksi Presiden tersebut. Dalam menangani masalah pengelolaan wilayah
udara kedaulatan negara, Indonesia memang menghadapi cukup banyak
persoalan yang menunggu segera diselesaikan.
Pekerjaan
rumah
Pekerjaan rumah di bidang pengelolaan
potensi yang dimiliki negara di udara mencakup beberapa aspek penting.
Kemampuan dan atau potensi yang dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) di bidang keudaraan secara total dikenal dengan terminologi National
Air Power. Kekuatan nasional di udara yang salah satu penjurunya secara
universal berada di Angkatan Udara.
Harus diakui perhatian masyarakat
luas pada umumnya terhadap masalah keudaraan masih rendah. Pengembangan minat
dirgantara belum berjalan baik. Bahkan, jika kita berbicara tentang
kedaulatan negara di udara, Indonesia belum memiliki dasar hukum sebagai
pijakan yang seharusnya tercantum dengan jelas dalam konstitusinya.
Walau sudah menjalani sekian kali
amandemen, kedaulatan negara Indonesia di udara masih belum tercantum di UUD
1945. Di samping masalah FIR Singapura, dalam bidang industri penerbangan
baru-baru ini kita melihat masalah pembelian helikopter Agusta yang
mengundang pertanyaan mengapa tak menggunakan produk PT Dirgantara Indonesia
(DI).
Belakangan ini PT DI menghadapi
beberapa permasalahan serius yang juga harus segera diselesaikan. Setelah
terakhir PT DI sukses memproduksi CN-235 yang sudah mendapatkan ruang
pemasaran cukup baik di luar negeri, hingga kini tidak terdengar lagi produk
pesawat terbang yang menjadi produk unggulan di tingkat global.
Bahkan, pesawat CN-235 sendiri
sudah nyaris tidak terlihat terbang lagi di negeri pembuatnya. Peralatan yang
dimiliki dan SDM yang sudah menuntut kaderisasi seirama dengan gejolak
persaingan ketat serta kemajuan ilmu dan teknologi di tingkat industri
penerbangan dunia, harus menjadi perhatian utama.
Perkembangan lain di bidang
keudaraan adalah upaya Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang
terus-menerus meningkatkan keamanan dan keselamatan terbang. Ke depan, ICAO
sudah, sedang, dan akan membagi otoritas penerbangan sipil yang tidak lagi
mengacu pada wilayah udara kedaulatan sebuah negara, tetapi akan
mengalokasikannya berdasarkan kawasan.
Di Amerika sudah berjalan dan
mulai berlaku otoritas bagi kawasan Amerika, demikian pula dengan Eropa yang
dikenal dengan Euro Control. Berikutnya adalah kawasan ASEAN dan Pasifik.
Dengan perkembangan ini, jika kita tidak berusaha meningkatkan kemampuan kita
di bidang pengelolaan wilayah udara dalam peran sebagai otoritas penerbangan
sipil pada aspek keamanan dan keselamatan penerbangan, tidak mustahil
pengelolaan wilayah udara kita akan diserahkan ke negara lain.
Sebuah tantangan yang sangat berat
yang harus dihadapi dalam waktu dekat mendatang. Sejalan dengan itu, sebagai
konsekuensi dari peristiwa 911 di Amerika pada 2001, banyak negara sekarang
sudah memadukan pengaturan lalu lintas penerbangan militer dengan penerbangan
sipil komersialnya. Sebuah upaya yang dilihat sebagai tindakan antisipasi
serangan teroris yang ternyata dapat dengan mudah melakukan serangan
menggunakan pesawat terbang sipil komersial.
Institusi
keudaraan
Di Indonesia, walau sudah
dilakukan banyak koordinasi dalam pengelolaan terpadu alur dari lalu
lintas penerbangan sipil dan militernya, belum terlihat konsep yang jelas
tentang civil-military air traffic flow management system seperti
yang sudah dilakukan beberapa negara besar dengan kepadatan lalu lintas
penerbangannya.
Meneliti beberapa masalah penting
dalam pengelolaan udara nasional berkait dengan manajemen kekuatan nasional
di udara (National Air Power), maka dengan mudah dapat dipahami bahwa
semua itu memerlukan kerja sama dan koordinasi lintas sektoral. Lintas
sektoral dalam arti lintas kepentingan dan lintas institusi dan atau lintas
kementerian.
Urusan FIR Singapura tidak dapat
diselesaikan hanya oleh Kementerian Perhubungan saja tanpa keikutsertaan
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, misalnya. Demikian pula
banyak hal lainnya seperti mencantumkan wilayah udara kita sebagai wilayah
kedaulatan dalam UUD 1945 akan sulit jika hanya mengandalkan kepada salah
satu instansi pemerintah.
Pengaturan lalu lintas penerbangan
sipil dan militer serta pengelolaan fasilitas infrastruktur penunjang
keselamatan penerbangan dipastikan melibatkan banyak institusi pemerintah.
Angkatan Udara RI yang akan memperingati Hari Angkatan Udara yang ke-71 pada
9 April 2017, walau berperan sebagai poros utama dalam pembinaan kekuatan
nasional di udara, tidak mungkin menanganinya seorang diri. Dalam aspek
inilah, maka sudah saatnya kita memikirkan ulang tentang sebuah institusi
pemerintah di tingkat pusat yang dapat berperan dalam menangani persoalan
keudaraan yang sangat kompleks ini.
Dulu kita mengenal Dewan
Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri), yang
sayangnya sudah dibubarkan beberapa waktu yang lalu. Apabila memang sulit
untuk dapat menghadirkan kembali Depanri, patut dipertimbangkan pemikiran
untuk membentuk Kementerian Koordinator Penerbangan dan Dirgantara.
Sebuah institusi yang dapat
mewadahi dalam mengelola permasalahan keudaraan yang sangat kompleks dan
lintas sektoral kiranya sudah menjadi sebuah kebutuhan jika kita hendak
menyelesaikan sekian banyak pekerjaan rumah di bidang pengelolaan potensi
nasional di bidang keudaraan secara komprehensif dan integral. Instruksi
Presiden tentang FIR Singapura, sebagai sebuah visi yang brilian, akan sangat
sulit diselesaikan jika tidak ada sebuah institusi yang berperan sebagai
koordinator yang mengawalnya menuju penyelesaian yang baik.
Visi yang tanpa aksi adalah
ibarat bermimpi di siang bolong dan aksi yang tanpa visi hanyalah akan
membuang waktu percuma. Dibutuhkan visi yang disertai dengan aksi jika kita
hendak mewujudkan perubahan. Action without vision is only passing
time, vision without action is merely day dreaming, but vision with action
can change the world (Nelson Mandela).
Dirgahayu Angkatan Udara! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar