”Christo-Praxis”
Melawan Kegelapan Korupsi
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis dan Teolog; Alumnus Seminari St
Vincent de Paul dan Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana Malang
|
JAWA
POS, 14
April 2017
SANGAT menyedihkan jika kita merenungkan praktik korupsi
di negeri ini. Praktik tidak terpuji itu menjadi bukti negeri ini masih
berada di era kegelapan. Teror penyiraman air keras ke penyidik KPK Novel
Baswedan (11/4) sesungguhnya menjadi simbol betapa banyak pelaku korupsi yang
kian gelap mata di tengah upaya gigih KPK memerangi korupsi.
Perilaku koruptor membuat kita yang masih punya akal sehat
dan tidak mau dibutakan sungguh bikin gemas dan geregetan. Tidak peduli
sebagian rakyat, khususnya yang miskin, justru kian remuk redam gara-gara
kian mahalnya harga pangan, sandang, dan papan, mereka masih terus mencoba
merampok uang negara.
Para koruptor itu memang tidak punya mata hati lagi alias
buta nuraninya. Jangankan empati dan kepedulian kepada wong cilik, mereka
malah terus berburu kenikmatan dengan uang hasil korupsi.
Daniel G. Groody dalam jurnal Theological Studies
mengingatkan, masyarakat konsumeris global sedang menjalankan gagasan
antropologi sendiri. Benak orang banyak hendak diyakinkan tentang apa yang
baik dan indah. Segalanya diukur dari pasar (mal). Pasar adalah otoritas yang
menentukan apa artinya menjadi orang di zaman ini. Consumo, ergo sum (Aku
berbelanja, maka aku ada) menjadi adagium orang zaman ini. Bukan Cogito, ergo
sum (Aku berpikir, maka aku ada) sebagaimana diserukan filsuf Descartes. Uang
menjadi nomor satu.
Sebenarnya, jika mereka mau berbelanja, bersenang-senang
menggunakan uang pribadi, silakan. Yang menyesakkan, uang negara dalam jumlah
besar setiap hari menjadi ”bancakan”.
Begitu dominannya uang, sampaisampai mereka tidak risi
meraup kekayaan lewat korupsi. Beragam cara juga dihalalkan guna mendapatkan
dan menimbun uang. Mungkin inilah penjelasan yang logis untuk menjawab
pertanyaan mengapa negara yang mayoritas umatnya beragama ini begitu sulit
keluar dari permasalahan korupsi. Semua berawal dari pendewaan, bahkan
penuhanan, akan uang. Dalam masyarakat ” money-teis”, Tuhan sudah disamakan
dengan uang. Di media sosial kerap ada meme bahwa the big religion is money.
Ada moneterisasi agama.
Tentu konsep ketuhanan seperti ini jelas merupakan suatu
berhala. Mendegradasi Tuhan ke derajat barang atau materi adalah kegilaan
zaman ini. Dalam bahasa agama, kegilaan itu kian membuat orang jatuh dalam
dosa, termasuk dosa korupsi. Dosa pada intinya merupakan penolakan nyata
terhadap kekuasaan Tuhan. Konyolnya, sebagaimana dikatakan Gus Mus (KH
Mustofa Bisri dari Rembang), para koruptor justru mencoba memutihkan dosa
dengan ”menyogok Tuhan” lewat uang korupsi, entah dengan membantu menyantuni
anak yatim atau pergi ke Tanah Suci alias ke Saudi (bagi yang muslim) atau ke
Israel (bagi yang Kristen).
Karena itu, kita dari agama apa pun harus berani melawan
korupsi. Korupsi itu jahat dan menyengsarakan rakyat, khususnya yang miskin.
Kaum miskin tidak mendapatkan kue pembangunan atau kucuran dana dari
APBN/APBD sehingga semakin miskin. Korupsi hanya menyejahterakan para elite
korup, sebagaimana tampak pada kasus e-KTP yang tengah disidangkan. Kasus
tersebut memperlihatkan sistem politik yang tidak adil dan amat menindas
rakyat. Ironisnya, pelaku korupsi e-KTP justru para wakil rakyat.
Pada 2000 tahun silam, Yesus juga berhadapan dengan elite,
baik penguasa politik mamupun agama, yang menindas kaum lemah. Kritik dan
kecaman tidak pernah berhenti dari mulut Yesus. Ini membuat para penguasa
Rowawi dan agamawan Yahudi ketika itu terusik. Singkat cerita, akhirnya Yesus
pun divonis mati di salib.
Dalam pandangan manusia, Yesus tampak digolongkan di
antara orang-orang jahat karena mati di salib. Tetapi, dari perspektif iman
Kristiani, salib justru menjadi sarana pembebasan dari belenggu dosa. Sebab,
Yesus yang semula tampak kalah dengan mati mengenaskan akhirnya bisa bangkit
dan mengalahkan kegelapan maut.
Namun, dalam perspektif teologi pembebasan seperti
diutarakan Jon Sobrino S.J., ” christo-doxi” atau pemahaman akan Yesus
seperti disebutkan di atas, tidak akan pernah lengkap tanpa disertai ”
christopraxis”. Gampangnya, tidak cukup umat Kristiani percaya Yesus mati
karena disalib dan bangkit jika tanpa mengimplementasikan kepercayaan itu
dalam aksi atau perilaku nyata sehari hari.
Maka, dalam konteks korupsi, ” christo-praxis” harus
ditunjukkan dengan perlawanan tanpa lelah pada korupsi. Itu jelas tugas
berat. Misalnya, para pejabat gereja dan umat Nasrani harus berani tegas
dalam menerima setiap bantuan, misalnya dari pejabat atau pengusaha yang
korup. Tentu itu sulit. Tetapi, kita tidak boleh putus asa. Untuk itu, di
samping tetap menjaga KPK dari segala macam serangan, baik pelemahan maupun
mungkin pembubaran, kita harus mencari jalan agar koruptor dibuat jera dengan
mekanisme vonis hukuman yang sangat berat. Mari mohon agar kita sungguh
mengalami kebangkitan-Nya sehingga bisa bangkit melawan kegelapan korupsi.
Selamat Paskah 2017. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar