Simbolisme
Toleransi
Jean Couteau ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 16 April 2017
Jawa terkenal padat. Sulit mencari kesunyian. Namun,
adakalanya terdapat kejutan. Itulah yang terjadi pada saya beberapa hari yang
lalu di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Seusai menghadiri satu upacara
peringatan kematian, saya dan istri, entah bagaimana berkeputusan mencari
udara segar, yaitu udara dingin pegunungan, di kaki Gunung Sumbing.
Satu penunjuk jalan, entah bagaimana, menunjukkan jalan ke
suatu candi. Kami menelusuri jalan tersebut. Lama-kelamaan jalan itu menjadi
jalan tanah, lalu menjadi lorong yang terus naik di antara sawah-sawah.
Keindahan terlihat di mana-mana, kanan kiri lorong. Waktu seolah tidak lagi
hadir, kehilangan maknanya di antara keheningan keasrian pemandangan
sekeliling.. Lalu di ujung lorong terlihat seratusan tangga. Kami menaikinya,
dan apa yang kami temukan: sebuah candi cantik nan kecil bernama
Selogriyo-rumah dari batu, jika diterjemahkan dari bahasa Jawa kuno.
Candi bersegi empat ini diperkirakan dibangun pada zaman
Mataram kuno, abad ke-9. Pada keempat seginya terdapat lima relung tempat
arca-arca perwujudan dewa. Arca-arca tersebut adalah Durga Mahisasuramardini
(dinding utara), Ganesha (dinding barat), Agastya (dinding selatan), serta
Nandiswara dan Mahakala (dinding timur).
Arca tersebut sayangnya semuanya dipenggal. Apakah
dipenggal karena keserakahan peminat barang antik atau karena dianggap tidak
sesuai dengan agama baru yang kini menguasai lereng Gunung Sumbing, tidaklah
jelas.
Meskipun demikian, makna simbolis candi tersebut masih
tampak jelas. Atapnya menyerupai buah keben, lambang lingga, yang disusun
sedemikian rupa hingga membentuk suatu mandala-suatu perwujudan kedelapan
jurusan mata angin, dengan di puncak tengahnya, sebuah keben yang lebih
tinggi. Yaitu mandala tersebut mengingatkan kita pada Borobudur, pada suatu
konstruksi agama yang mengedepankan dan mevisualkan unsur kosmis-berikut
upaya manusia untuk moksa, yaitu untuk menyatu dengan kosmos tersebut, dengan
Tuhan.
Di seputar candi tersebut terdapat segelintir pengunjung.
Saya bertanya kepada beberapa di antaranya mengapa mereka mengunjungi candi
itu: "Karena perjalanan kemari asri," kata seorang Bapak.
"Karena saya suka menjelajah wilayah gunung," kata seorang pemuda.
"Apakah Anda menyadari fungsi dari bentuk candi tersebut," tanya
saya lebih jauh. "Tidak," jawab yang pertama. "Tidak,"
jawab yang kedua.
Ketika saya duduk di warung kecil setempat ada seorang
pemuda yang mendengar pertanyaan saya, mendekat dan berkata: "Saya
adalah orang Bali dan datang setiap minggu kemari untuk mencari air suci
untuk kebutuhan ritual saya dan teman-teman mahasiswa di Yogyakarta."
Berjalan turun dari Candi Selogriyo itu, saya
berpikir-pikir: orang Indonesia bisa jadi berbangga atas peninggalan masa
lalunya. Bisa jadi juga hal itu merupakan sesuatu yang baik karena
memperteguh rasa kebangsaannya.
Namun, jika mereka ingin saling menghormati dan saling
mentoleransi agamanya masing-masing, bukankah dibutuhkan juga pengertian yang
lebih mendalam, yaitu pengertian tentang dasar simbolis dan filsafati agama
masing-masing. Yaitu, bagaimana mereka masing- masing menggali ketuhanan,
apakah dengan mencari moksa atau nirwana seperti orang Hindu dan Buddha, atau
dengan menjalankan titah utusannya, seperti halnya orang Kristen dan Islam.
Bukankah pengetahuan yang "terbuka" cara yang
paling baik untuk menjaga persaudaraan di waktu di mana para politikus tidak
segan-segan bermain api dengan lebih menekankan perbedaan daripada
persaudaraan. Bukankah tradisi Indonesia selama ini justru lebih mengutamakan
"persamaan" daripada "perbedaan". Dan itulah
universalisme ragam Indonesia. Hal itu jangan dilupakan.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar