Sabtu, 15 April 2017

Menakar Pemenang Pilkada DKI

Menakar Pemenang Pilkada DKI
Agus Riewanto  ;   Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
                                                 KORAN JAKARTA, 3 April 2017



                                                                                                                                                           

Pilkada DKI putaran kedua merupakan pertarungan abadi dalam ciri politik Indonesia mutakhir, yakni pertarungan antara partai politik nasionalis versus partai politik Islam. Pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat (diusung PDIP, Golkar, Hanura dan Nasdem) merepresentasikan parpol nasionalis dan Anies-Sandiaga (diusung Partai Gerindra dan PKS) mewakili parpol Islam.

Sejak pemilu pertama 1955 hingga tahun 2014 selalu menghadirkan lanskap pembilahan dalam dua kutub kekuatan tajam. Merujuk pada teori Clifford Geertz (1960) dalam The Religions of Java, yang membagi pembilahan masyarakat Jawa dalam tiga tradisi berseberangan: priyayi, santri dan abangan. Dalam realitas politik tiga tradisi itu melebur dalam dua kutup preferensi pilihan parpol. Priyayi dan abangan memilih parpol nasionalis, sedang santri cenderung Islam.

Jika merujuk pada pengalaman selama ini, peraturangan parpol nasionalis versus Islam selalu menghasilkan dinamika pasang surut. Sejarah pemilu mengajarkan tak pernah sekalipun parpol berbasis agama menang dalam pemilu. Mayoritas muslim tidak ekuivalen dengan pilihan parpol berbasis Islam.

Muslim Indonesia bercorak moderat karena mampu membedakan batasan ketaatan agama dan pilihan politik. Pada saat harus taat beragama umat muslim bisa mematuhi para pemuka agamanya, tapi pemilu tak memilih parpol berbasis Islam.

Itulah sebabnya kompetisi putaran kedua cukup keras dan punya peluang sama kuat untuk menang. Ceruk parpol nasionalis dan para konstituennya akan memilih Ahok-Djarot. Parpol Islam ke Anies-Sandiaga. Namun ikatan idelogis ini berada dalam tikungan para elite parpol yang sangat pragmatis mengandalkan uang dan konsesi politik jelang Pilpres 2019.

Hanya sedikit pemilih yang akan tetap ideologis. Akan tetapi mayoritas pemilih dan elitenya akan pragmatis. Persis seperti dikatakan Katz and Mair (1996) dalam Cadre, Cath-all or Cartel? A Rejoinder. Ini mengingatkan, kini sistem kepartaian telah terkartelisasi. Parpol bersikap permisif atau serbaboleh (promiscuous) dalam perilakunya nyaris tanpa ikatan ideologi. Maka untuk konteks DKI, tak cukup relevan mengkaitkan lagi dengan politik ideologis berbasis agama.

Karena itu isu-isu agama dalam Pilkada DKI tetap “digoreng” sejumlah pihak terutama ormas-ormas radikal, tapi tak cukup mampu secara signifikan mempengaruhi kemenangan. Boleh jadi yang sangat menentukan dalam konstelasi sentimen agama ini adalah siapa yang paling rasional dan cerdas dalam menyodorkan program perubahan DKI.

Jika dibaca dalam debat putaran pertama, Ahok-Djarot mampu menunjukkan bukti konkret kinerja dengan argumentasi memadai. Sedangkan Anies-Sandiaga mampu menyodorkan program-program baru. Pilkada DKI cermin perseteruan agama dan idelogi parpol yang semu (pseudo of ideology).

Perseteruan

Pilkada DKI putaran kedua akan menghadirkan perseteruan antaretnis yang kuat dan sedikit banyak akan dapat mempengaruhi suara. Ahok- Djarot akan diidentikkan dekat etnis Tionghoa. Anies-Sandiaga lebih dipandang sebagai identifikasi etnis Arab.

Namun begitu, sebenarnya tak perlu menghadapkan dua etnis tadi dalam dinamika politik DKI. Hanya harus diakui, etnisitas ini menjadi isu sensitif di setiap perebutan kekuasaan politik dari India sampai ke Amerika Serikat.

Jika isu etnis ini dikomodifikasi menjadi isu untuk saling black campign, maka akan menjadi berkah bagi Anies- Sandiaga. Sebaliknya jika isu nasionalisme dan pluralisme yang diusung dan dikomodifikasi oleh Ahok-Djarot, hal itu akan menjadi berkah kemenangannya juga.

Pilkada DKI putaran kedua akan menghadirkan perseteruan dua aktor politik nasional. Ahok-Djarot sesungguhnya merepresentasikan ketokohan Megawati Soekarno Putri. Anies-Sandiaga mewakili Prabowo Subianto. Kedua tokoh “gaek” ini tak dapat dilepaskan dari kehadiran dua cagub ini. Mereka sejak semula diracik menjadi cagub DKI atas kreativitas tangan dingin Megawati dan Prabowo.

Inilah ciri khas kepolitikan Indonesia yang berciri paternalistik selalu menempatkan tokoh politik besar di belakang panggung (back stage). Dalam tradisi politik paternalistik ini kehadiran pengayom, pelindung, dan perekat selalu diperlukan, Megawati dan Prabowo adalah representasinya. Maka Pilkada DKI putaran kedua ini dapaat dikatakan pertarungan ketokohan antara Megawati dan Prabowo.

Perlu diingat di belakang Megawati ada Presiden Jokowi yang punya kekuasaan. Sementara, di belakang Prabowo ada SBY yang merupakan peracik pencalonan Agus-Silvy dengan 17 persen suara. Jika Megawati berhasil mendorong Jokowi menarik parpol Islam (PPP, PKB dan PAN) yang semula mendukung Agus-Silvy untuk merapat ke Ahok-Djarot akan merupakan keuntungan besar.

Demikian pula jika Prabowo berhasil merayu SBY (yang mengklaim nonblok) untuk merapat ke Anies dan menarik dukungan PPP, PKB dan PAN, akan menambah peluang menang.

Putaran ini sangat dipengaruhi kemampuan menempatkan sejumlah tokoh politik kunci untuk diam atau merapat. Mereka adalah Jokowi dan SBY. Keduanya punya kans untuk saling mengkunci dan memainkan kartu truf masing-masing.

Jokowi bisa mengapitalisasi kasus SBY yang berseteru dengan Antasari Azhar yang merasa dikriminalisasi SBY dalam pembunuhan Nashrudin Zulkarnain...................yang penuh rekayasa. Antasari telah diberi grasi. Kiriminalisasi Antasari telah dilaporkan ke Polri. Ini membuat mudah bagi Jokowi untuk mendapat dukungan SBY, atau setidaknya membuatnya netral.

Tapi SBY dipastikan juga tidak diam dalam posisi tereliminasinya Agus-Silvy di putaran pertama. Tentu menjadi malapetaka baginya. Maka cara paling jitu merapat ke Parbowo, sesama purnawirawan TNI. Prabowo dianggap jauh lebih akomodatif terhadap masa depan Agus yang telah melepaskan atribut TNI.

Lebih dari itu, bagi SBY merapat ke Ahok-Djarot sama maknanya “takluk” pada Megawati. Padahal perseteruan SBY dengan Megawati sampai sekarang tetap berlangsung dan tampaknya tetap akan dipelihara.

Pendek kata, pemanang Pilkada DKI putaran kedua, kendati dalam pengaruh pusaran isu-isu sensitif primordial seperti agama, etnisitas, nasionalis, pluralisme, dan permainan tokoh-tokoh kunci dalam tradisi politik paternalistik, sesungguhnya yang menentukan tetap pemilih.

Namun yang jelas Ahok- Djarot dan Anies-Sandiaga berpotensi menjadi calon presiden (Capres) dalam Pilres 2019 mendatang, karena Pilkada DKI telah berhasil mengantarkan Jokowi ke kursi presiden. Bukan tidak mungkin jalan Jokowi akan direplikasi pemenang. Kendati nasib orang berbeda-beda, namun politik itu rasional. Pilkada Jakarta menawarkan rasionalitas menuju kursi presiden 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar