Memaknai Rekor Deflasi
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS, 09 Mei 2016
Deflasi atau inflasi
negatif yang cukup besar terjadi pada April 2016, yakni 0,45 persen. Dengan
kata lain, dalam sebulan terakhir terjadi tren penurunan harga barang dan
jasa sebesar 0,45 persen. Inilah rekor deflasi tertinggi dalam perekonomian
Indonesia. Apa arti ini semua?
Di satu pihak,
penurunan harga merupakan hal yang positif. Dengan harga-harga turun, daya
beli (purchasing power) masyarakat
bakal meningkat. Peningkatan daya beli ini, antara lain, dipicu dua hal.
Pertama, rupiah yang akhir-akhir ini cenderung menguat dan stabil. Setelah
sempat melemah hingga Rp 14.700 per dollar AS tahun lalu, rupiah mulai
menemukan ekuilibriumnya di level Rp 13.100-Rp 13.300 per dollar AS. Kedua,
tren penurunan harga minyak dunia—meskipun akhir-akhir ini naik kembali
menjadi 45 dollar AS per barrel—menyebabkan harga eceran bahan bakar minyak
(BBM) dalam negeri turun.
Meski demikian, kita
tidak boleh terlalu gembira dengan data deflasi. Sudah lama kita mendengar,
deflasi menjadi hal yang dibenci Pemerintah Jepang. Deflasi merupakan hal
yang tidak dikehendaki karena lebih banyak dampak negatifnya. Adapun di AS,
meski inflasi rendah 1,2 persen, Gubernur Bank Sentral AS, The Fed, Janet
Yellen, justru menginginkan inflasi lebih tinggi lagi, yakni 2 persen.
Kenapa?
Sejak 1990-an, inflasi
di Jepang selalu rendah, mendekati nol persen, dan sering deflasi. Otoritas
moneter Jepang berusaha menaikkan inflasi dengan menekan suku bunga rendah
mendekati nol. Kini, Jepang mengikuti zona euro dan beberapa negara Eropa
yang lebih dahulu menerapkan suku bunga negatif. Hasilnya belum ketahuan.
Otoritas moneter AS
beranggapan, negara itu sebaiknya mempunyai inflasi 2 persen. Mereka tidak
mau inflasi terlalu rendah, apalagi deflasi. Mengapa? Deflasi akan
menyebabkan produsen kehilangan insentif memperluas skala usaha. Bahkan, bisa
jadi, deflasi menyebabkan gairah produksi berkurang. Ini hanya akan menurunkan
agregat keluaran atau hasil secara nasional.
Selanjutnya, deflasi
juga menyebabkan gaji dan upah karyawan cenderung stagnan. Saat upah tidak
naik, karyawan akan kehilangan motivasi dan insentif untuk bekerja lebih
produktif. Kombinasi kelesuan pengusaha dan karyawan akan menyebabkan
perekonomian mengalami kontraksi.
Penulis buku-buku
moneter dan finansial, Frederic Mishkin (2013), menulis, inflasi dan suku
bunga bisa diumpamakan sebagai orang berpostur gemuk. Ketika seseorang
kegemukan, tentu saja tidak sehat. Namun, ketika mencoba menguruskan badan
secara ekstrem sehingga terlalu kurus, itu juga tidak sehat. Singkat kata,
kondisi yang ekstrem harus dihindari.
Dalam perekonomian,
situasinya sama. Inflasi terlalu tinggi tidak baik karena memukul daya beli.
Namun, inflasi terlalu rendah (bahkan deflasi) juga tidak baik karena
mematikan gairah produksi. Indonesia pernah mengalami hiperinflasi 600 persen
(1965) dan inflasi tinggi 78 persen (1998). Keduanya ekstrem dan tidak sehat.
Tatkala inflasi berubah menjadi deflasi 0,45 persen dalam sebulan, apa
artinya?
Deflasi hanya sesekali
terjadi di Indonesia, biasanya dipicu panen raya beras dan penurunan harga
BBM. Rekor tertinggi deflasi sebelumnya 0,36 persen (Februari 2015); 0,35
persen (September 2013); dan 0,24 persen (Januari 2016). Semua ini terjadi
pada periode sulit 2015-2016.
Deflasi pada April
2016 terutama disumbang penurunan harga di dua sektor, yakni transportasi
(0,29 persen) dan bahan makanan (0,22 persen). Sektor perumahan, air,
listrik, dan gas menyumbang kecil (0,03 persen). Selebihnya, terjadi inflasi
kecil pada makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (0,06 persen); pakaian
(0,02 persen); kesehatan (0,01 persen); pendidikan, rekreasi, dan olahraga
(nol persen).
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik, deflasi masih terjadi dalam konteks penurunan harga BBM.
Kita cocokkan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2016 yang hanya 4,92
persen, ditandai dengan pelambatan belanja konsumsi rumah tangga. Padahal,
konsumsi rumah tangga biasanya menjadi penggerak perekonomian Indonesia
dengan kontribusi 60 persen.
Hal ini sejalan dengan
fakta lain berupa permintaan kredit perbankan yang rendah. Meski suku bunga
kredit mulai menurun secara perlahan, ditambah dengan nilai tukar rupiah yang
membaik dan stabil, ternyata hal itu belum mampu mendorong permintaan kredit.
Bank-bank mulai berhati-hati melakukan ekspansi kredit sehingga target
pertumbuhan kredit 12-14 persen tampaknya sulit dicapai pada 2016.
Berdasarkan analisis
ini, patut diduga, fenomena deflasi yang kita alami sekarang bisa bermakna
ganda. Di satu pihak, itu menjadi pertanda baik karena bisa menjadi
kesempatan bagi bank sentral menurunkan suku bunga. Inflasi tahunan saat ini
3,6 persen mestinya bisa menjadi insentif bagi bank untuk menurunkan suku
bunga.
Meski demikian, pada
saat yang sama timbul kerisauan, deflasi justru mencerminkan kelesuan atau
keraguan masyarakat untuk berkonsumsi. Data belanja barang konsumsi selama
Lebaran tahun lalu juga sudah mengindikasikan penurunan.
Dari hasil ”menguping”
dari pelaku bisnis, mereka cenderung masih mengerem usaha karena dua hal,
yakni masih menunggu penurunan suku bunga lebih lanjut secara signifikan dan
menunggu kepastian dirilisnya UU Pengampunan Pajak. Semoga ketidakpastian ini
tidak berkelanjutan dan bisa segera diakhiri pada triwulan ini sehingga
harapan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen tetap dapat
dipelihara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar