Siapa Bisa Melawan Ahok?
M Alfan Alfian ;
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
JAWA POS, 01 Maret
2016
UDARA politik DKI Jakarta menjelang pilkada
2017 mulai memanas. Partai-partai politik tengah menjajaki kemungkinan siapa
yang bakal didukung sebagai kandidat. Sementara sang petahana, Basuki Tjahaja
Purnama atau Ahok, yang selama ini telah menggalang kekuatan dari ranah
independen melalui Teman Ahok, sudah sangat percaya diri. Magnet politiknya
memang tengah moncer. Beberapa partai politik, bahkan PDIP, mendekat untuk
mendukung. Tetapi, Ahok tampaknya merasa siap maju tanpa partai.
Apakah dia harus menerima pinangan
partai-partai? Bisa ya, bisa pula tidak. Untuk semua itu, ada kalkulasinya.
Apabila menerima, Ahok tidak saja akan membuyarkan ikhtiar Teman Ahok selama
ini, yang telah berupaya memenuhi persyaratan melalui dukungan kartu tanda
penduduk (KTP). Dia juga harus bersiap-siap berkompromi dengan partai-partai.
Apabila memilih maju melalui jalur partai, itu
menunjukkan bahwa Ahok ingin bekerja sama lebih baik dengan elite-elite
strategis di DPRD DKI Jakarta ke depan. Bila dia kembali terpilih.
Dengan atau tanpa partai pengusung, jelaslah
Ahok sudah punya kartu untuk maju sebagai kandidat gubernur di provinsi paling
strategis itu. Berbagai survei yang ada selama ini masih menunjukkan bahwa
Ahok yang paling kuat. Pertanyaannya memang, siapakah gerangan yang mampu
mengimbangi popularitas Ahok sehingga pilgub DKI tahun depan menjadi lebih
imbang?
Beberapa nama memang sudah muncul atau
setidaknya ramai diperbincangkan. Mulai Yusril Ihza Mahendra, Adhyaksa Dault,
Ahmad Dhani, Tri Rismaharini, hingga Ridwan Kamil. Kendati nama terakhir
kemarin (29/2) resmi menyatakan tidak maju dalam pilgub DKI.
Mereka juga tokoh-tokoh yang populer. Tapi,
persoalannya, apakah bisa dalam waktu setahun melewati derajat popularitas
Ahok? Sebagai incumbent, pria
kelahiran Belitung itu hampir tiap hari tampil sebagai aktor dalam rangkaian
drama pembangunan DKI yang disorot media.
Hari-hari ini Ahok juga kembali menjadi
bintang utama dalam penggusuran lokalisasi Kalijodo. Sebelumnya, dia juga
menjadi sorotan utama dalam drama-drama penggusuran lain. Juga, dalam semua
drama itu, dia tetap menjadi protagonis.
Kesadaran keaktoran dalam serangkaian drama
pembangunan DKI itulah kelebihan Ahok. Dia mencicil peningkatan popularitas
dirinya sebagai gubernur pemberani dan suka terobosan.
Ahok tetap eksis di tengah lingkaran kemelut
isu korupsi yang mengaitkan dirinya, terutama dalam kasus Rumah Sakit Sumber
Waras. Kasus itu, bagaimanapun, mengancam popularitasnya.
Kalau tidak mampu merespons dengan cermat dan
hati-hati, bisa saja dia terjungkal dari kekuasaan. Akankah dia lolos dari
kasus itu dan tetap bisa melenggang sebagai kandidat? Hal tersebut tidak
semata-mata terletak pada faktor Ahok.
Melihat nama-nama yang beredar sebagai potensi
lawan tanding Ahok, setidaknya ada dua kategori. Yakni, dari dalam dan luar
DKI. Yang berasal dari DKI memiliki latar belakang bervariasi, terutama
politisi dan artis.
Dari segi pengalaman dan senioritas, Yusril
tidak dapat dianggap enteng. Dia memimpin partai dan punya pengalaman mumpuni
di pemerintahan. Tapi, Yusril dituntut harus bergerak cepat dalam menerapkan
strategi jitu untuk menumbangkan Ahok. Demikian halnya dengan kandidat lain
seperti Adhyaksa Dault, bahkan Ahmad Dhani.
Dalam pilgub DKI sebelumnya, secara
kepemimpinan, sang petahana, Fauzi Bowo alias Foke, terkesan sekali sebagai
antitesis Jokowi. Tapi, sosok seperti Tri Rismaharini (wali kota Surabaya) atau
Ganjar Pranowo (gubernur Jateng), misalnya, memiliki posisi yang nyaris sama
dengan Ahok di Jakarta saat ini.
Mereka telah menjadi penanda politik di daerah
masing-masing sehingga belum tentu bisa berspekulasi menandingi Ahok. Selain
itu, kendalanya, apakah keluarga, warga kota asal, dan partai politik rela
melepas nama-nama tersebut?
Adakah pula partai di DKI yang mampu
meyakinkan mereka untuk didukung sebagai kandidat? Setiap kasus pilkada
spesifik. Kasus-kasus sebelumnya bisa jadi tidak dapat dijadikan model bagi
kesuksesan hijrahnya tokoh lokal untuk menjadi penguasa Jakarta.
Di sisi lain, pemilih DKI lazimnya didominasi
pemilih yang cenderung akan memilih kandidat gubernur yang dipandang lebih
bisa memimpin dan menyelesaikan masalah-masalah pembangunan DKI yang pelik.
Tetapi, sesungguhnya rasionalitas pemilih juga cepat terbentur pada sosok
yang populis. Merujuk kemenangan Jokowi pada pilkada DKI sebelum ini, faktor
populisme politik tak terelakkan. Dari sisi itu, sebagai incumbent, Ahok
tampak sadar dan berupaya menjaga populisme kepolitikannya.
Dari perspektif populisme politik itulah,
siapa lawan Ahok yang bisa mengimbangi, bahkan mengalahkannya, ialah yang
mampu membangun imaji populisme politik dalam tempo yang cepat kepada publik
DKI.
Sosok itulah yang dipersepsikan bisa lebih
baik daripada Ahok. Atau setidaknya menutup celah-celah kelemahan Ahok
sebagai pemimpin DKI selama ini.
Siapa dia? Proses politik akan terus
berlangsung. Kekuatan-kekuatan politik masih akan menjajaki berbagai
kemungkinan dalam memilih sosok yang didukung. Ataukah memang,
ujung-ujungnya, mereka akan beramai-ramai pula kembali mendukung Ahok? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar