Ahok dan Tuduhan Deparpolisasi
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor Riset di Pusat
Penelitian Politik LIPI
|
MEDIA INDONESIA,
14 Maret 2016
KEPUTUSAN Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk maju pada pemilihan kepala
daerah (pilkada) serentak 2017 melalui jalur independen atau perseorangan
telah menimbulkan berbagai komentar pro dan kontra. Bagi mereka yang
mendukungnya, keputusan Ahok itu suatu langkah awal yang berani untuk
bertarung di medan politik Jakarta yang penuh dengan intrik-intrik politik
yang kadang tidak sehat.
Bagi mereka yang
'menerima dengan setengah hati', khususnya dari kalangan partai politik,
langkah Ahok dipandang sebagai upaya deparpolisasi, tanpa menjelaskan apa itu
deparpolisasi.
Mengapa Ahok memilih jalur
independen? Benarkah Ahok melakukan deparpolisasi? Apa positif negatifnya
kepala daerah dari jalur independen?
Kita sering mendengar
alasan Ahok memilih jalur independen, atau dalam bahasa hukum terkait pilkada
disebut jalur perseorangan. Pertama, Ahok ingin menguji keseriusan anak-anak
muda berlatar belakang berbagai suku dan agama yang menamakan dirinya Teman
Ahok dalam mengumpulkan dukungan warga Jakarta melalui kegiatan #KTP untuk
Ahok. Tantangan yang diajukan Ahok pada mereka ialah, jika Teman Ahok bisa
mengumpulkan 1 juta fotokopi KTP yang sah, Ahok bersedia menjadi calon
independen. Padahal, menjadi calon independen di Pilkada 2017 hanya
membutuhkan 525 ribu fotokopi KTP atau 6,5% dari jumlah daftar pemilih tetap
(DPT) di DKI Jakarta. Jika Teman Ahok mampu mendapatkan 1 juta fotokopi KTP
dengan sebaran yang merata di seluruh 5 wilayah Jakarta, itu merupakan modal
awal yang baik buat Ahok.
Kedua, Ahok ingin
mengurangi efek negatif dari penggunaan partai politik sebagai kendaraan
untuk maju kembali pada Pilkada DKI Jakarta, antara lain mahar politik yang
biasanya tinggi. Memang ada parpol yang sejak awal mendukung Ahok tanpa
prasyarat, yakni Partai NasDem. Partai lain pun ada juga yang mendukung,
seperti Hanura dan PDIP. Namun, karena proses pencalonan kepala daerah
melalui parpol memang cukup lama dan rumit, Ahok lebih memilih menjadi calon
independen. Apalagi, fotokopi KTP yang dikumpulkan Teman Ahok sudah mencapai
sekitar 770 ribu.
Ahok banyak dicerca
karena ia pernah menyatakan kalau dia maju melalui jalur partai, biaya
politik untuk mendapatkan dukungan partai bisa mencapai Rp1 miliar! Walau ada
kepala daerah yang membantah mahar itu, seperti yang diucapkan Bupati
Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan adanya kenyataan bahwa pada pilkada 2012
Jokowi-Ahok didukung PDIP dan Gerindra dengan spirit gotong-royong, isu mahar
politik itu tetap ada walau sulit dibuktikan.
Ketiga, Ahok senang
bahwa rakyat, khususnya anak-anak muda yang terdidik dan melek politik, tidak
lagi alergi atau bahkan cuek alias tidak peduli pada jalannya politik di DKI
Jakarta. Justru anak-anak muda ini aktif membantu Ahok mengumpulkan fotokopi
KTP dengan biaya yang mereka peroleh dari kreativitas dalam membuat dan
menjual merchandise (produk
suvenir) bergambar dan bertuliskan nama Ahok sebagai bakal calon Gubernur DKI
Jakarta.
Bukan deparpolisasi
Istilah deparpolisasi
terkait dengan pencalonan Ahok pertama kali dimunculkan Sekretaris DPD PDIP
DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi, yang juga Ketua DPRD DKI. Prasetio menilai
adanya upaya deparpolisasi yang sedang berkembang di Indonesia. Padahal,
keputusan Ahok untuk maju melalui jalur perseorangan atau independen bukanlah
deparpolisasi.
Bila kita simak lebih
dalam, terminologi deparpolisasi muncul pada era awal Orde Baru yang ingin
mengikis habis pengaruh dan aktivitas partai-partai politik dalam sistem
politik Indonesia saat itu. Dari segi bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia
menjelaskan arti deparpolisasi sebagai pengurangan jumlah partai. Era Orde
Baru rezim Soeharto yang didominasi militer membuat dan memberlakukan
kebijakan politik untuk mengikis habis pengaruh dan peran partai politik di
Indonesia.
Langkah pertama
deparpolisasi ialah adanya propaganda penguasa Orde Baru bahwa partai politik
merupakan biang keladi dari kebobrokan politik di Indonesia, sejak era
Demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer) sampai Demokrasi Terpimpin era Orde
Lama.
Kedua, pemerintah
melalui gagasan perwira intelijen Brigjen TNI Ali Moertopo menerapkan
kebijakan pengurangan jumlah partai dari sembilan partai plus satu Golongan
Karya (disebut sebagai golongan fungsional nonpartai) dua partai (PDI dan
PPP) plus satu Golkar. Fusi partai politik yang dipaksakan itu telah berhasil
memaksa seluruh partai Islam bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
dan semua partai nasionalis dan kristiani (PNI, Murba, IPKI, Parkindo, Partai
Katolik) bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tiga kekuatan
politik itu diberi nomor peserta pemilu yang memiliki arti simbolis nomor 1
PPP, nomor 2 Golkar, dan nomor 3 PDI. Dengan demikian, ketika sistem politik
berputar bagaikan baling-baling pesawat, yang tampak hanyalah Golkar.
Ketiga, pemerintah
membuat aturan politik yang disebut deparpolisasi dan depolitisasi, yakni
suatu kebijakan yang tidak membolehkan partai-partai politik membangun
organisasi cabang dan ranting partai di bawah kecamatan (kelurahan dan
desa/kampung).
Jika kita mengacu ke
depolitisasi dan deparpolisasi itu, apa yang dilakukan Ahok bukanlah
deparpolisasi. Sebetulnya, jika partai-partai politik memiliki kecerdasan
politik dalam melakukan manuver menjelang pilkada, mereka tidak perlu takut
pada calon independen/perseorangan.
Partai-partai politik
dapat melakukan rekrutmen politik para bakal calon kepala daerah dan
sosialisasi politik lebih awal sehingga tidak dikalahkan jalur perseorangan
ini.
Munculnya calon
perseorangan antara lain disebabkan citra partai politik yang buruk di mata
masyarakat akibat tingkah laku korup anggota partai yang duduk di badan-badan
legislatif dan eksekutif pusat dan daerah.
Partai juga dipandang
tidak melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan publik. Sebaliknya, dalam
pembuatan undang-undang dan peraturan daerah, partai-partai politik lebih
mendahulukan kepentingan kelompok (partai atau gabungan partai) dan mereka
yang pada saat pilkada atau pemilu (legislatif dan presiden) memberikan
bantuan dana kampanye.
Indonesia, yang
menganut sistem multipartai, seharusnya dapat mengurangi fenomena merebaknya
kandidat independen pada pilkada karena berbagai kepentingan masyarakat dapat
tertampung dari ideologi dan program kerja partai yang beragam itu. Kenyataannya,
partai, di dalam mendukung kandidat kepala daerah (dan presiden), lebih
didasari kepentingan pragmatis dan bukan bersifat ideologis serta program
dari para kandidat. Dasarnya selalu elektabilitas pasangan calon dan bukan
apa yang menjadi program kerja. Karena itu, jangan salahkan masyarakat jika
dalam kasus-kasus tertentu, seperti di DKI Jakarta, mereka kali ini mencoba
untuk mendukung kandidat independen.
Kasus Ahok hanyalah
satu dari sedikit daerah yang memiliki calon independen. Secara kebetulan,
Ahok didukung masyarakat karena akuntabilitas politiknya sebagai wakil
gubernur dan kemudian gubernur DKI Jakarta yang dinilai amat baik. Dia maju
juga bukan karena dia berasal dari kelompok masyarakat yang dominan baik dari
segi suku maupun agama, bukan juga karena memiliki harta yang besar,
melainkan karena kepercayaan publik. Tak mengherankan jika dalam menangkal
propaganda politik atas dasar agama, mereka yang mendukung Ahok sudah mulai
melakukan pre-emptive strike
(serangan sebelum diserang) melalui tag-line #saya muslim tapi saya dukung
Ahok.
Bakal calon independen
sesungguhnya tidak selamanya baik, apalagi jika bakal calon independen itu
lebih mendasari dirinya karena pernah memiliki kekuasaan yang melimpah. Misalnya,
ia pernah menjadi pejabat sipil atau militer, berasal dari suku dan agama
besar di daerahnya, memiliki kekayaan yang melimpah yang dapat digunakan
untuk kampanye politik, dan juga memiliki konsultan politik serta jaringan
yang dapat melakukan segala cara untuk memenangkannya menjadi kepala daerah.
Soko guru demokrasi
Suka atau tidak suka,
partai politik harus tetap menjadi soko guru demokrasi. Demokrasi tidak akan
berjalan baik tanpa partai politik.
Namun, partai politik
harus kita bantu agar menjadi partai yang modern dan aktivitas politiknya
diperuntukkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, bukan untuk kepentingan
pengurus partai dan kelompok. Semua partai politik harus berbenah diri dan
melakukan introspeksi diri mengenai apa yang salah yang mereka lakukan selama
ini.
Fenomena Ahok
merupakan tamparan dan cambukan bagi partai untuk semakin berbenah diri agar
keberadaan mereka dalam sistem politik Indonesia menjadi suatu keniscayaan. Ahok,
secara kebetulan, merupakan sosok pemimpin daerah yang jujur, berani
mengambil risiko politik atas kebijakan yang diambilnya, dan bergerak cepat
demi kepentingan rakyat Jakarta dan Indonesia.
Bayangkan jika calon
perseorangan itu orang yang hanya mencari kekuasaan dan uang untuk diri dan
kelompoknya yang melihat jalur independen ialah cara termudah untuk menjadi
penguasa daerah.
Jika itu terjadi,
bukan demokrasi untuk kepentingan rakyat yang akan terjadi, melainkan kepala
daerah yang menjadi predator. Artinya, melalui kekuasaan politik dan uang, ia
akan menjadi penguasa yang otoriter dan korup. Seperti kata Larry Diamond,
bila penguasanya sudah menjadi predator, masyarakatnya juga akan menjadi
masyarakat predator (predatory society).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar