Minggu, 03 Januari 2016

Terorisme sebagai Musuh Bersama

Terorisme sebagai Musuh Bersama

  Mun’im Sirry  ;  Asisten Profesor Bidang Teologi di University of Notre Dame, AS
                                                       KOMPAS, 02 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tajuk Rencana Kompas (3 Desember 2015) menyuguhkan imbauan penting: "bersatu melawan musuh bersama". Hal ini terkait dengan ancaman nyata terorisme yang hendak meruntuhkan sendi-sendi peradaban dunia.

Serangan teroris yang terjadi di sejumlah negara-dari Turki, Lebanon, hingga Perancis-telah memunculkan gambaran mitis tentang kelompok teroris seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Kini yang dibutuhkan dunia ialah "bersatu melawan musuh bersama" dan mendemistifikasi NIIS sebagai organisasi kriminal.

Persoalannya, sebagian kelompok Muslim bersimpati terhadap NIIS atau, setidaknya, tidak menganggap paham dan perilaku NIIS bertentangan dengan ajaran Islam.

Problem legitimasi

Pertanyaan dasar yang perlu dijawab ialah apakah NIIS dapat dibenarkan secara keagamaan? Sejumlah ulama yang diakui otoritas keagamaannya telah mengeluarkan pernyataan dan fatwa mengutuk tindakan teror dan kebiadaban NIIS.

Menyusul serangan teroris di Paris, Grand Imam Al-Azhar Ahmed El-Tayyeb menyebut peristiwa itu sebagai penyimpangan dari ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan. "Kini saatnya bagi dunia untuk bersama-sama menghadapi monster gila ini," katanya seperti dikutip koran al-Ahram (14/11/2015).

Yang menyebabkan pertanyaan di atas cukup rumit ialah kenyataan bahwa NIIS kerap menggunakan teks-teks keagamaan dan sumber-sumber sejarah untuk menjustifikasi tindakan mereka. Bukanlah sikap jujur jika kita menafikan bahwa apa yang dilakukan NIIS punya dasar tekstual dalam tradisi keagamaan. Diskursus keagamaan mereka dipenuhi dengan referensi pada kitab suci dan sumber-sumber keagamaan lain.

Orang boleh saja menganggap pemahaman dan tafsir mereka tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur yang diperkenalkan dan dikembangkan agama. Mereka mencomot ayat-ayat tertentu atau episode sejarah yang menjadi fondasi narasi Islam secara terisolasi dari konteksnya. Atau, mereka menghidupkan kembali paham dan praktik keagamaan yang sudah kedaluwarsa.

Faktanya, apa yang dipraktikkan NIIS itu tidak bisa dikatakan tidak punya pijakan. Menafikan kenyataan ini sama dengan menutup mata terhadap teks-teks keagamaan yang dihasilkan pada zaman pertengahan.

Praktik perbudakan yang diberlakukan NIIS bagi tawanan perang, misalnya, jelas saja punya pijakan skriptural dan preseden dalam sejarah Islam. Bentuk-bentuk eksekusi yang mereka pertontonkan ke dunia dapat ditemukan dalam teks-teks zaman pertengahan.

Untuk mengatakan bahwa praktik-praktik NIIS tersebut tidak punya legitimasi, kita dihadapkan pada pertanyaan ini: siapakah yang berhak berbicara atas nama Islam? Tidak ada entitas tunggal yang berhak mengklaim paling otoritatif yang dapat menjadi panutan bagi seluruh kaum Muslim.

Kalau dalam agama Katolik dikenal ada lembaga kepausan dan Vatikan yang menjadi rujukan absah bagi penganut Katolik, Islam tidak mengenal lembaga serupa. Al Quran dapat dipahami berbeda oleh orang berbeda. Kenyataannya, Islam telah melahirkan beragam mazhab teologis dan hukum yang sama-sama mengaku dan diakui legitimasinya.

Memang, ada aspek positif dari watak multivokalitas Islam, yakni tidak ada satu kelompok yang berhak memonopoli kebenaran tafsir dan pemahaman keagamaan. Aspek ini telah terbukti ampuh menepis fanatisme mazhab. Sisi negatifnya adalah bahwa setiap orang atau kelompok dapat mengajukan klaim-klaim semaunya untuk menjustifikasi tindakannya, termasuk yang dilakukan NIIS itu.

Oleh karena itu, untuk menjadikan kelompok teroris seperti NIIS sebagai "musuh bersama" diperlukan strategi jitu. Tidak hanya untuk mempersoalkan tafsir ala NIIS, tetapi juga cara pandang alternatif terhadap sumber-sumber keagamaan.

Sebagaimana kita ketahui, NIIS dan kelompok teroris lain menggunakan ayat-ayat "favorit" mereka. Misalnya, bagian dari kitab suci yang membolehkan perbudakan atau menyuruh kaum beriman membunuh orang- orang kafir. Ironinya, kelompok yang menentang NIIS kerap punya ayat-ayat favoritnya sendiri dan cenderung mengabaikan argumen tekstual yang digunakan kelompok teroris.

Jika kita bermaksud mendelegitimasi NIIS, kita harus menawarkan cara pandang alternatif yang lebih viable bagi kemanusiaan. Tak dapat dimungkiri, sumber-sumber keagamaan bersifat ambigu yang bisa digunakan untuk kepentingan tertentu. Kerap kali makna kitab suci sejalan dengan moral pembacanya. "Jika pembaca intoleran dan penuh kebencian," kata Khaled Abou el-Fadl (guru besar di University of California Los Angeles), "maka demikian pula makna teks-teks keagamaan."

Dalam konteks ini, motif busuk di balik slogan keagamaan mereka perlu dibongkar. Apabila motif keagamaan ini bersentuhan dengan kepentingan politik, ancaman bagi kultur toleransi menjadi sangat nyata.

Kolaborasi lintas agama

Tidak ada alasan untuk bersimpati pada NIIS karena di balik referensi pada teks-teks keagamaan dan sejarah generasi awal terdapat ambisi untuk membumihanguskan peradaban majemuk yang dibangun lintas generasi. Misi dan ambisi ini merupakan antitesis dari watak dan realitas dunia yang kian majemuk.

Kelompok-kelompok teroris seperti NIIS sekarang menjadi persoalan global. Mereka harus dihadapi bersama-sama karena mengancam keberlangsungan koeksistensi pluralis. Tentu, kaum Muslim punya tanggung jawab tertentu untuk mendelegitimasi mereka secara keagamaan dan melabeli mereka sebagai organisasi kriminal, bukan sekadar bentuk penyimpangan dari ajaran agama.

Pelabelan semacam ini penting dilakukan karena dengan hanya menyebut mereka "menyimpang" dari Islam kita dihadapkan pada pertanyaan seperti didiskusikan di atas: menyimpang menurut siapa? Lebih dari itu, orang bisa saja kemudian melacak tindakan teror mereka ke teks-teks keagamaan untuk mendapat pembenaran. Sebaliknya, dengan disebut "organisasi kriminal", kelompok-kelompok teroris itu menjelma menjadi problem bagi semua dan perlu dihadapi bersama-sama.

Dengan demikian, terorisme bukanlah masalah kaum Muslim semata, melainkan tanggung jawab semua pihak yang menginginkan kehidupan damai di atas bumi. Sejarah mengajarkan bahwa cara menghadapi kelompok-kelompok teroris secara kelompok dan sporadis, seperti yang dilakukan negara-negara Barat saat ini, bukan saja tidak efektif, melainkan juga kerap melahirkan benih-benih terorisme lain.

Kini makin jelas bahwa kolaborasi lintas agama sangat diperlukan untuk mengatasi kelompok yang sangat keji itu. Anehnya, dunia saat ini seperti kehilangan akal. Para pemimpin negara-negara Barat tahu persis bahwa mereka tidak akan berhasil membasmi terorisme hanya dengan membombardir NIIS dari udara, tetapi hanya itu yang mereka lakukan.

Apa yang dilakukan NIIS sangat kejam. Akan tetapi, membombardir tanpa strategi untuk memenangi "hati" mereka berarti meniru cara-cara kejam serupa. Kaum ekstremis itu merasa tertindas di tanah airnya sendiri, yang menyebabkan mereka bersatu di bawah panji kesalehan. Mereka merasa sebagai Muslim paling baik dan bernafsu mengenyahkan yang lain.

Keluhan mereka itu perlu diperhatikan. Para pemimpin agama, terutama Muslim dan Kristen, juga koalisi lintas agama harus bersatu dan bersama-sama melakukan upaya strategis untuk mengeliminasi bentuk-bentuk penindasan yang menjadi latar belakang tumbuh suburnya terorisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar